PART 7 | Skandal Alvan

2995 Kata
*** Entah yang keberapa kalinya ponsel milik Alvan terus saja bergetar di dalam saku jas mahalnya, namun sepertinya pria itu enggan menjawab dan memilih untuk mengabaikannya. Beberapa menit yang lalu, saat sebelum ponselnya ia aktifkan mode senyap, benda pipih itu berdering nyaring sehingga tak ayal membuat mood Alvan semakin memburuk. Dan ternyata yang menghubungi dirinya itu adalah Belinda, kekasihnya. Dan sampai saat ini, wanita itu seakan tak kenal lelah dan tak mau menyerah untuk terus menghubunginya. Sementara Alvan, entah kenapa dia malah mengabaikan wanita itu bahkan ini adalah yang pertama kalinya. Padahal selama ini, Belinda akan selalu menjadi prioritasnya. Kehadiran wanita itu pagi ini dirumahnya membuat dia dan Diandra kembali berdebat. Seharusnya dia dan istrinya bisa sarapan bersama dengan tenang, namun semua itu menjadi kacau balau akibat kehadiran Belinda. Ada apa dengannya? Kenapa dia seperti menyesali kehadiran Belinda dan menginginkan sarapan pagi yang damai dengan istrinya? Istri yang dibencinya? 'Ck! Aku hanya malas berdebat! Itu saja!' Batinnya mulai menyangkal setitik rasa dalam relung hatinya. Sejenak, Alvan mendesah pelan lalu kemudian, ia melirik kearah Zello. "Zell, jangan lupakan tugasmu yang barusan aku katakan." Ucapnya kepada Zello. Tumben, biasanya Lavan tidak pernah mengingatkan pria itu untuk yang kedua kalinya seperti ini. Zello menoleh kecil dan lekas menjawab. "Saya sudah memerintahkan mereka, Tuan. Nona Diandra akan segera menerimanya." Balas Zello. Alvan tidak menimpali lagi, pria itu kembali menatap ke arah luar jendela, melihat pada bahu jalan yang semakin membuatnya merasa pusing. Yah, saat ini Alvan masih didalam mobil menuju tempat dimana saat ini kliennya sedang menunggu. Akibat kehadiran Belinda yang tiba-tiba lalu dia berdebat dengan istrinya, Diandra, membuat Alvan jadi terlambat menemui kolega bisnisnya. Padahal, meetingnya kali ini adalah meeting yang sudah dijadwalkan oleh Zello atas perintahnya dari jauh-jauh hari. Dengan kata lain, meetingnya ini adalah meeting yang sangat penting untuk kelangsungan dan kejayaan perusahaannya. . Sementara di rumah, Diandra kembali masuk kedalam kamarnya. Wanita itu menutup pintu dan terus melangkah menuju balkon. Barusan, Diandra sempat turun lagi ke bawah demi bisa mengintip apakah Alvan masih dibawah atau mungkin pria itu sudah pergi. Namun saat dia turun, di lantai bawah ternyata sudah kosong. Disana hanya ada asisten rumah tangga yang tampaknya sedang beberes. Demi menuntaskan rasa penasarannya, akhirnya Diandra pun bertanya kepada bi Surti mengenai suaminya. Dan wanita paruh baya itu pun lantas menjelaskan apa yang dilihatnya beberapa saat lalu. Dimana Alvan yang juga berdebat dengan Belinda bahkan sampai mengusir wanita. Diandra heran, bahkan dia sulit percaya. Saat ini, Diandra bukan hanya sulit percaya saja dengan sifat suaminya, namun dia heran. Sepertinya, hobi Alvan adalah mengamuk dan berdebat tidak jelas. Namun begitu, saat Diandra mendengar penjelasan dari bi Surti, tak ayal membuat hatinya puas. Diandra puasa saat mendengar kalau ternyata Belinda diusir oleh suaminya. Karena mau bagaimanapun, Diandra yakin jika Alvan tak akan mungkin seceroboh itu dengan membawa Belinda sesuka hati kedalam rumah mereka. Terlebih jika hal itu sampai terdengar oleh orang luar apalagi keluarga mereka. Tentu urusannya akan menjadi panjang dan Diandra malas untuk hal tersebut. Tok! Tok! Tok! Diandra yang