Apa Aku Terlihat Seburuk Itu?

1131 Kata
Di dalam kamar mandi. Kyra menyeka genangan air yang membasahi pipinya. Bahkan, telah melunturkan bedak yang sempat melapisi kulit pipinya itu. Bodoh sekali. Untuk apa ia berharap diperhatikan begini? Apa ia telah lupa diri? Harusnya ia sadar posisinya sebagai pengganti. Bukan malah berusaha untuk dilihat keberadaannya begini. Air hangat dalam bathtub sudah disiapkan. Kyra pergi ke wastafel untuk membasuh wajah dan membersihkan sisa pulasan lipstik dan bedak. Ia mengeringkan wajahnya, lalu keluar dari dalam kamar mandi dan menghampiri Leon kembali. "Sudah, Tuan. Airnya sudah siap," ucap Kyra dengan kepala tertunduk di hadapan Leon yang sedang memejamkan mata sambil telentang. Sontak Leon membuka kelopak matanya dan bangkit dari atas tempat tidur. Ia pergi ke dalam kamar mandi, sementara Kyra pergi keluar kamar, untuk menyiapkan makanan. Karena mungkin saja, Leon lapar sepulang dari bekerja. Di dalam kamar mandi. Leon membenamkan tubuhnya di dalam genangan air, untuk merelaksasi tubuh dari penatnya hari ini. Ya lumayan. Cukup membantu juga. Setidaknya, ia menjadi lebih rileks sekarang. Kelopak mata Leon kembali terbuka. Tangan kanannya mencuat dari dalam air dan menggapai ponsel, yang ia letakkan tidak jauh dari tempatnya membenamkan tubuh. Satu persatu pesan dibuka. E-mail dan segala hal yang berkaitan dengan penyampaian informasi ia periksa satu persatu. Tidak ada. Semua pesan yang masuk, tidak satupun yang membawa kabar, tentang wanita yang meninggalkannya tepat di hari pernikahan mereka. Sudah berjuang hingga sejauh ini. Bahkan bekerja hingga tubuhnya terasa lelah. Tetap saja ia belum juga menemukan sosok wanita, yang menjadi tujuannya dalam menjalani hari-hari yang penuh dengan kebosanan ini. Ibu jari Leon bergulir. Ia mencoba untuk menghubungi Damian sahabatnya dan menanyakan sedikit kabar, yang mungkin saja ia dapatkan. "Hey, bro? Bagaimana? Apa sudah kamu dapatkan informasi tentang Michelle huh?" "Belum. Aku sama sekali belum mendapatkannya. Yang aku tahu, dia pergi pagi-pagi sekali dari apartemen dengan sebuah taxi. Tapi entah mengarah kemana. Dan satu lagi...," Sepasang alis mata Leon hampir saja bertaut. Ia memasang tajam indra pendengarannya. Berusaha untuk mendengarkan kata lanjutan, yang tak kunjung Damian ucapkan. "Apa??? Apalagi setelah itu huh??" cecar Leon tak sabaran. "Sudahlah. Jangan lagi memikirkannya. Ada seorang istri di sisimu bukan? Kenapa juga harus mencari orang yang sudah jelas-jelas tidak ingin bersama. Kalau dia memang menginginkanmu, untuk apa dia pergi di hari pernikahan kalian??" "Fu*k you! You're a bastard!! Aku tidak butuh nasehatmu! Yang aku butuhkan adalah kabar tentang Michelle. Ayo katakanlah! Apalagi yang kamu ketahui! Jangan ada yang ditutup-tutupi!" desak Leon dengan penuh penekanan dan ambisi di kedua bola matanya. Decakan kesal terdengar dari dalam ponsel. Damian tidak ingin ikut campur dengan urusan kawannya yang telah beristri ini. Apalagi, bila tujuannya untuk mencari seorang wanita, yang sudah jelas tidak ingin menikah dengannya. Tapi mungkin setelah mendengar berita ini, Leon akan berhenti untuk mencari-carinya lagi. "Dia pergi dengan seorang laki-laki." Bola mata Leon bergerak tak beraturan. Ia membeliak, sebelum akhirnya menolak sebuah kebenaran, yang Damian baru saja sampaikan. "Jangan membohongiku! Apalagi membodohi ku! Jadi maksudmu, Michelle berselingkuh dariku?? Apa alasan semacam ini masuk akal??" "Lalu, hal apa yang menurutmu lebih masuk akal dari itu semua??" balas Damian yang tak kalah bengis. "Siapa? Siapa laki-laki itu?? Kita tidak bisa langsung menuduh tanpa bukti bukan?? Lagipula, kalau dia memang tidak ingin menikah karena ada laki-laki lain. Lantas untuk apa dia menerima lamaranku waktu itu????" Damian mengembuskan napas. Lelaki yang sudah dibutakan oleh cinta ini, kenapa sulit sekali mendengarkan perkataan orang lain dan terus berpikir menurut pemikirannya sendiri. Lelah memberikan nasehat. Damian