Chelsea menghentikan langkah begitu mereka tiba di parkiran. Ia melirik sekitar dan menarik Angga ke arah mobilnya yang terparkir di bawah sebuah pohon besar.
“Kita butuh tempat untuk bicara,” ucap Chelesea begitu melihat Angga enggan masuk ke dalam mobilnya.
“Di sini aja. Apa yang perlu dibicarakan?”
Chelsea tersenyum tipis. Tidak ingin terus memaksa, ia memandang sekeliling mencari tempat duduk agar bisa berlama-lama berbincang dengan pemuda itu. Ia menarik Angga saat menemukan sebuah bangku taman yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Angga menurut dan tidak ingin juga berbicara sambil berdiri.
Keduanya menatap kosong ke depan, terlalu sibuk dengan pemikiran masing-masing. Chelsea menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Tak guna bila ia menunggu Angga untuk memulai pembicaraan. Lelaki itu terlalu pendiam dan ia tahu Angga bukanlah orang yang pintar berkata-kata, lelaki itu lebih baik berteman dengan buku daripada harus dengan manusia yang mengharuskannya banyak berbicara.
“Kejadian malam itu,” Chelsea menimbang harus bagaimana ia memulai pembicaraan ini.
“Maafkan aku,” potong Angga, Chelsea menoleh dan tatapan mereka saling bertemu. Ia tak menyangka Angga mau meminta maaf atas kesalahannya.
“Aku yang harusnya minta maaf.” Chelsea mengigit bibir bawah, mencoba meredakan rasa pedih yang mulai mendera hati, “Aku membuatmu nggak nyaman karna kejadian itu.”
Angga menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf. Harusnya aku nggak jadi pengecut yang memilih menghindar darimu karna kejadian itu.”
Keduanya saling bertatapan dalam diam. Sedetik kemudian, Chelsea mengulum senyum. “Aku juga menghindarimu.” Chelsea menggenggam tangan Angga, “Lupakan saja kejadian malam itu bila membuatmu nggak nyaman. Aku juga akan melupakannya.”
Angga mengacak rambut frustrasi. “Aku udah mencobanya, tapi nggak bisa.” Angga menatap Chelsea sendu, “Aku pasti mabuk banget malam itu.”
“Aku juga mabuk.” Chelsea tersenyum tipis, “Mabuk dengan pikiranku yang memanfaatkan keadaanmu. Seharusnya, aku bisa menolak.”
Angga tersenyum miris. Ia tahu benar, jika semua itu tak mungkin. Dirinya sendiri yang biasanya selalu bisa mengontrol diri sendiri, malah kalah dalam hasrat yang menggebu.
“Yang terjadi malam itu bukan sekedar kencan satu malam bagiku.”
Chelsea dapat melihat kecemasan pada wajah lelaki itu. Ia mengeratkan genggaman tanggannya. “Apa itu artinya ...” gadis itu menaikkan sebelah alis dan menatap Angga penuh tanya, “Maksudku ...” Chelsea membiarkan perkataannya menggantung di udara, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Jika kita berada di dunia mimpi, aku ingin menyampaikan semua perasaanku, Chel.” Angga tersenyum miris, “Aku nggak pantas untukmu.”
Dada Chelsea mendadak sesak. “Siapa kamu yang bisa memutuskan siapa yang pantas dan siapa yang nggak untukku?”
Angga mengelus lembut wajah Chelsea. “Apa kamu nggak malu kalau punya pacar miskin kayak aku? Untuk ngajak kamu nonton aja, aku pasti bakalan jarang banget.”
Chelsea menggenggam tangan Angga yang berada di wajahnya. “Berada di dekatmu tanpa melakukan apa pun sudah cukup membuatku bahagia, Ga. Nggak perlu melakukan hal apa pun, kebersamaan kita udah lebih dari cukup.”
Angga tertawa kecil. Pemikiran Chelsea terlalu naif. Cinta saja tak ‘kan untuk mereka. Pada nyatanya, begitulah dunia nyata, perbedaan tak ‘kan bisa diterima dengan baik. Dunia yang Chelsea kenal tak sekejam dunia Angga yang kerap menyepelekan orang-orang sepertinya. Bila Chelsea selalu diterima dan disambut dengan rasa hormat, Angga tidak begitu.
“Jika kamu udah lebih dewasa nanti, kamu akan tahu kalau hubungan di antara kita nggak seharusnya terjadi. Karna itu, aku selalu menghindarimu.”
“Aku udah cukup dewasa untuk mengerti perasaanku sendiri, Ga!”
Angga tergelak pelan. “Nggak cukup dewasa untuk menerima kenyataan.”