saat ini berdiri diatas balkon kamarnya sontak tersentak saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Sejenak, Diandra menoleh, wanita itu mengerutkan keningnya kemudian mulai memutar tubuh dan melangkah masuk. Diandra terus berjalan menuju pintu dan setelah disana, ia pun mulai menekan pelan tuas pintu lalu membukanya. Keningnya semakin berkerut ketika melihat kehadiran salah satu asisten rumah tangganya di sana. “Permisi, Nona, maaf saya mengganggu.” Ucap wanita itu, sopan. “Ini, saya hanya mau sampaikan ini saja, Non” lanjutnya sambil menyodorkan sebuah paperbag kearah Diandra. Tanpa kata dan pertanyaan apapun lagi, Diandra lantas menerimah. Dia mengintip sebentar dan sepertinya Diandra tidak bisa menebak apa isinya. “Dari siapa?” tanya Diandra. “Barusan diantar oleh orang suruhannya Tuan Alvan, Non. Katanya untuk Non Diandra.” Ucap wanita itu membalas sembari menjelaskan. “Oh, dari Alvan untuk aku?” gumam Diandra pelan sambil sesekali melirik ke dalam paperbag tersebut. “Iya Non.” sahut wanita itu. “Iya sudah, makasih ya?” ucap Diandra. Wanita itu mengangguk dengan senyum ramah di wajahnya. “Sama-sama, Non, kalau begitu saya permisi.” “Iya,” balas Diandra. Setelah wanita itu melangkah menjauh dari kamarnya, Diandra pun kembali menutup pintu dan melangkah ke arah ranjang dengan kening yang sesekali berkerut. Diandra mendaratkan bokongnya di bibir ranjang dan mulai membuka paperbag di tangannya itu. “Apa sih yang dia kirim. Jangan-jangan bom lagi. Dia mau bunuh aku, terus dia jadi duda, akunya mati. Cih, enak aja dia!” dia ngedumel dengan tangannya yang mulai mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus rapi. Sejenak, Diandra menyempatkan dirinya mengocoknya beberapa kali, bahkan sampai keningnya berkerut. “Nggak ada suara.” Lagi, dia kembali bergumam. Setelah itu, Diandra langsung membuka kotak tersebut, dan setelah melihat isinya, dia pun sontak mengerutkan keningnya. “Handphone? Dia beliin aku handphone? Hah!” Diandra tertawa mengejek sambil memperhatikan kotak di tangannya itu. Alvan membelikannya ponsel keluaran terbaru untuknya. Padahal beberapa saat lalu, pria itu menghancurkan ponselnya dan sekarang dia membeli gantinya. Sungguh, Alvan benar-benar menggelikan, pikir Diandra. “Eum, kirain hape bekas, ternyata mereknya apel sumbing,” gumamnya setelah mengeluarkan ponsel mahal itu dari tempatnya. Sejenak, Diandra menelitinya namun tiba-tiba dia terkejut saat ponsel itu berdering. Dddrrttt... My Love Husband is calling… Diandra mengerutkan kening saat melihat nama kontak yang saat ini sedang menghubunginya. Dan setelah dia amati dengan seksama beberapa dari angkanya, ternyata kontak tersebut adalah kontak suaminya. “Hallo...,” sapa Diandra setelah menggeser tombol berwarna hijau itu sehingga panggilan pun terhubung dan lekas membawa dekat ke telinganya. “Kenapa lama menjawab? Kau sedang apa Diandra?!” suara bariton itu lantas membuat keningnya kembali mengerut. Bukan karena suaranya, namun karena pertanyaan Alvan yang tidak jelas. “Apa sekarang Tuan Abrisam ini sedang mencurigai istri yang tidak diinginkannya?” balas Diandra. Hening, Alvan tidak membalasnya dan Diandra kembali melanjutkan. “Aku pikir kamu mengirimkan bom untukku, Van. Ternyata handphone. Lumayan bagus, tapi, aku tidak akan bilang terima kasih, karena aku tidak memintanya. Lagi pula, tadi kamu menghancurkan handphone ku dan aku rasa ini impas. Kau sudah membeli gantinya.” Ucap Diandra panjang lebar. “Kau terlalu berisik!” desis Alvan. “Aku tau kau merindukan suara berisikku, Alvan! Kalau tidak, terus kenapa kamu buang-buang waktu hanya untuk menghubungiku sekarang? Dan ... oh iya, nama kontak kamu manis juga, sayangnya tidak ngaruh. Aku tidak TERPESONA!” tekan Diandra. Saat Alvan keluar menuju teras bersama Zello beberapa saat lalu, tiba-tiba pria itu menghentikan langkahnya lalu kembali masuk kedalam rumah. Alvan menghampir ponsel Diandra yang hancur lebur lalu ia memungut sim cardnya. Setelah itu, Alvan memberi perintah kepada Zello untuk membelikan ponsel baru buat istrinya dan langsung memasang sim card tersebut berikut nama kontak yang diinginkannya. "Itu hanya sebagai bentuk untuk meyakinkan orang-orang kalau aku mencintaimu dan kita adalah pasangan suami istri yang bahagia." Ucap Alvan. Diandra diam sambil mendengarkan dengan sebelah tangannya yang terkepal kuat. "Jadi kamu yakin dengan perasaanmu? Tidak mencintaiku?" Tanya Diandra. Alvan diam, Diandra pun kembali melanjutkan. "Sayangnya aku tidak percaya, Alvan. Sudah lah, ada lagi yang ingin kau bicarakan?" Tanya Diandra. Hening, Diandra menjauhkan ponsel itu dari telinganya lalu menatap layar yang menyala. Disana, panggilannya dengan Alvan masih terhubung namun pria itu hanya diam saja. Diandra Tahu jika pria itu sengaja tidak mau membalas ucapannya barusan. "Aku tutup!" Ucap Diandra dan langsung menekan tombol berwarna merah itu sehingga panggilannya pun berakhir. Diandra menghembus nafas kasar, sungguh, dirinya benar-benar lelah dengan semua drama yang terjadi dalam kehidupannya saat ini. Lebih Tepatnya dalam rumah tangganya bersama Alvan. Dddrrttt … Fiona is calling… Ponsel itu kembali berdering, sebelum melihat layarnya, Diandra sempat berdecak kesal. Dia pikir Alvan yang kembali menghubunginya, namun dia salah karena ternyata itu adalah sahabatnya, Fiona. Diandra mengulas senyum tipisnya lalu lekas menggeser tombol berwarna hijau itu hingga panggilan pun terhubung. "Halo, Fi…" sapa Diandra setelah menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya. "Kemana sih, Die?! Dari tadi aku telpon, mati terus hape-nya!" Ketus Fiona diseberang telepon. Mendengar suara cerewet sahabatnya itu lantas membuat Diandra terkekeh pelan. "Hape-nya rusak, Fi, ini baru dapat yang baru." Sahut Diandra menjelaskan. "Eum, pantesan. Oh iya, lagi dimana?" Tanya Fiona. "Dirumah." Balas Diandra. "Ada yang mau aku bahas sama kamu, ketemuan yuk? Di rumahku aja, Die, gak usah di luar. Gimana?" Diandra nampak berpikir saat mendengar ajakan dari sahabatnya itu. Dia bingung, pasalnya saat ini Alvan sedang pergi dan kalaupun dia menghubungi pria itu lalu minta izin, Diandra yakin kalau Alvan tidak akan mengizinkannya. "Bahas lewat sini aja, Fi. Aku gak bisa keluar, soalnya Alvan lagi pergi." Jelas Diandra menolak ajakan sahabatnya. "Gak bisa, Die! Lagian yang aku bahas ini tentang suami kamu." Sejenak, Diandra mengerutkan keningnya. "Alvan? Dia kenapa?" Tanya Diandra. "Temui aku, maka akan ku ceritakan." Kekeh Fiona sehingga tak ayal membuat Diandra mendesah panjang. Sepertinya dia tidak akan punya pilihan selain menemui wanita itu. Diandra penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Fiona mengenai suaminya. "Okay, aku siap-siap dulu." Ucap Diandra memutuskan untuk menerima ajakan Fiona. "Keputusannya yang bagus Die! Aku tunggu. Jangan lama-lama!" "Iya, ih! Bawel deh!" Ketus Diandra dan langsung memutuskan sambungan teleponnya dengan Fiona. Diandra bangkit dari atas ranjang kemudian