Mengobati Violetta

1056 Kata
"Dasar pria jahat, tega sekali dia melukai seorang wanita. Di mana perasaannya," gerutu Violetta saat berkaca di depan wastafel kamar mandi. Violetta berjalan menuju shower, berdiri di bawahnya dan menyalakan air hangat. "Aw, perih!" pekik Violetta dan bergeser menjauhi air. "Bagaimana aku bisa mandi, kenapa rasanya sangat perih?" Saat Violetta sedang di kamar mandi pintu kamar mandi diketuk, lalu Mary masuk kerena mendengar suara pekikan Violetta. "Nona ada apa? Apa perlu kami bantu?" tanya Mary cemas. "Tidak usah, aku hanya terkejut karena lupa menyalakan air hangat. Aku baik-baik saja," jawab Violetta. "Kata bang Zack Nona terluka dan kami diminta mengobati, Nona. Apa lukanya parah?" tanya Mary lagi. "Tidak, kalian tunggulah di luar. Aku akan keluar begitu selesai," sahut Violetta. "Baik, Nona." Violetta pun mencoba kembali mendekati shower, lalu berdiri di bawah kucuran air. Dia menggigit bibir bawahnya, untuk menahan rasa perih di tubuhnya. Violetta bahkan tidak menggosok punggungnya dan hanya mandi sebentar, dia segera berjalan ke arah pintu setelah melilitkan handuk kecil di rambutny dan memakai bathrobe. "Bagaimana lukanya, Nona? Apa sangat sakit?" tanya Mary cemas. "Aku baik-baik saja, ini hanya luka kecil." Violetta berusaha tersenyum meskipun sedang menahan sakit. "Ayo duduk sini, Nona. Biar kami obati lukanya," ucap Mary dan Violetta langsung duduk di sisi tempat tidur. "Terima kasih ya," ujar Violetta. "Tidak usah berterima kasih, Nona. Itu memang tugas kami, bagian mana yang sakit, Nona?" tanya Mary. Perlahan Violetta menggerakkan tubuhnya untuk miring, lalu membuka tali bathrobe yang diikatkan. Barulah setelah itu dia menurunkan sebagian bathrobe-nya, begitu melihat bekas cambukan gesper kedua pelayan itu sempat terkejut. "Ya ampun, bagaimana Anda bisa menahan semua ini dan bilang baik-baik saja, Nona? Pasti ini sangat sakit," ucap Elina. "Sudah, nanti saja bicaranya. Kemarikan obatnya," ujar Mary. Violetta hanya tersenyum miris mendengar ucapan dua pelayan itu, karena sejujurnya dia juga tidak tahan. Tapi dia juga tidak mungkin mengungkapkan rasa sakitnya, apalagi sampai harus menangis di depan kedua orang itu. "Aw," pekik Violetta pelan saat Mary menempelkan obatnya. "Tahan ya, Nona. Kita obati agar tidak sampai meninggalkan bekas," ujar Mary. Violetta hanya mengangguk, dia mencoba menahan rasa perih saat obat dioleskan padanya. Bukan karena alasan apakah akan ada bekas atau tidak, karena jujur Violetta tidak perduli sama sekali jika itu meninggalkan bekas. "Selesai," ucap Mary saat dia sudah selesai mengobati semua lukanya. "Terima kasih ya, sakitnya juga sedikit berkurang." Violetta membetulkan kembali bathrobe-nya dan mengikatnya. "Apa mau saya ambilkan pakaian Anda, Nona?" tanya Elina. "Tidak usah, biar pakai ini dulu. Rasanya perih kalau harus menggunakan bra," jawab Violetta. "Tuan tidak biasanya seperti ini, kalau kesal biasanya dia akan menghukum para wanitanya dengan memasukkan mereka ke sel bawah tanah. Membiarkan mereka ketakutan sampai tidak berani untuk mengulanginya, itu pun jika kesalahannya sudah kelewatan. Kalau tidak ya paling dikurung di kamar," celetuk Mary. "Benar, tuan tidak biasanya main pukul begini. Sebenarnya apa yang membuat tuan sampai setega itu, tidak mungkin karena tempat ini di serang, kan. Tadi saja tuan baik-baik menyuruh Anda kembali ke kamar," timpal Elina. "Semua ini karena kesalahan kakak saya, dia yang sudah membuat saya ada di rumah ini. Dia juga yang akhirnya membuat saya harus dipukul begini," jawab Violetta. "Kok bisa, Nona. Kenapa kakak Anda membuat Anda di pukul, dia .... dia bukan yang menyebabkan kerusuhan di sini, kan?" tanya Mary. Violetta menundukkan kepalanya, dia pun akhirnya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan dia tidak bisa menahan air matanya, seolah kedua pelayan itu menjadi tempat untuk mencurahkan kesedihannya saat ini. Dia tidak berhasil menahan rasa sedihnya lagi, setelah sejak tadi berusaha sekuat tenaga. "Harusnya tuan tidak menjadikan Anda pelampiasan, bukankah Anda bahkan tidak tau apa-apa. Lagipula kakak Anda kenapa sampai senekat itu, apa dia tidak memikirkan nasib Anda di sini," ucap Elina dengan raut sedih. "Mungkin sudah nasibku harus begini, aku akan mencoba terbiasa menerima hal seperti ini. Aku ingin sekali membenci kakakku, tapi mendengarnya sampai nekat menyerang aku merasa dia masih ada rasa perduli padaku. Aku jadi bingung apakah harus membencinya atau tidak" ungkap Violetta apa yang dirasakannya. "Antar saudara memang seperti itu, Nona. Kadang kita ingin tidak saling perduli, tapi ikatan batin yang terjalin tidak bisa dikhianati. Pasti kita tidak ingin jika saudara lainnya terluka," sahut Mary. "Kamu benar, aku bahkan takut jika sampai kakakku ditangkap dan dihabisi tuan Leonel. Membayangkannya saja aku tidak ingin, tapi itu yang tadi tuan katakan. Aku sudah memohon, malah hal itu membuat tuan salah paham. Aku benar-benar bingung dan takut," jelas Violetta. "Sudah, Nona tidak usah terlalu pikirkan. Saya tau apa yang Nona rasakan, hanya saja kita bisa apa. Nona berdoa dan berharap saja, agar tuan tidak sampai menemukan keberadaan kakak, Nona. Jika pun harus bertemu, mungkin tuan tidak memberikan hukuman yang berat." Mary mencoba menenangkan Violetta, agar tidak terlalu cemas. "Eh iya, Nona minum obat ini dulu. Supaya mengobati lukanya dari dalam, juga agar nona bisa istirahat." Elina mengambilkan obat untuk Violetta, lalu memberikannya agar diminum Violetta. "Ayo berbaring, Nona. Kami akan di sini menemani Anda, jadi Anda bisa istirahat." Mary membantu Violetta berbaring, yang langsung dipatuhinya. Sementara itu, di markas Black Master. Brian mendengar notifikasi ponselnya saat dia dan anggota lainnya sedang menikmati minuman setelah kembali dari menyerang The Crusher. Dia masih kesal karena tidak berhasil menyelamatkan adiknya, dengan malas Brian membuka ponselnya dan matanya seketika melotot melihat apa yang ada di layar ponselnya. "b******k! Aku tidak bisa diam saja, adikku bisa tewas di tangan si b******k itu! Aku harus ke sana lagi dan menjemputnya," ucap Brian emosi. "Tunggu, memangnya ada apa? Kamu tidak bisa ke sana seenaknya, kamu lapor bang Ken dulu. Memang apa yang kamu lihat?" tanya salah satu anggota Black Master. "Lihatlah, dia menyiksa adikku. Bisa-bisanya dia menyiksa seorang perempuan, dasar pengecut!" geram Brian memperlihatkan video yang dikirimkan Zack tadi. "Hahaha, dia bahkan mengeditnya agar tidak terlihat wajahnya. Dia pasti takut kamu meminta bantuan polisi, karena ini bisa menjadi barang bukti. Sudah kamu temui bang Ken dulu," jawab rekan Brian lagi. "Di mana bang Ken?" tanya Brian beranjak dari duduknya. "Sepertinya dia di kamarnya, bos sedang bersenang-senang dengan wanitanya. Jadi bang Ken belum memberikan laporan dan ke kamarnya," jawab rekan yang lainnya. "Ya sudah aku ke kamar bang Ken dulu, aku harus bisa menyelamatkan adikku secepatnya." Brian langsung berjalan menuju kamar Ken, dia harus bertanya apa yang harus dia lakukan saat ini. "Siapa?" tanya Ken dari dalam kamarnya. "Saya, Bang. Brian," jawab Brian. "Ada apa ke sini?" tanya Ken begitu pintu kamar itu terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN