Karen menghela napas pasrah begitu melihat belum ada satu pun pengunjung yang mampir ke butik Davina. Davina adalah atasan sekaligus temannya itu begitu menyebalkan jika omset harian butiknya tidak sesuai dengan target. Wanita bermulut tajam itu selalu mengomel dan mengomentari jika butik sepi, dan ia hanya bisa diam dan membenarkan saja. Padahal butik ini milik mereka berdua, namun modal Davina lebih besar dari dirinya sehingga Davina selalu menganggap dirinya atasan dan ia bawahan. Tapi jangan salah, semua gaun dan baju-baju di toko ini hasil rancangannya, jika tidak ada dirinya yang mendesain baju di sini, butik ini tidak akan laku dan bisa bertahan selama lima tahun ini.
Tring!
Pintu berdenting dan Karen langsung mendongak. Mungkin itu bisa jadi pengunjung pertama butik untuk hari ini. Karen sudah akan melebarkan senyumnya ketika yang muncul ternyata Davina. Seketika itu juga bibirnya langsung kaku.
Karen yang sedang berdiri di depan meja kasirdan sudah menyiapkan beberapa alasan yang tepat jika Davina langsung mengomel karena butik sepi pengunjung. Tapi wanita itu hanya menunjukkan raut yang tidak bersahabat dan mata yang muram.
Apalagi kali ini.
"Gue butuh bantuan lo," sahut Davina dengan wajah yang masih kusut.
"Bantuan apa?" tanya Karen bingung, Davina tidak menjawab. Lewat tatapan mata, Davina menyuruh Karen untuk mengikutinya ke ruangan mereka berdua. Sebelum mengikuti Davina, Karen meminta tolong kepada salah satu rekan kerja untuk menggantikannya di meja kasir. Setelah berterima kasih, wanita itu segera mengikuti Davina.
"Lo harus bantu gue buat ngegagalin pernikahan gue, ortu gue udah ngejodohin gue sama salah satu anak klien mereka.” Jelas Davina danlangsung uring-uringan.
"Bantu gagalin gimana maksud lo?" tanya Karen bingung.
"Yah elo bilang sama dia, kalau gue nggak mau nikah sama dia. Bilang aja kalau gue udah punya cowok."
"Kenapa elo nggak bilang sendiri aja sih? Kalau dia nggak percaya gimana?"
"Yah elo bilang aja, lo sahabat gue. Pokonya ngarang deh terserah elo. Yang jelas gue nggak mau nikah sama dia!"
Karen menghela napas, ia benar-benar malas jika harus berdebat dengan Davina. Lagi pula kenapa dirinya tidak menurut saja, menyetujui perjodohan yang telah direncanakan oleh kedua orang tuanya itu.
"Tapi Na--"
"Kalau elo nggak mau, gue tahan gaji lo," ancam Davina membuat Karen mengepalkan kedua tangannya. Nah, ini salah satu karakter menyebalkan Davina yang selalu mengancamnya agar menuruti keinginan dirinya. Padahal ia membutuhkan gajinya bulan ini, adiknya akan mengikuti ujian kenaikan dan syarat untuk mengikutinya dengan membayar penuh SPP-nya. Jika dirinya menolak keinginan sang tuan putri, habis sudah dirinya.
"Elo mah selalu bawa-bawa pekerjaan," dengus Karen sebal berbeda dengan Davina yang menyeringai.
"Oke kalau begitu, nanti siang lo ke perusahaan Ervin dan bicarain soal pembatalan pernikahan gue."
Karen memutar bola matanya lalu mengangguk. Davina tersenyum puas melihat temannya itu yang selalu menuruti semua keinginan dirinya tanpa terkecuali.
.
.
.
.
.
Karen memasuki perusahaan Ervin dengan bingung, teman egoisnya itu tidak memberitahunya jika Ervin berada di lantai berapa dan menjabat sebagai apa di perusahaan ini. Wanita itu hanya memberitahunya nama perusahaannya saja. Dengan sebal ia berjalan menuju resepsionis.
"Emm maaf, Mbak. Kalau boleh tau ruangan Ervin di lantai berapa?" tanya Karen, wanita yang duduk di meja resepsionis tersebut mendongak lalu tersenyum kepadanya.
"Apa Mbak sudah mempunyai janji terlebih dahulu dengan beliau?"
Karen menggeleng sebagai jawaban.
"Kalau begitu maaf tidak bisa, Mbak harus membuat janji dulu dengan beliau." Jelas sang resepsionis tersebut membuat bahu Karen terkulai lemah.
Sial, orang kaya memang menyebalkan.
"Kalau begitu, bisa tolong buatkan janji temu dengan saya? Ini penting Mbak."
"Tunggu sebentar saya telepon dulu sekertaris beliau." Karen mengangguk lalu menunggu dengan tidak sabaran begitu si resepsionis tersebut menelepon.