langsung melangkah menuju walk in closet untuk membenahi penampilannya. Diandra akan bertemu dengan sahabatnya dan dia tidak berniat sama sekali untuk menghubungi Alvan sekedar meminta izin kepada suaminya itu. Diandra pikir percuma, bukan karena hanya karena Alvan tidak akan mengizinkan. Lagi pula, Diandra pikir, apa peduli Alvan tentang dirinya? Mau kemanapun dia pergi asalkan bukan bersama Daniel, Diandra yakin tidak akan jadi masalah bagi Alvan. Setelah membenahi penampilannya, Diandra pun lekas turun menuju lantai bawah. Disana dia melihat bi Surti yang nampak sibuk. Entah apa yang sedang dilakukan oleh wanita paruh baya itu, Diandra tidak tahu. "Bi…" panggil Diandra. Bi Surti menoleh, kemudian lekas melangkah kearah wanita yang sudah menjadi majikannya ini. "Iya, Non?" Sahut bi Surti sambil memperhatikan penampilan Diandra yang nampak rapi. "Aku mau keluar sebentar, mau ketemu sama temen." Ucap Diandra. Sejenak, bi Surti tertegun, dia tidak menyangka jika Diandra akan berpamitan padanya. Padahal, bisa saja Diandra main pergi begitu saja tanpa berpamitan kepada seorang pembantu seperti dirinya. "Iya Non, hati-hati ya?" Ucap bi Surti. Diandra tersenyum, wanita itu lekas mengangguk. "Iya, bi, makasih ya." "Sama-sama, Non." Balasnya sambil menatap punggung wanita cantik itu yang saat ini melangkah menuju pintu. 'Den Alvan kenapa bisa sebuta ini, tidak bisa membedakan mana wanita yang pantas untuk dirinya. Non Diandra jauh lebih segala-galanya daripada selingkuhannya. Hah! Kalau Tuan Arthur tau, entah apa yang akan terjadi.' Batin wanita paruh baya itu menyayangkan kebodohan majikannya, Alvan. Sementara di luar, Diandra meminta pak supir untuk mengantarnya bertemu Fiona. Meski Sebenarnya Diandra bisa saja menyetir sendiri, namun kali ini wanita itu malas dan memilih menggunakan jasa supir. . . Hampir empat puluh menit Diandra menghabiskan waktu di jalan dan akhirnya dia sampai di kediaman sahabatnya. Disana, seperti biasanya, Fiona akan selalu heboh saat menyambut dirinya. "Rumah sepi, Fi, Om sama Tante kemana?" Tanya Diandra mempertanyakan keberadaan kedua orang tua Fiona. "Pergi. Mungkin mereka sedang pacaran." Celetuk Fiona asal, sehingga membuat Diandra langsung melayangkan cubitan panasnya di lengan wanita itu. "Apa sih, Die! Sakit ish!" Protes Fiona namun Diandra tidak peduli. Saat ini mereka memilih duduk di gazebo halaman belakang rumah Fiona. Ini Adalah tempat favorit mereka berdua ketika bertemu, atau mungkin ketika Diandra berkunjung kemari. "Mau bahas apa?" Tanya Diandra setelah menyeruput jus alpukatnya yang barusan disajikan oleh salah satu asisten rumah tangga Fiona. Sebelum menjawab pertanyaan Diandra, Fiona lantas menatap lekat wajah sahabatnya ini. Wanita yang baru beberapa hari ini melepas masa lajangnya. "Sebelumnya aku minta maaf, Die. Aku tau ini bukan ruangku dan aku gak ada hak apapun." Ucap Fiano, dia menjeda kalimatnya sejenak guna menarik nafas lalu menghembusnya dengan perlahan. "Tapi, aku menanyakan ini sebagai seorang sahabat. Aku harap kamu gak akan tersinggung." Lanjut Fiona. "Drama deh!" Gumam Diandra sambil kembali meraih gelas jus miliknya. Dia menyedotnya sekali lalu kembali meletakkannya di tempat semula. "Aku serius, Die." "Ya aku juga serius, Fi. Emangnya mau bahas apa tentang Alvan? Langsung aja, gak usah banyak narasi." Diandra sengaja begitu, karena jika yang dia tebakan saat ini, Fiona pasti ingin menyampaikan hal yang tidak baik mengenai suaminya. "Aku tidak sengaja melihat Alvan