PART 6 | Kembali berdebat, mengancam dan memperingati!

1880 Kata
*** Diandra menatap nanar pada ponselnya yang hancur menjadi beberapa bagian akibat ulah nggak jelas suaminya ini. Sementara Alvan, pria itu terus menatap tajam wajah cantik istrinya. Cantik? Yah! Alvan tidak munafik, dia memang mengakui jika Diandra memang sangatlah cantik. Bahkan Belinda saja tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Diandra. Namun kecantikan yang dimiliki oleh wanita itu terasa percuma saja karena mau sampai kapanpun, Alvan tidak akan pernah melihat ke arahnya. Alvan hanya membencinya, bukan mencintainya! "Berhenti berhubungan dengan Daniel, Diandra! Atau kamu akan menyesalinya!" Ucap Alvan memperingati dengan serius. Mendengar peringatan tidak jelas dan tidak masuk akal dari suaminya itu lantas membuat Diandra menarik pandangannya dari kepingan ponselnya disana dan melihat ke arah Alvan. Wanita itu mendongak, dia balas menatap tatapan tajam suaminya itu dengan tatapan biasa saja. Diandra meneliti setiap jengkal garis wajah tampan di depannya itu dengan seksama. Sepertinya Diandra berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh lelaki ini? Jika Alvan ingin menyiksa batinnya, Diandra pikir lelaki ini sudah berhasil. Dengan membawa Belinda kemari, memperlakukan wanita itu dengan mesra bahkan sampai berciuman di depan mata kepalanya sendiri, cukup membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Sementara Belinda, wanita itu turut beranjak dari atas kursi meja makan dan terus memperhatikan kedua pasangan suami istri itu. Lebih tepatnya dia memperhatikan reaksi yang tidak biasa dari Alvan. Sekilas, Belinda melihat jika pria itu terlihat seperti sedang cemburu dengan istrinya, dan tentukan tersebut tidak disukai oleh Belinda. "Apa kamu bisanya hanya mengancamku saja? Menghancurkan barang-barang lalu membentakku seperti barusan?" Tanya Diandra masih dengan nada biasa saja. Dia terus mendongak, tanpa berniat melepas pandangannya barang sedikitpun dari wajah merah padam Alvan. Padahal jika disuruh jujur, saat ini Diandra berusaha menahan sesak didalam dadanya. Sesak sejak beberapa menit yang lalu saat dia menyaksikan sendiri bagaimana Alvan berciuman dengan Belinda didepan mata kepalanya sendiri. "Aku heran sama kamu, Van. Bahkan aku mulai capek sendiri membahas masalah ini sama kamu." Ucap Diandra kembali melanjutkan kalimatnya. Sedangkan Alvan, pria itu diam saja, dia terus memperhatikan Diandra yang sepertinya tidak pernah mau diam saja. Wanita ini selalu saja membalas semua ucapannya. Padahal yang Alvan inginkan adalah melihat wanita ini menangis lalu memohon ampun karena tak kuasa menahan penderitaan batin yang dia ciptakan. Namun lihatlah, harapannya itu bahkan tidak nampak sedikitpun di wajah Diandra. Yang ada, wania ini semakin berani melawannya. "Sekarang, aku mau tanya sama kamu. Apakah alasan kamu melarangku dekat dan berhubungan dengan Daniel karena kamu cemburu?" Tanya Diandra. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Diandra untuknya lantas membuat Alvan terkekeh sambil menatap wanita itu dengan tatapan mengejek. "Aku tidak menyangka kalau kamu memiliki tingkat rasa percaya diri yang teramat tinggi, Diandra." Ucap Alvan membalas. Deg! Diandra tertegun, sementara Alvan, pria itu kembali melanjutkan kalimatnya yang belum usai. "Aku hanya tidak ingin kamu berhubungan dengan siapapun! Bahkan, kalau kamu terus membangkang, aku bisa saja menjauhkanmu dari orang tuamu dan juga keluargamu yang lainnya!" 'Kayaknya percuma aku membalasnya terus menerus. Alvan memang benar-benar membenciku.' Batin Diandra menyadari usahanya akan sia-sia saja. Diandra mengangguk pelan beberapa kali dan kembali membalas ucapan suaminya. "Baiklah kalau gitu." Balasnya singkat, enggan melanjutkan perdebatan panjang lebar. Diandra mundur selangkah, kemudian dia memutar tubuhnya hendak meninggalkan Alvan disana. Namun disaat yang bersamaan, Alvan ternyata belum menginginkan dia pergi dari sana dan buktinya, pria itu malah mencekal tangannya sehingga mau tidak mau Duandra kembali berhadapan dengannya. "Jangan pikir aku main-main, Diandra!" Tekan Alvan. Diandra jengah, sungguh, padahal dia ingin sekali cepat-cepat masuk ke kamarnya. Diandra tidak kuat berlama-lama disana karena yang dia inginkan saat ini hanyalah