Chelesea mengerucutkan bibir, sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Angga. Sedetik kemudian, perut Chelsea mendadak sakit, ia meremas perutnya. Angga yang melihat gelagat Chelsea langsung mencengkram lengan gadis itu.
“Kamu kenapa, Chel?”
“Nggak tahu, sakit banget.”
“Mana kunci mobilmu?” Angga menerima tas tangan yang diulurkan Chelsea padanya, sedang gadis itu berusaha meredakan sakit yang dirasakannya dengan membungkukkan tubuh sembari memegang perut.
“Kuantar ke rumah sakit,” ucap Angga seraya memapah tubuh Chelsea.
Menit demi menit berlalu, Angga mondar-mandir di hadapan tirai yang tertutup, menunggu Chelsea yang tengah ditangani oleh dokter jaga ruang UGD. Beberapa menit kemudian, seorang dokter menghampirinya sembari tersenyum padanya.
“Kram yang dialami istri bapak adalah hal yang normal. Dia sudah lebih baik dan harus banyak istirahat.”
Perkataan dokter membuat Angga menautkan kedua alis. “Maksudnya, Dok?”
“Kram atau spotinggi merupakan salah satu gejala klasik implantasi yang terjadi akibat sel telur yang telah dibuahi menempel di lapisan dinding Rahim. Saat masa kehamilan, rahim akan semakin membesar dan membuat ligament penopang rahim dan juga otot rahim akan menjadi merenggang. Ini yang menjadi salah satu penyebab kram perut secara umum saat hamil muda.”
“Hamil?”
“Apa Anda nggak mengetahui kehamilan istri Anda?” sekarang Sang dokter yang menatap Angga bingung, sedang Angga menjadi gelagapan, lalu menggeleng lemah.
Si dokter tersenyum maklum. “Tampaknya, saya mengacaukan kejutan yang mungkin dipersiapkan istri Anda. Selamat Anda akan segera menjadi Ayah. Sudah empat minggu usia kandungan istri Anda,” ucap dokter itu sembari mengulurkan tangan pada Angga.
Angga tersenyum kikuk, menerima uluran tangan dokter itu, lalu mengucapkan terimakasih.
“Saya nggak mau menganggu lagi. Silahkan temui istri Anda dan mohon urus administrasi agar bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.”
Angga mengangguk, lalu ia berjalan ke arah Chelsea. Gadis itu menoleh ke samping, menolak bertatapan dengan Angga. Angga tahu, pasti Chelsea merasakan kekhawatiran yang sama seperti apa yang ia rasakan kini. Ia tak boleh lemah untuk gadis itu.
Angga menarik kursi, duduk di samping ranjang Chelsea, lalu menggenggam erat tangan gadis itu. Genggaman tangan Angga membuat air mata Chelsea mengalir tanpa bisa dihentikan, gadis itu menangis sesegukan. Ia bahagia, namun juga cemas.
Mereka baru saja mulai bicara. Bagaimana jika Angga kembali takut, lalu meninggalkannya sendiri dengan kehamilan yang tak ia ketahui keberadaannya. Apakah ia siap membesarkan seorang bayi tanpa ayah? Ya Tuhan ... sungguh ia tak bisa membayangkan reaksi apa yang akan diterimanya dari Angga.
Angga mengusap air mata Chelsea. “Semuanya akan baik-baik aja, Chel.”
“Aku tahu, kalau kamu mau aku mengugurkan bayi ini, tapi aku nggak mau, Ga.”
Angga tertawa kecil. “Aku bahkan belum mengatakan apa pun.” Lelaki itu mengecup kening Chelsea, “Aku akan menemui ayahmu.”
Air mata Chelsea berhenti, lalu ia menatap Angga penuh tanya. “Maksudmu?”
“Bayi itu nggak berdosa, kita yang salah, jadi kita nggak boleh menghukumnya.”
“Lalu, apa yang mau kamu lakukan saat bertemu papa?”
“Memintamu sebagai istriku. Aku nggak akan biarkan bayi kita nggak memiliki ayah sepertiku. Aku nggak mau kami seperti mamaku yang harus membesarkanku seorang diri, hingga dia jatuh sakit dan meninggal.” Angga meletakkan kepalanya pada lengan Chelsea, “Biarkan aku bertanggungjawab.”
Air mata Chelsea mengalir semakin deras, ia menangis sesegukan, sedang Angga terus menenangkan gadis itu. mengusap-usap punggung Chelsea dan berulang kali berbagi mantra yang selalu ia ucapkan pada dirinya sendiri; “Semuanya akan baik-baik saja.”