“APA?!”
Seketika semua orang langsung memusatkan perhatiannya kepada pria yang baru saja memekik dengan suara yang melingking tinggi. Matanya terbelalak dengan tatapan nyalang menikam Aaron Travis.
Suasana mendadak hening selama beberapa detik. Terjadi pertikaian sengit antar tatapan dengan sorot mata tajam di sini. Disertai embusan napas panjang yang kemudian memecah kesunyian sesaat.
“Lelucon macam apa itu, Aaron?” Jonathan kembali berucap. Barusan alam bawah sadarnya seperti mendapatkan teror lebih banyak. Bagai melempar bom pada timbunan galon berisi bensin, seketika meledak begitu saja. Serasa gelenyar panas menjalar ke seluruh pembuluh darahnya ketika wajah seorang gadis muncul tiba-tiba di dalam kepalanya.
“Aku setuju.”
Belum pulih kesadaran Jonathan ia kembali mendapatkan kenyatan lebih pahit dari sebelumnya. Wajahnya makin membentuk garis tegas dengan rahang yang berubah kencang. Usahanya begitu keras untuk menyeret pandangannya mencari visual dari pria yang baru saja berucap itu. Kemudian Jonathan mengerutkan dahinya.
“Darren?!” gumam Jonathan. Ia mencondongkan wajahnya dengan matanya yang melebar. Terkejut? Sudah pasti.
Dari tempat berlawanan arah, terlihat wajah Darren menegang. Bola matanya terpaku menatap kedua tangan yang terkatup di bawah dagunya. Embusan napas panjangnya terdengar menggema – semakin menambah teror – pada alam bawah sadar Jonathan. Pria Kusuma itu memperhatikan bagaimana Darren mulai memutar wajahnya. Memberikan tatapan kosong yang memancarkan keheningan mencekam.
“Aku setuju dengan taruhannya,” ucap Darren. Rahangnya kembali mengencang setelah mengucapkan kalimat barusan.
Semua orang dibuat tak percaya. Bagaimana satu-satunya pria yang tampak begitu tak memedulikan taruhan ini malah yang pertama kali menyahut. Sementara pada sisi bersebrangan, raut wajah Jonathan berubah. Terlihat kegelisahan dan ketakutan, bercampur aduk di dalam diri pria itu. Naluri membisikan sesuatu yang mengerikan dari ucapan Darren barusan.
Jonathan tahu persis arti dari tatapan mata sebiru laut yang kini mulai berubah gelap mengisyaratkan kengerian yang benar-benar menakutkan. Seketika memori menerbangkan Jonathan pada kejadian malam itu, di mana Darren dengan gampang menampar wajah seorang gadis.
“Dar-“
Panggilan Jonathan terhenti ketika Darren memutar pandangannya kepada Aaron.
“I’m in,” ucap Darren. Entah mengapa. Rahangnya mengeras dan kepalan tangannya tiba-tiba terbentuk. Sekiranya apa yang sedang dipikirkan pria McKenzie itu, hanya dia dan Tuhan-nya yang tahu.
Sikap yang ditunjukkan Darren membuat Aaron tersenyum penuh kemangan. Akhirnya dia berhasil menyulut api di hati seorang Darren McKenzie. Pria itu sudah memperkirakan hal ini sebelumnya. Aaron yang pasti paham betul alasan Darren menyetujui taruhan ini.
“Aku akan menghajarnya di ranjang.”
Dan dugaan Aaron baru saja terjawab. Darren kembali mendengkus. Tatapannya berubah kosong. Sadar atau tidak, sekarang dia sedang menonjok telapak tangan kirinya dengan punggung tangan kanannya yang telah mengepal sejak tadi.
Aaron bergeming. Memindahkan tatapan kepada dua orang pria yang duduk di depannya. “Bagaimana dengan kalian?” tanya Aaron.
Yang pertama mendengkus adalah Jonathan. Pria itu melempar punggungnya ke belakang sambill membuang muka. Sementara kedua tangannya ikut mengepal di atas lututnya.
“Seo Joon,” panggil Aaron.
Butuh waktu beberapa detik bagi Kim Seo Joon untuk berpikir. Ini benar-benar gila. Taruhannya begitu sulit. Sesuai prinsipnya, Seo Joon tak ingin b******a dengan sembarangan wanita. Bahkan memang selama 27 tahun, Kim Seo Joon tak pernah b******a dengan seorang wanita. Tidak. Dia tetap hanya akan b******a dengan gadis yang benar-benar mau melakukannya dengan sukarela dan atas dasar cinta.
