Aku memutar otakku, mengingat kembali pertemuan antara aku dengan Dhaffin. Ah.. sebuah pertemuan yang sangat absurd. Davira berhasil menjebakku dengan lihai dengan memberikanku misi menyatakan perasaan pada seorang pria asing yang baru pertama kali kutemui. Sekarang ketika aku mengingatnya aku merasa sangat bodoh dan naif sekali pada waktu itu. "Kau masih mengira jika tawaranku itu serius?" Dia tersenyum lebar, membelai wajahku dengan tangannya yang masih berlumuran darah karena membantu menghentikan pendarahan di perutku. "Waktu itu mungkin tidak.. tapi aku serius menanggapi tawaranmu untuk saat ini." Kupejamkan mataku kuat-kuat, rasa menghalau air mata yang sepertinya hendak lepas kapanpun. Semakin menuntut. Sementara rasa nyeri semakin menjalar, bahkan mempersulitku untuk bisa bernap