Chelsea meringkuk di tempat tidur, memeluk tubuhnya, dan merasa begitu kerdil. Hari telah berganti minggu, lalu sebulan telah berlalu. Mendadak Angga dan dirinya menjadi sepasang orang asing. Bukan hanya saling menghindar, keduanya bahkan tak bertegur sapa saat bertemu, kerap pura-pura tak melihat saat tak sengaja berpapasan.
Olive yang tengah mengetik tugas mereka di sisi kosong tempa tidur Chelsea hanya bisa mendesah resah. Sesekali ia melirik sahabatnya dan tak mampu mengusir kekhawatiran yang mengusik jiwa. Ia sungguh tak tahu apa yang bisa diperbuatnya untuk sahabatnya itu.
Chelsea telah meceritakan semuanya pada Olive. Rencana dan juga kejadia malam ini. Olive memaki Chelsea habis-habisan karna mengikut perkataan konyolnya. Olive tak menyangka saran penuh omong kosong yang ia ucapkan malah dieksekusi oleh Chelsea tanpa memikirkan hal buruk apa yang akan mengikuti gadis itu.
Isak tangis Chelsea terdengar. Olive menarik napas panjang, menghelanya perlahan, lalu menutup pelan laptop. Ia tak ‘kan bisa mengerjakan tugas kuliah dengan tenang saat melihat kondisi sahabatnya. Biarlah ia mencari alasan untuk dosennya demi sahabatnya itu. Olive meletakkan laptop ke nakas, lalu berbaring menghadap Chelsea.
“Kamu sakit?”
Chelsea mengangguk pelan. Olive meletakkan punggung tangan pada kening Chelsea, lalu mengusap-usap lengan gadis itu. “Nggak anget. Mau kuanter ke dokter?”
Chelsea menggeleng. “Aku baik-baik aja.”
Olive mendesah pelan. “Masih karna Angga?”
Chelsea mengangguk lagi. “Iya dan juga nggak.”
Olive berdecak sebal melihat sahabatnya itu. Sungguh, ia tak mengerti jalan pikiran Chelsea. Untuk apa berharap pada hal yang tak mungkin. Mencintai Angga bagai peribahasa bagai pungguk merindukan bulan, cinta yang tak berbalas.
“Udahlah ... cowok pengecut seperti Angga nggak harusnya kamu kejer-kejer dan pikirin terus menerus. Dia juga pasti nggak pernah mikirin kamu.”
Kali ini, Chelsea mengangkat wajah dan menatap sendu sahabatnya. “Apa menurutmu, kami harus bicara?” Chelsea segera duduk, “Maksudku. Apa mungkin dia merasa malu dan bersalah sepertiku, sehingga lebih memilih untuk menghindar?” Chelsea segera menjelaskan maksud perkataannya saat melihat wajah kesal Olive saat mendengarkan pertanyaan pertamanya.
“Terkadang, apa yang kamu inginkan, nggak selalu kamu dapatkan, Chel.” Olive tersenyum tipis, “Inilah kehidupan. Nggak semua hal bisa dibelikan oleh papamu untuk memuaskan keinginamu, Chel. Uang nggak bisa beli hati Angga.”
“Kok, kamu malah ngomongin masalah uang dan papa,” ucap Chelsea lirih.
“Itu kenyataannya. Dari awal, harusnya kamu nggak pernah menaruh rasa sama dia. Dunia kalian itu berbeda banget. Apalagi ngelihat tipe papamu. Dia pasti menolak mati-matian hubungan kalian berdua, jika kalian berpacaran maksudku.”
“Dunia ini memang aneh,” ucap Chelsea setengah berbisik, seakan berbicara dengan diri sendiri.
“Dunia ini kejam. Kamu terlalu nyaman dengan istana dan kasih sayang papamu, hingga nggak bisa melihat dunia sesungguhnya.”
Olive yang sudah hidup susah dari kecil, kerap iri dengan kehidupan Chelsea. Gadis itu tak perlu bekerja keras, mencari pekerjaan paruh waktu untuk mendapatkan barang keluaran terbaru yang sangat mahal, yang gadis itu lakukan cukup bergelayut manja di lengan ayahnya dan merajuk agar dibelikan barang kesukaannya.
Melihat Chelsea jatuh cinta kepada pemuda yang bukan dari dunianya, sempat membuat Olive khawatir. Walau bagaimanapun sahabatnya itu tak pernah merasakan hidup susah, keluar dari zona nyaman, dan selalu mendapatkan yang ia inginkan, jadi mencintai Angga adalah kesalahan terbesar Chelsea yang sangat Olive sayangkan.
“Aku harus bicara dengannya. Aku nggak mau menyesal, Liv!”
Chelsea segera berdiri, mengemasi barang pribadinya ke dalam tas kecil, lalu menyambar jaket yang digantungkan di kursi belajarnya, sedang Olive semakib bingung melihat sahabatnya itu. Saat Chelsea hendak keluar kamar, dengan cepat Olive mencengkram pergelangan tangan sahabatnya, menghentikan langkah Chelsea.
“Kamu gila ya? Nggak denger yang barusan kubilang?”