bersama wanita lain." Deg! Sejenak, Diandra menegang, keningnya berkerut lalu mulai memfokuskan pandangannya pada Fiona. "Apa hubungan kalian baik-baik saja? Baru kemarin dia menjadi suamimu, Die. Dan aku melihatnya semalam. Apa yang terjadi?" Tanya Fiona pelan dengan gurat kekhawatiran di wajahnya. "Nggak terjadi apa-apa. Kami baik-baik saja, Fi." Balas Diandra berbohong. Dia melempar pandangannya ke arah lain demi menghindari tatapan lekat dari sahabatnya ini. "Kita sahabat, 'kan?" Dengan perlahan, Fiona menyentuh punggung tangannya. Diandra meneguk salivanya susah paya lalu kembali menatap wajah sahabatnya. "Aku tau kamu berbohong. Kamu tau dia berkhianat, 'kan?" Fiona kembali bertanya. "Sejauh apa kamu melihatnya?" Bukannya menjawab pertanyaan Fiona, Diandra malah balik melempar pertanyaan lain. Fiona ragu, Diandra menyadarinya. "Kalau kamu berniat memberitahuku, maka jangan setengah-setengah, Fi. Bilang saja, apa yang kamu lihat tentang dia," "A-Aku … aku tidak sengaja melihat dia bercinta dengan wanita lain, Die." Ucap Fiona pelan. Deg! 'Bercinta? Sejauh itukah?' Batin Diandra tercengang dengan fakta yang didapatkannya. "Jangan bercanda, Fi!" "Aku gak mungkin bohong, Die. Ini tentang suami kamu dan kamu adalah sahabatku." Diandra diam, jantungnya mulai berdegup kencang seiring dengan kedua netranya yang mulai memanas. Namun begitu, Diandra tetap meminta Fiona untuk menceritakan semua yang dilihat oleh wanita itu tentang suaminya. Yah, semalam, Fiona pergi ke club untuk menjemput sepupunya disana. Sepupunya seorang wanita yang berusia 23 tahun dan ternyata wanita itu mabuk disana. Fiona memutuskan untuk membawa sepupunya ke apartemen wanita itu. Dan kebetulan, unit milik sepupunya Fiona berada tepat di samping unit milik Alvan dan Belinda. Dikarenakan susah tidur, akhirnya Fiona keluar ke balkon. Dan disanalah dia melihat Alvan yang sedang bercinta dengan seorang wanita yang tak lain adalah Belinda. Fiona tentu saja terkejut saat melihatnya. Bahkan dia juga sempat meragukan penglihatannya. Namun ketika dia kembali mengintip, ternyata benar jika pria yang sibuk dengan erangan dan desahannya itu adalah Alvan. Sejak semalam Fiona memikirkan hal tersebut sampai dia tidak bisa tidur. Bahkan sampai pagi pun, pikirannya masih dipenuhi oleh adegan tidak senonoh Alvan dengan wanita lain dan memikirkan nasib tragis sahabatnya. Diandra mengusap air matanya dengan perlahan, wanita itu menangis dalam diam. Sementara Fiona, dia menatap iba, tidak tega melihat sahabatnya seperti ini. Andai saja dia tidak memberitahu Diandra, mungkin sahabatnya tidak akan terluka. Namun, Fiona akan jauh merasa bersalah jika harus merahasiakannya. Ini bukan lagi masalah sepele karena Alvan sudah sampai bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya. "Dia menikahiku karena suatu tujuan. Aku tidak tahu apa itu, karena dia hanya bilang, dia membenciku." Diandra menatap Fiona. "Aku tidak mengerti, Fi. Aku tidak paham dengan takdir ku saat ini." Lanjutnya sambil mengedihkan sebelah bahunya. Tangannya kembali bergerak, lalu menghapus air matanya. "Apa salah satu dari keluargamu ada yang tahu masalah ini? Mas Avien?" Tanya Fiona. Diandra menggeleng pelan. "Mereka gak tau apa-apa karena aku tidak berniat memberitahu mereka." "Kenapa, Die? Jangan bilang kalau kamu mau mempertahan pernikahanmu. Dia sudah keterlaluan dan kamu berhak mendapat yang jauh lebih baik!" Ucap Fiona. "Aku yakin, kalau sampai Mas Avien tau, suamimu pasti akan mati di