Karen meremas dress yang dipakainya saat ini, pertanda dirinya benar-benar gugup. Keluarga besar Ervin menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan menyelidik. Dia ingin cepat-cepat pergi dari sini dan membatalkan perjanjiannya dengan pria tinggi itu. Kesalahan terbesarnya menerima tawaran Ervin, tapi dia juga tahu ia tidak akan bisa lepas dengan mudah dari pria kaku itu.
"Apa maksudmu, Ervin?" tanya suara tegas yang Karen perkirakan kepala keluarga di rumah ini yang tak bukan Papa Ervin.
"Dia Karen, kekasihku. Jadi kalian tidak usah repot-repot menjodohkanku dengan Davina!" tegas Ervin dingin, semua mata kini semakin memandang dingin dan remeh kepada Karen, karena wanita yang tidak jelas asal-usulnya itu terlihat sangat sederhana. Karen yang memang sedari tadi hanya menunduk semakin menundukkan kepalanya ke bawah. Ia bisa merasakan aura di sekitarnya berubah menjadi menegangkan, dan itu semua karenanya.
"Apa-apaan kamu Ervin! Jangan asal bicara kamu!" sentak nyonya tuan rumah di sini dengan marah, Ervin hanya menatap datar sang Mama.
"Aku tidak asal bicara, ini keputusanku. Lagi pula kalian menjodohkanku untuk memperoleh keturunan bukan? Jadi bukan masalah jika wanita itu bukan Davina." Jawaban Ervin membuat mereka berdua yang berada di meja makan besar itu bungkam. Jawaban Ervin memang benar adanya, tapi sepertinya tetap saja jika wanita itu bukan berasal dari keluarga terpandang seperti keluarganya rasanya tidak pantas bahkan memalukan.
"Apa pekerjaanmu?" tanya Novi sang nyonya rumah dengan tatapan dingin, Karen seketika mendongak menatap Novi dengan pandangan takut dan malu.
"Dia seorang desainer," jawab Ervin tenang yang membuat mata Novi memicing ke arah anaknya.
"Aku bertanya padanya, bukan padamu!" sembur Novi marah tidak membuat pria yang berdiri bersamanya itu takut atau terintimidasi dengan ucapan orangtuanya.
"Dan aku ini kekasihnya." tandas Ervin tegas tanpa bantahan.
"Desainer? Apa nama brand yang kau buat?" kejar Novi lagi.
"Dia bekerja sama dengan Davina." jawaban Ervin membuat Novi tidak puas.
"Sa-saya desainer sekaligus karyawan di sana," jawab Karen bersuara dengan terbata-bata.
"Bekerja sama? Kau karyawan Davina?!" tanyanya berang membuat wajah Karen kini semakin memucat, memang apa salahnya jika ia karyawannya.
"Apa kau gila Ervin! Kau menolak menikah dengan Davina tapi kau malah memilih untuk menikah dengan karyawannya. Apa kau sudah tidak waras Ervin?!" berang Novi dengan wajah yang benar-benar marah.
"Cukup! Menikah atau tidak menikah sama sekali. Jika kalian ingin aku menikah dan segera mendapatkan keturunan maka kalian harus menerima pilihanku. Jika tidak, maka aku tidak akan pernah menikah." Ervin berujar tegas lalu menarik lengan Karen tanpa perasaan kemudian berjalan meninggalkan rumah besar itu. Karen, wanita di belakangnya itu berjalan tergopoh-gopoh untuk mensejajari langkah besar Ervin. Karen meringis begitu merasakan pergelangan tangannya yang sakit, cengkeraman pada pergelangan tangannya begitu perih. Begitu sampai di depan pintu mobil penumpang, Ervin baru melepaskan cengkeramannya.
Tanpa berkata apa-apa Ervin membuka pintu mobil penumpang menyuruh Karen untuk segera masuk ke dalam mobil. Begitu Karen telah masuk, Ervin segera memutari mobilnya untuk masuk. Tak berapa lama mobil mewah berwarna hitam itu melesat dengan cepat meninggalkan rumah besar dengan aura dingin.
Ervin begitu fokus ke depan tanpa berniat melirik wanita di sampingnya, sedangkan Karen sedari tadi wanita itu memegangi pergelangan tangannya yang masih berdenyut sakit. Dia benar-benar tidak percaya jika pria yang baru di kenalnya beberapa hari itu begitu kasar. Dia tidak tahu nasibnya nanti jika dirinya benar-benar menikah dengan Ervin. Mungkin setiap dirinya melalukan kesalahan pria itu akan melukainya, tidak ia tidak mau kehidupan rumah tangganya seperti itu. Lagi pula siapa yang akan menikah dengan pria macam Ervin, keluarganya begitu menyeramkan tidak ada hangat-hangatnya sama sekali. Berbeda dengan keluarganya, meskipun mereka terlahir dari keluarga sederhana dan biasa-biasa saja tapi dirinya bahagia.
Mobil mewah Ervin telah sampai di depan rumah Karen, begitu Karen akan turun dari mobil Ervin, di pangkuannya kini terdapat sebuah botol kecil dengan merk asing. Kening Karen mengernyit dalam tidak mengerti.
"Kenapa kamu diam saja? Cepat turun," titah Ervin sambil menyuruh Karen mengambil botol kecil itu. Karen mendengus lalu keluar dari mobil Ervin, wanita itu akan mengatakan pembatalan perjanjian diantara mereka. Setelah dirinya berpikir cukup lama, dan dengan keberanian yang tersisa dia akan mengatakannya sekarang.
"Olesi salep itu pada pergelangan tanganmu yang sakit."
Karen mengangguk, ia pikir botol itu bukan salep tapi minyak gosok. Karena dirinya sering melihat botol kecil seperti itu di supermarket.
"A-aku rasa tentang perjanjian kita, a-aku..."
"Aku tidak akan menarik perkataanku, Karen. Kita akan menikah, lagi pula kau akan berterima kasih kepadaku karena aku membantumu."
"Tapi aku tidak bisa, aku punya kekasih!" seru Karen jengkel, untung saja dirinya sudah berada di luar kalau tidak ia pasti akan dikuliti habis oleh tatapan tajam Ervin.
Ervin mencengkeram setir kemudinya dengan kencang, tanpa membalas perkataan Karen dirinya segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan cepat, membuat Karen yang masih berdiri di depan rumahnya melongo. Kaget akan tindakan aneh Ervin.
-
-
-
-
-
Karen sibuk di dalam gudang, tempatnya untuk membuat sketsa baju. Ia begitu fokus sampai-sampai tidak menyadari sedari tadi ada yang mengetuk pintu. Begitu pensil dipegangnya ada yang mengambil barulah dirinya tersadar.
"Elo ada hubungan apa sama Tante Novi?" tanya Davina menyelidik, Karen mengangkat alisnya tinggi tidak mengerti dengan perkataan Davina.
"Maksud lo apaan?" Karen kembali bertanya, jelas saja dirinya tidak tahu karena seingatnya tadi malam wanita sosialita itu menentang hubungannya dengan Ervin.
"Nyokapnya Ervin ada di luar, dia nungguin lo. Hebat elo yah, gara-gara gue lo bisa deket sama Tante Novi, gue nggak mau tahu minggu depan gue pengen tas yang kemaren gue tunjukin ke elo." Mata Karen yang berwarna cokelat bening itu mengerjap-ngerjap, bersamaan dengan bulu mata wanita itu yang bergoyang membuat Davina iri bukan main dengan mata cantik sahabatnya itu.
Apa pendengarannya bermasalah? Davina meminta dirinya untuk membelikan tas yang harganya bisa untuk membayar biaya sekolah Karel-adiknya selama satu semester? Apa sahabatnya itu sudah gila!
"Elo nggak waras, Na."
Jawaban Karen membuat mata tajam Davina memicing.
"Gue waras makanya gue minta imbalannya. Elo jangan pelit dong Ren, setelah gue deketin elo dengan Ervin masa elo nggak ada ucapan terima kasihnya."
Karen menggeleng, kepalanya tiba-tiba pusing mendengar ocehan Davina. Ia beranjak dari duduknya mengambil tasnya kemudian keluar dari gudang. Pandangan matanya seketika bertabrakan dengan mata cokelat gelap milik Novi.
"Ayok kita harus segera pergi, makasih yah Vina kamu baik banget udah bangunin Karen." sahut Novi dengan senyum yang tidak sampai ke mata. Karen yang mendengar perkataan Novi seketika melirik tajam Davina, apa-apaan temannya itu berbicara yang tidak-tidak tentangnya.
Tak ingin membuang banyak waktu Karen segera mengikuti langkah Novi yang sudah berjalan di depannya.
_
_
_
_
Seharian itu Karen menemani Novi sang calon Mama mertua untuk mencari gaun, dia tahu wanita paru baya itu ingin mengetesnya. Namun ia cukup berbangga hati, calon mertua sosialitanya itu tidak banyak bicara sangat aneh sekali saat kemarin malam bertemu. Entah ada apa gerangan dengan wanita paru baya itu, begitu mereka selesai berbelanja ah maksudnya hanya Mama Ervin saja yang berbelanja akhirnya selesai juga. Karen begitu lega karena dirinya akan terbebas namun sepertinya itu hanya keinginan Karen semata, karena begitu dirinya mengangkat wajah. Mata cokelatnya seketika bertatapan dengan onxy sehitam malam milik Ervin.
"Aku ingin mengajak Karen makan malam, sebaiknya Mama pulang sekarang." Ujar Ervin tanpa basa-basi, Novi mendecih lalu berjalan begitu saja meninggalkan Karen dan Ervin.
"Sebaiknya kamu menolak ajakan Mamaku," ucap Ervin begitu dirinya berjalan di depan meninggalkan Karen yang berjalan dengan tertatih-tatih. Kakinya sakit sekali, dirinya lupa mengganti sepatunya. Alhasil sekarang kakinya lecet-lecet setelah seharian ini dirinya berjalan membantu Tante Novi. Untung saja restoran yang dipilih Ervin tidak jauh dari butiq yang dikunjunginya bersama Tante Novi. Kalau tidak bisa-bisa kakinya patah karena memaksakan untuk berjalan jauh.
"Aku tidak bisa menolaknya," sahut Karen yang masih berjalan di belakang Ervin.
"Kenapa?" tanya Ervin lagi.
"Aku tidak tahu, yang jelas aku tidak bisa menolaknya." Serunya sebal.
Ervin menggeleng-geleng, "dasar bodoh." Sahutnya lagi sambil terus berjalan menuju restoran.
Karen begitu lega ketika dirinya telah duduk di sebuah kursi empuk, dirinya bisa mengistirahatkan kakinya yang kebas karena kesakitan.
"Maaf, apa di sini ada sandal khusus karyawan?" tanya Ervin pada salah satu pelayan di sana. Pelayan muda dengan name-tag Astri itu terdiam sebentar lalu tersenyum canggung, bingung dengan maksud si tamu.
"Boleh tolong ambilkan? Calon istri saya kakinya terluka," sahut Ervin datar namun sopan membuat sang pelayan itu tersenyum manis dan mengangguk. Berbeda dengan Karen yang wajahnya sudah memerah entah karena malu atau karena dirinya menyukai perhatian Ervin?
Ketika mereka sedang menunggu makanan yang dipesannya, baik Ervin maupun Karen mereka berdua saling terdiam. Ervin sibuk dengan ponselnya, begitu juga dengan Karen yang sibuk membalas pesan dari kekasihnya itu. Setelah selesai dengan ponselnya, Ervin seketika memakan makanan yang telah di pesannya karena begitu selesai dengan urusannya pelayan itu datang membawa pesanan mereka.
Ervin menatap dingin Karen begitu wanita yang duduk di hadapannya itu sibuk dengan ponselnya, bukan segera menyantap makanannya.
"Apa kau ingin aku membanting ponselmu, Karen?" ujar suara dingin itu membuat Karen tersadar akan posisinya yang berada di restoran.
-
-
-
TOBECONTINUE