"Maaf, Mbak. Hari ini jadwal Bapak Ervin full dan Mbak bisa ke sini lagi besok pagi." Karen menghela napas dengan keras, ia benar-benar kesal. Tanpa membalas perkataan sang resepsionis itu Karen mengangguk lalu segera pergi dari perusahaan tersebut.
"Gimana?" todong Davina begitu dirinya sampai di toko.
"Gagal, calon suami lo sibuk nggak bisa ditemui."
"Sial, kalau gitu elo besok kembali ke sana."
Karen mengangguk lalu menatap ke sekeliling ruangan kasir begitu melihat beberapa tas besar yang sudah diperkirakan berisi baju dan gaun. Karen memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri melihat ruang kasir yang begitu kacau. Davina sibuk melihat komputer tanpa mengindahkan kehadirannya, lalu ia melirik Suci dan Lulu dua juniornya yang sedang melayani pembeli. Dengan kesal ia menyeret tas besar yang berisi baju dan gaun tersebut untuk di bawa ke gudang.
Benar-benar menyebalkan harinya kali ini, ingin rasanya ia berteriak dan memarahi semua orang yang membuatnya kesal. Davina bukan hanya menyebalkan dia juga egois, ini sudah jam 3 dan dirinya belum makan siang sedangkan gaun dan baju yang yang dikirim belum dirinya cek ulang. Dia bisa saja menyuruh kedua juniornya untuk mengerjakannya, tapi jika ada Davina di depan sana itu sama saja mencari perkara. Davina akan terus menyuruh Suci dan Lulu untuk berjualan, sampai target harian tercapai. Ia benar-benar tidak peduli jika Davina mengomelinya karena belum menyelesaikan pekerjaannya, perutnya lapar dan harus segera diisi jika tidak ingin dirinya pingsan di sini.
Karen keluar dengan tas kerjanya ia mungkin akan makan di foodcourt saja tidak seperti biasanya yang keluar dari dalam mal, karena ia lebih menyukai makan di warung kaki lima daripada harus makan di dalam mal yang harganya bisa berkali lipat dengan makanan kaki lima.
"Mau ke mana lo?" tanya Davina begitu melihat Karen keluar dari gudang.
"Makan, gue laper." Davina mengangguk.
"Ntar lo lembur, sampe tutup toko. Dari kemaren target harian di sini nggak mencapai sesuai yang gue mau. Oh iya satu lagi, lo mesti design gaun baru." Karen yang mendengar perkataan Davina hanya mengerjapkan kedua matanya, wanita di depannya itu benar-benar hanya bisa membuat dirinya jengkel saja. Kepalanya benar-benar ingin meledak, seenaknya saja menyuruhnya ini dan itu. Jika ia menolak bukan saja gajinya yang tidak cair, tapi bisa jadi dirinya yang dipecat dari toko ini.
Double sial.
"Oh iya gue mau pulang, lo bilangin karyawan lo dong, kalau input data tuh yang bener. Kalau perlu elo aja yang input data barang masuk, biar mereka berdua yang jaga toko." ujarnya lagi, Karen hanya mengangguk-anggukan kepalanya padahal di dalam hatinya ia sudah panas, ingin sekali memaki Davina.
Setelah kepergian Davina, Lulu dan Suci seketika menghampiri Karen dengan pandangan bersalah.
"Maafin kita Mbak, gara-gara kita Mbak Karen kena omel Nyonya," seru Lulu dengan bersalah.
Karen menyunggingkan senyuman begitu mendengar Davina dijuluki Nyonya oleh Lulu. Baik Lulu maupun Suci sama-sama tidak menyukai Davina, bagi mereka Davina bos yang menyebalkan. Davina selalu menyalahkan mereka jika tokonya sepi tapi jika tokonya mencapai omset yang ditargetkan sang Nyonya, sang Nyonya akan memuji mereka dan selalu mentraktir mereka makan, tapi tetap saja mereka tidak menyukainya.
"Mbak Karen kok bisa tahan sih, temenan bahkan kerja sama dengan Mbak Davina. Kalau aku ih nggak mau. Bisa tahan kerja di sini aja gara-gara ada Mbak Karen," seru Suci yang diangguki oleh Lulu.
"Kalian ini ada-ada aja deh, yaudah Mbak ke atas dulu yah mau makan." Lulu dan Suci seketika mengangguk.
"Lulu udah istirahat?" tanya Karen pasalnya Lulu masuk pada bagian shift siang, sedangkan Suci shift pagi. Lulu menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Bener-bener deh si Vina, anak orang dibiarin kerja rodi. Yaudah kamu mau makan apa, Lu? Biar sekalian Mbak beliin kamu temenin Suci aja yah." Lulu mengangguk sambil tersenyum.
"Samain kayak Mbak Karen aja deh," balasnya kali ini diangguki oleh Karen, setelah itu Karen pun pamit untuk keluar mencari makan meninggalkan kedua juniornya yang bisa bernapas dengan lega.
.
.
.
.
.
Sudah satu minggu lamanya Karen mengunjungi kantor Ervin, namun selama itu juga dirinya belum bisa bertemu dengan Ervin, Pak CEO sibuk lah, tidak masuk kantor lah dan entah apalagi alasan sang sekertaris tersebut gunakan. Demi Tuhan dirinya ingin bekerja dan istirahat dengan tenang, tapi seminggu belakangan ini dirinya bahkan sering tertidur di toko. Ia lembur untuk mengejar omset, malamnya ia begadang untuk membuat gaun baru dan siang harinya ia selalu mengunjungi kantor Ervin, yang sialannya pria yang ingin ditemuinya itu selalu tidak bisa bahkan tidak ada. Belum lagi keluhan Davina yang terus merecokinya untuk segera bertemu dengan Ervin, membuat kepalanya serasa ingin meledak.
Tapi sekarang ia sudah muak dengan semuanya, ia tidak peduli jika Ervin tidak ingin menemuinya tapi dirinya benar-benar ingin terbebas dari Davina dan masalah yang dia buat. Setelah mendengar alasan basi lagi dari sekertaris Ervin, Karen berjalan dengan langkah besar menuju ruangan Ervin tanpa memedulikansekretaris Ervin yang berlari di belakang tubuhnya.
Pintu ruangan Ervin terbuka dengan keras menampilkan sang empunya ruangan dengan wajah yang menunduk memeriksa beberapa dokumen. Wajahnya seketika mendongak melihat sumber keributan di depan matanya, Ervin menaikkan alisnya tinggi begitu dirinya melihat seorang wanita dengan rambut yang diikat ekor kuda tengah menatapnya nyalang.
"Ma-maaf Pak, saya---" Ervin mengangkat tangannya menyuruh sekretarisnya itu untuk berhenti berbicara kepadanya, dan menyuruhnya untuk pergi. Onyx nya yang hitam tajam itu menatap dingin Karen, meminta wanita itu untuk menjelaskan apa tujuannya kemari.
Karen mengatur jantungnya yang berdetak tidak karuan, sialan tubuhnya tiba-tiba gemetar begitu dirinya melihat tatapan tajam cowok yang bernama Ervin tersebut. Ia seperti membangunkan seekor Singa yang sedang tertidur begitu menakutkan, pria yang bernama Ervin itu perlahan menghampirinya masih dengan tatapan tajamnya membuat Karen semakin takut.
"Gue Karen sahabat Davina, gue minta sama lo batalin pernikahan kalian karena Davina menolak perjodohan ini." Seru Karen cepat lalu ia segera berbalik dan melangkah pergi. Jantungnya berdetak dengan cepat, ia benar-benar akan pingsan jika terus-terusan berada di sana. Gila, tatapan pria tadi benar-benar seperti akan membunuhnya.
Begitu Karen akan membuka pintu di depannya, seseorang dari belakang tubuhnya mencekal lengannya. Karen seketika berjengkit kaget begitu melihat tubuh seorang pria yang menjulang tinggi di hadapannya, masih dengan tatapan yang sama, masih dengan wajah yang sama dan itu semua membuat Karen semakin ketakutan. Sialan.
"Bisa kamu ulangi apa yang kamu katakan tadi?" tanya Ervin dingin yang membuat Karen terdiam kaku.
“P-perkataan yang mana?" Karen malah membalikkan pertanyaannya, lebih baik dirinya pura-pura lupa saja dari pada dirinya harus mengaku dan bisa dihabisi oleh pria di depannya itu.
Tiba-tiba ponsel pria di depannya itu berdering membuat Ervin melepaskan cekalannya pada lengan Karen, Karen yang melihat peluang besar untuk kabur seketika mengambil kesempatan itu. Ia lalu membuka pintu di hadapannya dan dia harussegera pergi dari kantor pria menyeramkan itu. Sedangkan Ervin, ia benar-benar kesal karena telah kehilangan wanita yang mengganggu pekerjaannya itu.
Begitu Karen sampai di toko ia seketika melihat Davin yang sedang menunggunya dengan tatapan mata tajam, sial mau apa lagi teman egoisnya itu. Karen dengan perlahan berjalan menghampiri Davina.
"Lo ngomong apa sama Ervin?" tanyanya dingin.
Duh, salah apalagi gue.
"Sesuai yang lo minta ke gue kan, buat batalin pernikahan elo berdua."
"Bohong! Lo pasti nggak ngomong gitu!"
"Lo ngomong apa sih?!" kali ini Karen terpancing emosinya, ia benar-benar kesal.
"Pernikahan gue dipercepat, dan ini semua gara-gara lo yang ngomong macem-macem sama Ervin." Tandas Davina marah.
Sialan.
Karen kehabisan kata-kata ia benar-benar sudah muak dengan Davina, dengan kesal ia mengambil kembali tasnya yang sempat ia taruh di atas meja kasir kemudian berlalu pergi meninggalkan Davina yang masih menatap dirinya tajam.
-
-
-
Tobecontinue