tangannya!" Lanjut Fiona geram. "Sejak pertama aku mengenalkan Alvan pada mereka, hanya Mas Avien yang tidak menyukainya." Ucap Diandra mengingat tentang sambutan dingin kakak laki-lakinya itu pada Alvan saat pertama kali Diandra membawa Alvan ke rumah orang tuanya hingga saat ini. "Aku yakin Mas Avien punya feeling yang gak enak tentang dia, Die. Makanya begitu." "Mungkin," balas Diandra, pelan. . . Kediaman Abrisam. Setelah menyelesaikan meeting pentingnya, Alvan berjanji akan menemui selingkuhannya, Belinda di apartemen mereka. Namun, sepertinya Alvan mengurungkan niatnya dan membatalkan janjinya ketika dia mendengar kabar dari salah satu orang suruhannya kalau sang istri tidak berada di rumahnya. Setelah keluar dari dalam mobilnya, Alvan lekas melangkah lebar lalu masuk kedalam rumahnya. Dia hendak menuju tangga namun urung ketika ekor matanya menangkap kehadiran salah satu asisten rumah tangganya disana. Alvan memanggil wanita paruh baya itu yang tak lain adalah bi Surti sehingga wanita itu lekas menghampirinya. "Iya, Den, ada yang bisa bibi bantu?" Tanya bi Surti. "Diandra keluar?" Alvan balik bertanya. "I-Iya, Den. Katanya mau ketemu sama temannya." Jawab bi Surti sedikit gugup. Bagaimana tidak jika saat ini Alvan mulai mengeraskan rahangnya. Alvan bergerak, tanpa bicara apapun lagi, pria itu lekas melangkah lebar menuju lantai atas. Setelah sampai disana, Alvan bukannya masuk kedalam kamarnya namun dia masuk kedalam kamar istrinya. Kamar itu kosong, sepi, senyap, Alvan melarikan pandangannya ke sembarang arah. Diatas ranjang besar itu, Alvan melihat paperbag yang diyakini bekas ponsel baru yang dikirimkan untuk Diandra. Alvan merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dari sana. Jari besarnya mulai berselancar mencari nama kontak Diandra dan lekas menghubung wanita itu. My Love Wife calling… Alvan membawa ponsel itu dekat dengan telinga, dia menunggu sang istri menjawab panggilannya. Namun tak berselang lama, panggilannya ternyata ditolak oleh wanita itu. Alvan geram, sungguh dia ingin sekali menghancurkan seisi kamar istrinya ini. Alvan tidak menyerah, pria itu kembali mencobanya hingga beberapa kali dan akhirnya Diandra menyerah dan menjawab panggilannya. "Ada apa?!" Tanya Diandra diseberang telepon. Bahkan nadanya terdengar begitu dingin. "Kamu dimana, Diandra!" Bukannya menjawab, alvan malah balik bertanya. "Aku di luar," jawab Diandra. "Berani-berani kau keluar tanpa seizin suamimu, huh?!" Desis Alvan. "Apa izin darimu sangat penting?" Tanya Diandra. Enggan menjawab pertanyaan istrinya, Alvan malah menyuruhnya pulang. "Pulanglah dan tunggu hukuman dariku!" "Setelah menyetubuhi wanita lain diluar sana, lalu kau pulang kerumahmu dan ingin menghukum istrimu? Ternyata kau benar-benar b******k, Alvan!" Deg! Alvan tertegun, jantungnya mulai berdegup kencang. Apa dia khawatir? Karena Diandra tahu sejauh apa hubungannya bersama Belinda? "Pulanglah dan jangan sampai aku yang datang lalu menyeretmu!" Tekan Alvan dan langsung memutuskan sambungan teleponnya. Tuut! Tuut! Tuut! . . … Diandra mendongak, wanita itu menatap berani wajah merah padam suaminya. "Kau tahu? Aku pernah menembak dan membunuh orang di saat aku masih berusia 17 tahun! Dan rasanya sangat menyenangkan, Alvan! Dan setelah itu, aku tidak pernah lagi melakukannya sampai detik ini! Jadi tolong, jangan memaksaku untuk kembali melakukannya, karena aku belum ingin membunuhmu!" Desis Diandra. Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN