Adrian terpaku dengan mata melebar, kaget karena melihat Elysa berada di bawahnya. Elysa sama sekali tidak bergerak di bawah kungkungan Adrian. Gadis itu menatap bola mata hitam kelam Adrian. Elysa baru sadar jika pria itu memiliki mata yang indah dengan bulu mata lebat dan hitam.
"Mata lo indah," katanya pada Adrian sambil tersenyum tipis.
Adrian ternganga ketika melihat senyumannya. Lalu berubah kesal ketika senyuman indah gadis itu berganti menjadi seringai. "Udah mulai nakal, Pak Adrian?" cibirnya menggoda.
Cepat-cepat Adrian bangkit dan melepaskan dirinya dari Elysa. Pria itu langsung misuh-misuh tak jelas dengan suara lirih. Bodoh, batinnya. Bisa-bisanya dia sempat terbuai dalam perasaan tadi. Meski hanya beberapa saat, hal itu sempat mempengaruhinya.
"Kenapa sih kok kesel gitu mukanya? Nggak terima kalo gue bangun? Apa mau kayak tadi aja?" ledek Elysa. "Ya udah deh, gue balik tiduran la-"
"Gila lo! Cewek sinting!" maki Adrian langsung. Wajahnya memerah, campuran antara marah dan malu. Elysa benar-benar sialan! Bisa-bisanya dia menggoda Adrian. Bagaimana jika otak bejatnya bekerja tadi?
"Nggak usah marah-marah, Pak. Gue cuma bercanda kok!" kekeh Elysa tanpa dosa.
Adrian menggertakkan giginya kesal. Dia mengacungkan jari telunjuknya, menuding Elysa tepat di depan hidungnya. "Elo keluar dari kamar gue! Dasar cewek gila!"
Elysa terkekeh saat Adrian membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Melihat wajah kesal Adrian membuatnya sangat bahagia. Dia jadi tidak sabar melihat pria itu hidup menderita. Mungkin dia bisa mati karena tertawa. "Mandinya cepetan loh, Pak Adrian. Udah ditunggu di bawah sama yang lain," katanya pada Adrian.
Elysa berbalik hendak keluar dari kamar. Namun baru satu langkah, dia kembali menghadap Adrian. "Jangan bayangin gue sambil mandi ya!" ujarnya sembari mengerling nakal.
Adrian mendelik kejam. "Cewek sarap lo!" serunya kencang. Dia bertambah kesal ketika seruannya justru ditanggapi dengan kekehan santai Elysa. Pria itu membanting pintu dengan keras karena jengkel.
Sial! Bisa-bisanya Elysa berbicara seperti itu! Dari mana dia tau?
***
"Aunty... Nathan boleh makan sayurnya lagi?"
Elysa tersenyum lebar lalu mengusap pipi Nathan dengan lembut. "Boleh dong, Sayang. Anak ganteng boleh makan sepuasnya," katanya. Dia menyendok tumis brokoli dan wortel dari mangkuk dan menaruhnya di piring Nathan.
"Makasih, Aunty."
Nadine tersenyum senang melihat sikap anaknya. Semenjak ada Elysa, Nathan jadi penurut dan baik. Nadine membelai kepala anaknya dengan sayang. "Nathan sekarang jadi pinter ya? Udah mau makan sendiri, udah mulai suka sayur juga."
"Itu pasti karena Elysa. Nathan bisa nurut banget gitu ya sama kamu, El!" timpal Ares.
"Iya, El. Aku aja susah banget loh bilangin Nathan. Eh sama kamu dia nya nurut banget," ujar Nadine senang.
Elysa hanya tersenyum tipis menanggapi pujian Ares dan Nadine. Sedangkan Adrian justru melontarkan cibiran, menunjukkan rasa tidak sukanya pada Elysa tanpa basa-basi.
"Ya iyalah, kan dia perayu. Semua kata-katanya manis, jadi siapapun pasti nurut sama dia."
"Bang Adrian!" seru Nadine kesal. "Jangan ngomong sembarangan ya!"
"Gue ngomong fakta kok, Nad. Elo nggak tau aja kalo dia itu perayu!"
"Bang!" Ares ikut jengkel pada omongan Adrian yang tidak disaring sedikitpun. Tanpa rasa bersalah pria itu mencemooh dan menghina Elysa di hadapan mereka semua.
"Emangnya gue pernah ngerayu elo ya, Pak Adrian? Kapan?"
Adrian mendesah lirih. Meletakkan sendoknya lalu mengambil segelas air putih dan menghabiskannya dalam waktu singkat. "Bukannya elo ada disini karena elo ngerayu si tua bangka kepala agensi suster itu?"
Pria itu tertawa geli melihat wajah pucat Elysa. "Kenapa kaget? Bingung ya kenapa gue bisa tau hal-hal kayak gitu?"
Adrian segera bangkit dari kursinya dan mendekat ke tempat duduk Elysa. "Harusnya sebelum elo datang kesini, elo udah tau siapa yang elo hadapi disini," bisiknya di telinga Elysa.
Elysa segera menyembunyikan tangannya yang bergetar samar. Wanita itu memandangi punggung tegap Adrian yang bergerak menjauh dari ruang makan. Pria itu, memang seorang iblis.
"El, jangan diambil hati ya ucapan Abang gue. Dia emang orangnya suka asal ngomong. Dia nggak serius itu," kata Ares.
Nadine mengangguk lirih. Lalu menepuk-nepuk pelan pundak Elysa. "Iya, El. Bang Adrian itu emang agak gila. Stress kayaknya karena nggak dapet-dapet jodoh, " timpalnya.
"Sayang, kamu cariin jodoh kek buat Bang Adrian! Biar dia nggak ngamuk-ngamuk mulu! Di kantor, Anak-Anak ngeluh loh sama sifat Abang kamu! Dikit-dikit pecat, dikit-dikit pecat!" protes Nadine pada Ares.
"Iya... iya... ntar deh aku coba kenalin sama temen-temen cewek aku di kantor. Kali aja ada yang mau sama Bang Adrian," kata Ares.
"Kamu punya temen cewek di kantor? Siapa?" Nadine melotot tak terima pada Ares. Dan sang suami pun segera menutup mulutnya karena sadar jika dia salah bicara.
"Itu, Sayang. Maksudnya relasi bisnis di kantor."
"Relasi bisnis apaan? Kamu punya nomernya ya? Kamu chat an sama dia?"
"Iya, maksudnya nggak, Sayang."
"Jadi Iya apa nggak?"
Elysa termenung di kursinya, tidak menggubris pertengkaran Ares dan Nadine. Dia pun mengabaikan Nathan yang minta digendong olehnya. Pikirannya hanya terpaku pada satu orang, Adrian Wiratama.
Dia kira Adrian tidak akan mengetahui hal-hal semacam itu. Rupanya di belakangnya, pria itu menyelidiki Elysa. Adrian tidak sebodoh yang dia kira. Elysa mendengus lirih. Ya, Adrian memang bukan orang bodoh. Orang seperti Adrian pasti waspada tentang hal apapun, entah itu yang berpotensi menjadi ancaman buatnya atau tidak.
Hanya satu yang tidak akan dia waspadai, keluarganya. Pria itu tidak akan mencurigai keluarganya sendiri. Jadi Elysa memiliki ide yang sangat bagus. Dia ingin menggunakan keluarga Adrian untuk menghancurkan pria itu.
Sudut bibir Elysa berkedut samar. Tunggu saja tanggal mainnya, batinnya.
"El, kamu yang anter Nathan ke sekolahnya gapapa, Kan? Aku soalnya buru-buru mau ke kantor sambil anter Nadine sekalian."
Elysa menoleh pada Ares kemudian mengangguk pelan. "Gapapa, Mas. Nathan biar saya yang antar."
Ares tersenyum lebar pada wanita itu. "Ya udah kalau gitu. Aku tinggal dulu ya, El!" kata Ares. Pria itu kemudian menghampiri putranya, berniat ingin mencium anak itu. Namun Nathan menolak dengan tegas. Anak itu malah bersembunyi di belakang Elysa.
Ares pun jadi kesal. Pria itu berdecak kecil. "Nathan sekarang udah nggak mau sama Daddy ya! Tapi kalo sama Tante Elysa aja nggak mau pisah," katanya.
Nathan hanya cemberut diomeli Daddynya seperti itu. Sedangkan Elysa hanya tertawa kecil. "Namanya juga anak-anak, Mas. Kadang lengket sama orang tuanya, kadang lengket sama susternya."
Ares mengangguk paham. "Iya juga ya, El. Kamu paham banget emang ya kalo soal ngurus Anak. Kamu juga lebih sabar dibanding Nadine. Coba kalo Nadine, pasti dia udah ngomel-ngomel diikutin Nathan terus gitu," ujarnya.
Elysa tersenyum lebar pada pria itu. Dia merasa tersanjung dengan pujian Ares. Ucapan pria itu terdengar begitu tulus dan menghangatkan hatinya. Sangat berbeda dengan pujian dan rayuan dari para p****************g yang dulu ditemui oleh wanita itu sebelum bekerja di rumah ini.
Elysa memandangi punggung Ares yang menjauh, mengejar istrinya yang lebih dulu pergi keluar dengan wajah kesal. Diam-diam Elysa ingin tau seperti apa rasanya menjadi seorang Nadine.