Harlem – Manhattan
01.53 AM
_________
Entah bagaimana lagi Jonathan menasehati dirinya sendiri untuk kembali ke rumah dan yakin saja kalau semuanya akan baik-baik saja.
Lelaki itu bak id!ot yang terlalu cemas pada seseorang yang sebenarnya tak begitu dekat dengan dia. Bukan teman. Mereka hanya kenalan. Apakah gadis itu menganggap Jonathan sebagai temannya? Apa hanya dia yang cemas berlebihan di sini? Kata Kim Seo Joon, dia sendiri yang mau bekerja di perusahaan Seo Joon. Semestinya Jonathan tak perlu cemas. Namun, kenapa dia tidak bisa mengontrol pikirannya untuk tidak cemas?
Terjadi perang batin yang hebat di dalam dirinya. Pikiran dan hatinya bermusuhan. Sebagian dirinya mencerca dan sebagian lagi sangat dibuat penasaran. Demi Tuhan, bisakah seseorang menjelaskan bagaimana kondisi Jonathan Kusuma saat ini?
Pertama dia sudah merusuh Kim Seo Joon dan lelaki Asia itu sudah menjelaskan apa yang membuatnya rela mengeluarkan segepok uang untuk Selena, tapi sampai sekarang pikiran Jonathan masih sangat tidak tenang.
Seperti sekarang ini. Dia sudah seperti seorang penjahat yang sedang mengawasi sebuah toko. Menunggu tuannya keluar dan siap mencuri. Astaga. Sejak tadi alam bawah sadarnya terus memaki Jonathan.
Satu jam lebih mobilnya terparkir di depan sebuah flat yang terletak di Harlem. Dan sudah selama itu juga dia begong di belakang kemudi.
‘Pergi, tidak. Pergi, tidak. Pergi, tidak.’
Jonathan terus menggumamkan dua kata itu di dalam hatinya. Lelaki itu bergeming. Sedikit mencondongkan wajah dan matanya memanjat meraih lantai tiga.
‘Apa dia ada di sana?’ tanya Jonathan dalam hati.
‘Mengapa tidak kau cari tahu saja?’ balas alam bawah sadarnya.
Lelaki itu menghela napas sambil perlahan membawa punggunya ke belakang hingga menyentuh sandaran. Mulutnya terbuka melepaskan desahan panjang.
“Haahhh ….”
TOK TOK
Jonathan tersentak dan secara naluriah memandang ke samping. Tampak seorang gadis mengetuk kaca mobilnya.
“Out!” teriaknya dari luar.
Jonathan mendengkus. Lelaki itu mulai membuka sabuk pengamannya. Kemudian memberikan tatapan keras pada si wanita yang masih mengetuk-ngetuk kacanya tanpa berhenti.
“Hold on!” Jonathan berdecak kesal. Tak ada pilihan lain. Sepertinya dia memang harus turun.
“Turun kau!” Sekarang suara wanita itu makin meninggi dan Jonathan mulai berpikir jika sebentar lagi dia akan terkena masalah besar.
Jonathan hanya bisa berdecak. Sambil memandang si gadis, Jonathan mengayunkan tangannya. Menutup pintu mobil dengan gerakan pelan. Wanita di depannya terlihat masih muda, tapi dia bau alkohol. Bisa ditebak kalau gadis ini baru pulang dari clubing.
“What the hell are you doing here?” tanya gadis itu dengan suara meninggi. Sambil berkacak pinggang, dia mengangkat dagunya. Memberikan tatapan menantang pada Jonathan.
Lelaki itu tak menjawab. Hanya menghela napas. Melilit kedua tangan di depan d**a lalu menyandarkan punggungnya ke mobil.
“Jawab aku!” teriaknya lagi.
“Kau mabuk, Nona.” Jonathan berucap begitu tenang.
“Fu’ck off!” makinya. Tubuhnya gontai. Dia menggoyangkan kepala sambil mengerjap. Berusaha membuat fokus. Wanita itu mendekat. Meraih kerah jaket Jonathan lalu menarik ke arahnya. “Kau pasti penjahat, kan?”
Lagi-lagi Jonathan mendengkus. Dia menatap si wanita dengan dahi terlipat. Untuk beberapa alasan, Jonathan jadi menyesali keputusannya yang turun dari mobil. Semestinya tadi dia menekan kunci lalu menancap gas dan pergi dari sini.
“Katakan padaku,” ucap gadis itu sambil mengguncang-guncangkan tubuh Jonathan. “Kau penjahat c***l yang sering menunggu para gadis, ‘kan? Aku melihatmu dari tadi. Aku tahu kalau wajah-wajah seperti ini adalah kep^rat dalam balutan jas mewah,” ujar gadis itu dengan tatapan menghakimi.
“Ck!” Jonathan meraih kedua tangan gadis itu lalu mengempaskannya dengan kasar. “Apaan sih!”
Wanita itu memandang Jonathan dengan dahi terlipat. “Apa kau bilang?”
Jonathan tak mau menjawab. Lelaki itu lebih memilih untuk mengibaskan jaketnya. Satu tangannya mulai merayap meraih gagang pintu. Keputusan yang baik untuk meninggalkan gadis ini sekarang sebelum dia dapat masalah besar. Akhirnya Jonathan memutar tubuh dan siap masuk lagi ke dalam mobilnya.
“Are you from Indonesia?” Gadis itu bertanya sambil menggoyangkan telunjuknya menunjuk Jonathan. Pertanyaannya membuat Jonathan menunda untuk masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu menoleh. Memandang wanita itu lewat ekor matanya. Tampak si wanita tengah memberikan tatapan menyelidik. “Are you from Indonesia?” tanya wanita itu sekali lagi.
Jonathan memutar tubuhnya lambat-lambat. Setengah alisnya terangkat saat dia kembali menatap si gadis setengah mabuk itu.
“Lo dari Indonesia, ‘kan?” Gadis itu bertanya untuk ketiga kalinya.
Jonathan masih mengerutkan dahi. “Dan … apa kamu juga dari Indonesia?” tanya Jonathan.
Wanita muda di depannya tertawa renyah. Dia membawa tangannya mengusap rambutnya hingga ke belakang kepala. Sekilas memalingkan wajah ke samping, lalu kembali dengan tatapan menantang.
“Ya!” celetuk gadis itu dengan mata nyalang. Seketika rasa mabuknya mereda. “Terus lo ngapain di sini, hah? Mau jadi penguntit?”
Jonathan masih tidak berucap. Otaknya sedang mengelolah sesuatu.
‘Aku tinggal berdua bareng teman aku.’
‘Dia sibuk.’
‘Dia memang sibuk, Than. Dia gak seperti itu, kok. Kita sudah berbagi tugas. Kirana bagian bersih-bersih rumah sama nyuci baju, aku bagian masak dan belanja. Tapi, kadang dia belanja juga kok. Ya … walau lebih sering dia memilih untuk membeli makanan cepat saji.’
Untuk sekejap Jonathan terkekeh kecil. Lelaki itu menggelengkan kepalanya.
“Kenapa lo ketawa?” tanya wanita muda di depannya.
Jonathan kembali membawa atensi penuhnya kepada gadis bermulut besar itu. “Kamu temannya Selena?”
Wanita di depannya kembali menarik kepalanya ke belakang. Memandang Jonathan dengan pandangan heran. “Selena?” tanya gadis itu.
Beberapa detik Jonathan terdiam. Lalu dia mulai meraih tengkuk dengan tangan. Jo menunduk sambil mengusap tengkuknya. “Maaf, sepertinya aku salah orang.”
“Oh!” pekik wanita itu. “Kamu lelaki itu ya?”
Kening Jonathan mengerut dan dia kembali menatap gadis itu. “Maksudmu?”
Tampak gadis di depannya menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. “Lo yang ninggalin handuk di apartemen gue?” tanya wanita itu, sarkastik.
Sekarang Jonathan benar-benar yakin kalau dia temannya Selena. Jo, tertawa singkat. “I- iya,” kata pria itu. “Maaf ya, ka-“
PLAK
Jonathan terbelalak. Wajahnya terlempar dan seketika pipinya berdenyut perih.
‘Sial!’ batin Jonathan.
“KIRANA!” seru seseorang.
Mata Jonathan makin membesar saat mengenali suara itu. Derap langkah sang gadis membuat jantung Jonathan berdetak meningkat.
“Astaga! Suara kamu kedengaran banget sampe di atas, tahu gak? Aku sampe melompat dari tempat tidur saat dengar suara kamu.”
Jonathan masih tidak bergerak. Tubuhnya membeku. Rasa nyeri di pipinya tergantikan dengan nyeri yang kini membungkus jantungnya.
“Ck! Lagian kamu ngapain sih, bukannya naik aja. Dan ini siapa?”
“Ini ….”
Ubun-ubun Jonathan seolah berdenyut. Merasakan telunjuk si gadis yang baru saja menamparnya dengan kuat.
“Dia pria sialan k*****t itu, Len.” Wanita itu kembali berucap.
“Apaan sih. Kamu kalau mabuk suka gitu deh. Ayo, ke atas sekarang.”
“Tunggu!” bentak wanita itu. “Lo liat dulu ini.” Wanita cerewet itu meraih kerah jaket Jonathan. Membuat lelaki itu terpaksa menegakkan badannya. “Ini dia. Cowok set^n yang lo ceritain kemarin, Len.”
DEG
Jonathan merasa kalau jantungnya baru saja berhenti berdetak. Meninggalkan sesuatu yang sangat nyeri di sana. ‘Cowok set^n?’ batin Jonathan.
Sementara wanita berambut cokelat bergelombang di depannya tampak membeku. Mata bulatnya membesar memandang lelaki di depannya. Mulutnya berkedut. Ingin sekali ia berucap memanggil nama pria itu. Namun, ada sesuatu yang seolah menahannya. Membuat gadis itu tetap diam.
“Dia orangnya, ‘kan Len? Jawab gue!” bentak temannya. Dia masih menyandera tangan Jonathan dan jari telunjuknya tak berhenti menghakimi Jonathan.
Baik Selena maupun Jonathan, keduanya terdiam. Saling memandang dengan pandangan kosong.