Namun, satu sisi dalam diri Kim Seo Joon berbisik kepadanya jika dia bisa menggunakan cara lain. Tidak harus meniduri gadis itu. Pasti akan ada cara untuk memenangkan taruhan ini tanpa melukai gadis tersebut.
Kim Seo Joon mengela napas dalam-dalam. Mengembuskannya perlahan kemudian berucap, “Baiklah aku setuju.”
Bola mata Jonathan kembali membesar. Sontak dia memutar tatapan tajamnya kepada Kim Seo Joon.
“Seo Joon!” Jonathan nyaris membentak.
Dengan santai Kim Seo Joon menatapnya. Bahkan hanya lewat ekor matanya saja yang memandang Jonathan lalu pria itu berucap, “Ayolah, Bung! Ini hanya taruhan. Lagi pula dia hanya gadis bar, kenapa kau begitu terusik seakan-akan dia adalah pacarmu.”
Terlihat lipatan di dahi Aaron Travis. Sesuatu terlintas di kepalanya. Ia pun memindahkan pandangan kepada pria yang duduk di samping Kim Seo Joon. Matanya mengecil memandang Jonathan. “Wait, wait.” Telunjuk Aaron dengan ragu mengarah pada Jonathan. “Oh ya, kau yang membawa pergi gadis itu kemarin, kan? Apa jangan-jangan ….”
Jonathan kembali membanting punggungnya. Pria itu mendengkus. “Jangan samakan aku dengan kau, Aaron,” kata Jonathan tanpa memandang lawan bicaranya.
Decihan Aaron terdengar cukup jelas. Pria itu menggelengkan kepalanya. Memandang Jonathan dengan pandangan rendah. “Secara kasta, kedudukan, ketampanan dan kehormatan, tak ada yang bisa menyetarakan dirimu denganku.”
“Aaron!” geram Darren. Dia paling benci jika Aaron sudah menyerang personal Jonathan.
Sudut bibir Aaron terangkat. Ia memutar pandangan kepada Darren. “Budakmu yang mulai duluan,” kata pria itu santai.
“Haruskah kuhancurkan rahangmu?”
Kim Seo Joon akhirnya mendesah panjang. Dia melayangkan kedua tangan ke udara tanda menyerah.
“Demi Tuhan, bisakah kita bicara sewajarnya? Bukankah kita akan membahas taruhan?” kata pria Korea Selatan itu. Ia memutar pandangannya, memandang satu per satu temannya. Seo Joon kembali mendengkus. “Begini saja,” ucapnya lagi. Dengan penuh percaya diri pria itu kembali memangku kakinya. Tubuhnya tegap seperti semula. “Jika ada yang tidak ingin mengikuti taruhan ini, maka tak ada satu pun yang bisa memaksanya. Dan –jika yang lain ingin taruhan ini, maka tak ada yang boleh menghalanginya.” Kim Seo Joon berucap dengan raut wajah serius.
Jonathan tidak bisa berbuat apa-apa. Sadar, jika posisinya dalam grup ini hanyalah seorang b***k. Dia tidak termasuk dalam kalangan kaum kelas atas karena Jonathan tidak punya perusahaan seperti tiga orang pria yang duduk dalam ruangan ini. Sekali lagi Aaron berhasil mengingatkan Jonathan jika dirinya tak boleh banyak tingkah.
Jonathan menepuk kedua lututnya dengan kasar sebelum bangkit dari tempat duduknya.
“Kau mau ke mana, Jo?!” seru Darren.
Jonathan menggelengkan kepalanya. Sambil terus berjalan, ia mengangkat tangan kanan ke udara pertanda menyerah lalu segera meninggalkan apartemen milik Aaron. Tak peduli seberapa kuat Darren memanggilnya, tetap saja Jonathan melangkah pergi meninggalkan apartemen tersebut.
Wajahnya berubah tegas. Embusan napasnya memberat dan seketika rahangnya mengencang. Bukan semata-mata kerena ucapan Aaron yang kembali melukai harga dirinya. Namun, lebih daripada itu, Jonathan lebih menghawatirkan soal taruhan mereka. Juga … objek yang akan menjadi fokus taruhan para pria laknat teman Jonathan itu. Tidak. Dia tidak akan membiarkan semua ini terjadi begitu saja.
‘Aku tidak bisa membiarkan Selena menjadi alat taruhan mereka. Tidak. Selena adalah gadis baik-baik. Akan kulakukan apa pun untuk bisa melindunginya. Ini janjiku,’ batin Jonathan.