“Kamu bilang dunia ini kejam, ‘kan? Maka, aku harus merasakan dan mencoba menerima kekejamannya agar bisa mengerti isi hati Angga.” Chelsea melepaskan genggaman tangan Olive, “Aku mau menyelami hati dan juga dunianya. Aku nggak bisa terus-terusan menghindari rasa ini. Aku merasa mati,” lanjut Chelsea seraya tersenyum miris.
“Jangan kembali padaku sambil menangis kalau dia menolakmu mentah-mentah.”
Chelsea mengulum senyum, lalu mengacungkan kedua jempol. “Siap, Bos!”
Olive hanya bisa menggeleng-geleng melihat sikap sahabatnya. Gadis yang tadinya terlihat murung, secara tiba-tiba menjadi riang kembali dan segera berlalu dari hadapannya.
Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu, Chel.
***
Chelsea mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tersenyum saat menemukan Angga yang tengah mencatat pesanan orang yang berkunjung ke restoran itu. Chelsea segera menempati tempat kosong dan matanya tak pernah berpaling dari Angga.
“Mau pesan apa, Kak?”
Chelsea mengangkat wajah dan menemukan seorang gadis seusianya. Senyum gadis itu ramah. Chelsea mendesah kecewa. Ia ingin Angga yang mencatat pesanannya.
“Maaf ... apa aku bisa meminta pemuda di sana yang mencatat pesananku?” Chelsea mengarahkan jari telunjuk pada Angga, gadis itu mengikuti arah jemarinya.
“Kenapa harus dia? Saya juga bisa mencatat pesanan Kakak.”
Chelsea tersenyum kikuk. “Sebenarnya, dia pintar dalam menyampaikan menu di restoran ini dan saya mau dia yang melayani saya.” Chelsea memang keras kepala. Jika bukan Angga yang mencatat pesanannya, pemuda itu pasti beralasan untuk tidak menemuinya.
Gadis itu terlihat gusar dan putus asa memaksa dirinya sebagai pencatat pesanan Chelsea, akhirnya ia berkata, “Tunggu sebentar.” Ia pun berlalu pergi meninggalkan Chelsea yang tersenyum penuh kemenangan.
Beberapa menit kemudian Chelsea dapat melihat Angga berjalan mendekat, wajah lelaki itu tak sedatar biasanya. Kini, lebih sendu dan sulit dibaca. Chelsea mengulum senyum saat lelaki itu sudah berdiri di tepi meja yang ia tempati.
Angga terdiam sembari menatap nota kecil di tangannya. “Bukannya, seharusnya kamu menanyakan apa yang ingin kupesan?” tanya Chelsea memecahkan keheningan di antara mereka.
“Mau pesan apa?”
Chelsea tersenyum tipis. Apa yang ia harapkan dari Angga? Kerinduan atau kehangatan?
“Apa aja yang menurutmu enak.”
“Apa aja?” tanya Angga memastikan.
Chelsea mengangguk yakin. “Ya, apa aja.”
Angga segera berlalu meninggalkan Chelsea. Ia tak ingin berlama-lama di dekat gadis itu. Sesungguhnya, ia ingin menjadi seorang yang bertanggungjawab dengan membicarakan apa yang terjadi malam ini, namun dirinya terlalu takut akan kenyataan yang ada. Walau bagaimanapun ia tak pernah pantas untuk Chelsea.
Menit demi menit berlalu, makanan pesanan Chelsea sudah ditata rapi di mejanya. Beruntung Angga tak jahat dan memesankan banyak makanan untuknya. Lelaki itu membawakan sepiring nasi goreng seafood dan juga es coklat—makanan dan juga minuman kesukaannya—yang entah mengapa Angga bisa mengetahuinya.
Hati Chelsea dipenuhi kebahagiaan. Sesekali ia melirik Angga sembari menyantap makanannya, sedang yang dipandangi terlihat salah tingkah dan juga kikuk diperhatikan.
Waktu berlalu, makanan Chelsea sudah lama dirapikan dari mejanya, namun anehnya gadis itu tak beranjak pergi. Diusir tak mungkin karna sedari tadi gadis itu terus memesan cemilan dan juga minuman, seakan tak ada kenyangnya.
“Kita udah mau tutup dan dia pelanggan terakhir,” Om Andi—chef restoran itu menatap ke arah Chelsea, “Aku pikir, dia menunggumu, Ga. Baiknya samperin dia dan ajak keluar aja. Kalau terus-terusan di sini, kita nggak bakalan bisa pulang-pulang.”
Angga tersenyum tipis. “Aku belum menyelesaikan pekerjaan di dapur.”
Om Andi menggeleng. “Serahkan semuanya pada kami dan ajak dia keluar untuk bicara. Jangan biarkan gadis cantik sepertinya terlalu lama menunggu.”
Angga mengucapkan terimakasih, lalu berjalan ke arah Chelsea. “Kuantar pulang,” ucapnya begitu berdiri di sisi meja yang ditempati gadis itu. Senyum Chelsea mengembang, ia merangkul lengan Angga dengan mesra dan keduanya berjalan meninggalkan restoran itu.
Tak mengapa menjadi sedikit keras kepala. Ia tak ingin terus menghindari Angga dan membunuh hatinya perlahan. Sebulan sudah cukup baginya untuk memastikan rasa yang berkecamuk di d**a. Ia jatuh hati pada lelaki itu.