tak ingin berkata panjang lebar lagi dan memilih untuk mengakhiri saja panggilan telepon dari lelaki yang menghubunginya ini. "Ya sudah. Terserah padamu saja. Aku sudah berusaha mencari informasi semampuku. Sisanya terserah padamu!" Panggilan telepon berakhir. Leon pun kembali meletakkan ponsel pada sisi bathub dan menenggelamkan separuh wajahnya di dalam air. Bukan tidak ingin berpikiran negatif. Tapi, Leon tidak ingin merasa kecewa dan memilih untuk tetap berpikiran positif, sebelum ia melihat segala kebenarannya dengan mata kepalanya sendiri. Leon keluar dari dalam air dengan sebuah hembusan napas di mulut, serta usapan telapak tangan kanannya di wajahnya. Ia berdiri di bawah guyuran air shower dan membasuh tubuhnya. Kran air shower dihentikan. Leon menyambar handuk yang tergantung dan melilit tubuhnya. Ia keluar dari dalam kamar mandi dan menemukan seorang wanita di sisi ranjang, yang sempat menatapnya namun segera memalingkan wajah serta menundukkan kepalanya lagi. "Makanan dan pakaiannya sudah saya siapkan, Tuan," ucap Kyra selanjutnya. Leon berjalan mendekat dan melewati Kyra. Ia duduk di tepi tempat tidur, lalu mengambil satu potong buah melon dan melahapnya. "Apa kamu bisa memijat??" tanya Leon disela kunyahannya. "Bisa, Tuan," balas Kyra. "Baguslah. Tolong pijat tubuhku. Hari ini, aku lelah sekali setelah seharian bekerja." "Baik, Tuan." Leon kembali melahap potongan buah kedua, lalu naik ke atas ranjang dan menelungkupkan tubuhnya, yang setengah telanjang di atas sana. "Ayo cepat. Pijat sekarang!" pinta Leon tak sabaran. Kyra naik perlahan ke atas tempat tidur dan mulai memijat pundak Leon. "Lebih keras sedikit. Tidak terasa." Kyra menekan dengan lebih kencang sampai peluh bercucuran dari dahinya. "Tuan?" panggil Kyra. "Ada apa?" tanya Leon. "Apa penawaran yang waktu itu masih berlaku??" tanya Kyra. "Yang mana??" "Em, yang Tuan katakan waktu itu. Soal kuliah." "Iya. Tentu saja. Aku sudah mengatakannya bukan? Lakukanlah apapun yang kamu inginkan, selain dari mencampuri urusan pribadiku!" "Iya Tuan. Terima kasih." Senyap. Tidak ada lagi pembicaraan diantara keduanya, hingga Kyra yang sudah mulai kelelahan, berusaha untuk meminta izin, untuk menghentikan pijatannya. "Apa sudah selesai Tuan?" tanya Kyra sambil memiringkan kepala untuk melihat wajah Leon. Dahi Kyra mengerut. Karena tidak ada jawaban dari mulut Leon. Ia pun menghentikan gerakan tangannya dan melihat dari dekat, wajah pria yang sedari tadi selalu menghardiknya ini. Ternyata, kedua kelopak matanya terpejam dan sebuah dengkuran halus terdengar. Leon tertidur dan sepertinya sangat pulas. Ia pasti benar-benar kelelahan sekali, sampai-sampai tertidur dalam posisi seperti ini. Kyra mengulurkan tangannya, ia hendak mengguncang bahu Leon, agar Leon bangun dan berpakaian lebih dulu. Namun agaknya, ia tidak tega, saat melihat Leon yang terlelap dengan pulas. Dengan sekali hembusan napas, Kyra menarik selimut dan akhirnya hanya menutupi tubuh Leon saja. Ia kembali memandangi orang, yang terlihat begitu dewasa dan tenang saat terpejam. Namun, jadi orang yang sangat jauh berbeda, saat kedua kelopak matanya terbuka. "Kenapa selalu berteriak kepadaku? Apa aku terlihat seburuk itu?" pertanyaan yang baru berani Kyra ungkapkan, saat orang yang sedang diajak bicara terlelap. Karena rasanya percuma juga, mengajak orang ini berbicara saat terbangun nantinya. Apa anak orang berpunya, selalu melakukan segala hal semaunya? Tanpa memikirkan sedikit pun perasaan orang lain. Tubuh Kyra turun perlahan. Ia merebahkan tubuhnya di samping Leon, masih dengan tatapan yang tak lepas dari wajahnya, serta sebuah rasa kagum atas paras lelaki, yang tidak akan pernah bisa ia gapai, bahkan miliki sepenuhnya. Cukup lama Kyra melakukan hal tersebut, hingga tanpa ia sadari pemilik wajah mulai telah kembali membuka kelopak matanya dan menatap Kyra dengan sorot matanya yang tajam. "Apa yang sedang kamu lihat hm??"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN