Selang satu minggu sejak memulai pekerjaan di museum, Ana tidak merasa kesulitan. Karena memang pekerjaannya tidak terlalu rumit. Hanya sekedar membantu merapikan dokumen dan memandu tamu, siapa yang tidak bisa? Pikir Ana. Hari ini pengunjung tampak lebih ramai dari biasanya. Membuat sang tokoh utama jauh lebih sibuk dari pada sebelumnya. Tapi, dari senyuman yang tidak pernah hilang pada wajahnya, bisa disimpulkan kalau dia sangat menikmati kesibukannya itu.
“Menurut saya fotografer ini ingin menunjukkan kalau masih ada kebahagiaan di tengah lingkungan kumuh yang sering luput dari penglihatan kita. Mungkin banyak orang yang menganggap kalau orang-orang di wilayah itu sudah kehilangan harapan. Padahal sebenarnya, bisa jadi hidup mereka jaduh lebih bahagia dibanding dengan masyarakat kota pada umumnya.”
“Hebat ya, dia bisa mencari timing pas untuk menangkap momen bagus.”
“Iya, itu kenapa museum kami memajang karyanya. Karena fotografer ini selalalu memperhatikan benar-benar onjek yang ingin dia ambil. Dia selalu melakukan riset. Agar ada makna yang dia tangkap dan sampaikan melalui fotonya.”
“Wah... keren,” ucap wanita berambut pendek, sembari tak henti memandangi foto di hadapannya.
Ana tersneyum, merasa puas karena berhasil berhasil memancing ketertarikan dari tamunya.
Si wanita kembali berjalan. Hingga berhenti di sebuah foto lain. “Hmm... Darwis Triyadi.”
“Beliau salah satu fotografer terkenal di Indonesia, lho Mba.”
“Oiya?”
“Iya. Bahkan karyanya sampai ada yang dimuat dalam majalah tahunan yang berskala Internasional. Hm...” Ana mengintip ke dalam memonya. Sedikit lupa dengan informasi yang sudah pernah dia hapalkan. “Hasselblad. Di majalah Vogue pun pernah.”
“Kamu tahu banyak sekali ya.”
“Hasil menghapal semalaman, nih Mba.”
Keduanya pun tertawa. Dan lanjut berbincang sembari jalan menuju ke lantai tiga.
Di tengah pekerjaannya, perhatian Ana tercuri oleh seseorang yang berdiri di hadapan lukisan favoritnya. Seorang lelaki. Namun wajahnya tidak terlalu tampak karena tertutupi tudung dari jaketnya. Beberapa kali Ana mencuri pandang. Orang tersebut masih ada di tempatnya.
“Terima kasih ya, Mba Ana. Kayaknya saya mau bawa klien saya nanti ke sini. Mungkin bulan depan dia baru bisa ke Indonesia.”
“Wah, silahkan, Mba. Saya tunggu kembali ya kunjungannya.”
Beberapa detik setelah tamu tersebut pergi, Ana lekas menoleh ke arah lukisan burung kesukaannya. Lelaki yang sama masih bergeming. Makin mengundang rasa penasaran pada benak Ana.
“Itu lukisan favorit saya di museum ini,” ucap Ana tanpa basa basi. Lelaki yang ada tampak sedikit terkejut. Masih berusaha menyembunyikan wajahnya di balik tudung. “Bagaimana menurut Anda lukisannya?”
Masih tidak ada jawaban. Membuat Ana mulai merasa bersalah. Karena mungkin lelaki tersebut sedang tidak ingin diganggu.
“Emm... maaf kalau saya mengganggu,” tambah Ana. Keadaan mulai terasa canggung baginya.
Namun, saat hendak pergi, si lelaki justru memperdnegarkan suaranya. Membuat Ana mgnurungkan niatannya untuk melangkahkan kaki.
“Apa yang membuatmu menyukai lukisan itu?”
Ana mendekat ke arah lelaki tersebut, berdisi di sampingnya, dan memandang ke satu titik yang sama. Mentap lukisan yang sudah berkali-kali dia lihat sejak awal bekerja di museum.
“Karena ada hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang banyak. Kalau dilihat sepintas, si pelukis seakan hanya ingin menggambarkan sesuatu yang indah soal kebebasan. Di mana jiwanya sudah tidak terkurung, dan baru saja mendapatkan kesempatan untuk membentangkan sayap. Tapi yang saya rasa justru tidak seperti itu. Si pelukis justru sadar bahwa kebebasan yang sebenarnya belum pernah dia rasa. Meski raganya sudah tidak terkekang, tapi ada sesuatu yang membuatnya sedih tan tterasa masih terkurung.”
Ana tersenyum dan menoleh ke arah samping kanannya. Ternyata orang di sampingnya pun melakukan hal sama kepadanya. Namun dengan sedikit ekspresi tidak percaya. Kini wajahnya bisa tampak jelas. Mata cokelat tuanya tampak indah. Kulitnya putih bersih, mungkin lebih tepat disebut pucat. Terlihat seperti orang yang jarang sekali melakukan aktivitas di luar rumah.
Tapi Ana justru merasa sedih melihatnya. Lelaki itu tampak pucat dan kurus. Untuk tubuh yang cukup tinggi, dia perlu menambah berat badan, pikirnya. Bagian bawah matanya agak menghitam. Terlihat seperti orang yang memiliki gangguan tidur. Sepertinya banyak masalah yang dihadapi lelaki tersebut.
Namun Ana langsung membuang jauh semua pikirannya. Tidak seharusnya dia menilai orang yang baru dia kenal seperti itu. Membuatnya justru merasa sangat jahat.
“Em... Tapi itu hanya pendapat saya saja hehe...” Ana mulai bingung karena pengunjung di sampingnya tidak berkomentar apa pun. “Silahkan kalau masih mau melihat-lihat, biar saya pergi saja supaya tidak mengganggu.”
“Tidak. Tidak apa. Maaf, aku cuma agak kaget ada orang yang satu pemikiran denganku.”
“Oya? Mungkin selera seni kita sama ya.” Ana tersenyum lebar.
“Sorry lupa memperkenalkan diri. Aku Sam.” Si lelaki membuka tudung jaketnya. Memperlihatkan rambut hitam tebalnya yang tumbuh dengan lebat. Tampak agak acak-acakan. Atau memang sengaja dia buat seperti itu. Tapi memang sangat cocok untuk penampilannya.
“Saya Ana. Belum lama bekerja di sini. Jadi, sebenarnya masih agak awam soal seni.”
“Oh, pantas aku baru melihatmu hari ini. Baru lulus kuliah?”
“Iya. Kamu sendiri gimana?”
“Kelihatannya?”
“Kayaknya masih seumuran denganku ya?” ucap Ana dengan percaya diri. Hal itu membuat Sam sedikit tertawa.
“Wah, kayaknya aku awet muda ya. Padahal aku sudah lulus dari dua tahun lalu.”
“Eh, yang benar?”
Keduanya pun mengobrol dengan asik. Sudah bukan sebatas tamu dan pegawai museum saja, melainkan sebagai sepasang teman. Awalnya Ana merasa kalau Sam tampak seperti orang yang dingin dan sulit untuk didekati. Tapi setelah mengobrol banyak, semua kesan itu hilang. Entah mungkin memang karena mereka memiliki selera yang sama dalam seni.
Saat ini Sam bekerja sebagai freelance ilustrator. Jadi dia kerja di rumah dan bisa bebas bepergian kapan pun. Karena memang sangat menyukai lukisan, dia sering berkunjung ke museum hanya untuk mencari inspirasi ataupun melepas penat.
“Enak ya bisa kerja freelance kayak gitu. Gak perlu bangun pagi, gak takut terlambat.”
“Ya... kadang enak. Tapi justru jam kerjanya gak menentu. Kalau sedang ada orderan yang urgent, aku bisa begadang semalaman.”
“Lalu kenapa gak coba cari kerjaan lain aja yang lebih tetap?”
“Kamu sendiri kenapa milih kerja di sini kalau gak suka bangun pagi?” timpal Sam cepat. Ana tertawa.
Keduanya menyeruput minuman yang belum lama mendarat di atas meja. Pilihan untuk mendirikan kafetaria di belakang museum memang sangat tepat. Jadi Ana dan Sam tidak perlu kerepotan mencari tempat untuk mengobrol santai.
“Sudah lama aku gak ketawa dan ngobrol santai kayak gini.”
“Memangnya kamu pangeran yang terperangkap di dalam istana, gitu? Sampai kayak yang gak punya teman aja,” celetuk Ana—dengan nada tidak percaya.
“Ya... aku dan teman-teman sudah langsung berpencar setelah lulus kuliah. Ditambah lagi aku kerja di rumah, jadi gak banyak ketemu orang.”
“Oh... iya juga ya. Tapi tenang, sekarang ada aku yang bisa jadi temanmu, kok!”
“Kenapa kamu bicara seakan aku kesepian?”
“Eh, emangnya enggak?”
Sam tertawa. Dia tahu Ana hanya bercanda, tapi sebenarnya mengena ke dalam hatinya. “Sedikit, sih. Tapi memang bersyukur bisa ketemu kamu.”
“Jadi, sekarang kita teman ya?”
“Kasih aku waktu satu hari dulu ya, buat pikir-pikir.”
“Apaan, sih!”
Hari ini Ana menghabiskan waktu istirahat makan siang dengan teman barunya. Seorang lelaki ramah yang tampak agak kesepian, namun selalu menyembunyikan hal itu di balik senyumnya. Kesamaan mereka dalam beberapa hal membuat hubungan pertemanan mereka semakin erat. Bahkan terasa seakan sudah lama sekali bertemu. Padahal mereka baru saja beberapa jam menghabiskan waktu bersama.
Sebelum pulang, Sam berkata kalau dia akan lebih sering datang ke museum. Karena memang dia senang menikmati semua barang pajangan yang ada, ditambah lagi sekarang ada orang yang selalu ingin dia ajak untuk mengobrol bersama.
Tanpa sadar, Ana pun menantikannya.