menangis seorang diri. Diandra ingin menumpahkan rasa sesak di dadanya. "Yang bilang kamu bermain-main, siapa?! Siapa, Alvan!" Nadanya mulai berbeda. Meninggi, sarat akan luapan emosinya, bahkan, Diandra tidak segan menarik kasar tangannya yang dicekal kuat oleh Alvan barusan. "Kamu memperingatiku barusan, aku mendengarkannya! Kamu melarangku berhubungan dengan Daniel, aku tidak jawab 'Iya' karena hubungan yang terjalin diantara kami hanyalah sebatas teman! Daniel peduli denganku, bahkan sejak sebelum aku menjadi menjadi istrimu!" Diandra bergetar, dadanya naik turun, bahkan kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Dengar ya, Van, aku memang mencintaimu dan aku yakin kamu tau itu. Tapi jangan jadikan itu sebagai senjatamu lalu kamu bebas sesuka hati memperlakukan aku seperti ini!" Diandra menoleh, dia menatap tajam ke arah Belinda. "Kamu berniat menyakitiku, 'kan? Dengan membawa perempuan itu kemari dan kamu berharap jika perasaanku pasti akan terluka. Kamu berhasil, Van!" Desis Diandra, dia mengerjap tanpa sengaja dan air matanya pun menetes begitu saja. Sebenarnya Diandra benci dengan dirinya seperti ini. Dia benci dengan dirinya yang lemah! Terlebih lagi dia lemah didepan lelaki bajinagn seperti suaminya ini. Sementara Alvan, dia terus menatap lekat wajah istrinya. Dia melihat air mata itu mengalir pelan, dan seharusnya hal itu membuat dirinya puas, bukan? Namun yang dirasakan oleh Alvan saat ini justru sedikit berbeda. Entah kenapa, Alva seperti merasa bersalah. Alvan seperti merasa tidak tega melihat Diandra seperti ini. Padahal, ini baru beberapa hari saja, lalu bagaimana dengan waktu yang sangat panjang yang sudah dia persiapkan untuk wanita ini? ['Margatama adalah penyebabnya, Van'] Sejenak, kalimat itu kembali terngiang dalam ingatannya. Kalimat yang selalu membuat seorang Alvan berambisi agar bisa mendapatkan salah satu bagian dari Margatama, lalu menggenggamnya dan membiarkan berada di bawah kuasanya. "Sekarang kamu tau, 'kan, rasa sakit itu seperti apa?" Tanya Alvan, pelan seperti berbisik. Bahkan, mungkin saja Belinda tidak sampai mendengarnya disana. "Ini belum seberapa, Diandra. Bisa dibilang, ini hanya sebagian kecil saja! Penderitaanmu masih panjang, bahkan aku akan pastikan kalau kamu akan menderita seumur hidupmu!" Alvan memberi jeda pada kalimatnya, lalu kembali melanjutkan. "Yeah! Akan ku pastikan, kamu tidak akan pernah merasakan kebahagian barang secuilpun!" Alvan menggerakan tangan kanannya, lalu dia meraih dagu runcing istrinya, mengapit dengan ibu jari dan telunjuknya dan mengangkat pelan. Bahkan, Alvan juga turut mengikis jarak diantara mereka. "Selamanya kamu akan hidup seperti ini, Die. Air mata ini akan terus mengalir bahkan akan jauh lebih banyak dari ini," Diandra terus mendongak, bahkan kedua matanya tidak dia biarkan berkedip barang sedikitpun. Diandra diam saja, saat Alvan mengusap air matanya. Namun, tak berselang lama kemudian, Diandra turut mengangkat sebelah tangannya, dia menahan pelan jari-jari besar itu di atas sebelah pipinya. "Aku siap menunggu semua penderitaan yang kamu siapkan untukku. Aku siap menjalaninya, bahkan seumur hidupku. Tapi … aku tidak yakin, misi mu akan berlangsung lama, Van." Ucap Diandra setelah beberapa menit dia hanya diam saja. Diandra menggenggam telapak tangan besar itu dan kembali melanjutkan kalimatnya yang belum usai. "Sekarang, lakuin aja apa yang kamu inginkan. Menyiksaku, menyakiti perasaanku, apapun itu, kamu berhak melakukan sesuka hatimu. Selagi kamu memiliki kesempatan." Lanjut Diandra. "Kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku, jangan berpikir terlalu jauh, Diandra, apalagi mengancamku!" Ucap Alvan. "Kata siapa aku tidak bisa? Hm? Kata siapa, Van?" Tanya Diandra. "Tapi kamu tenang saja, karena aku pantang pergi dan meninggalkan banyak masalah. Kita selesaikan dulu dan baru setelah itu aku akan meninggalkanmu!" Lanjutnya. Diandra mundur pelan, hendak menjauh. Namun, lagi-lagi, Alvan kembali menahan pinggang rampingnya. "Kamu mengancamku?!" Tanya Alvan. Diandra menggeleng pelan. "Aku tidak suka mengancam. Aku hanya suka membuktikan, dan aku akan berusaha untuk itu, supaya suamiku yang tampan ini tidak larut dalam kebodohannya." Balas Diandra sambil mengusap pelan rahang tegas suaminya, kemudian dia memberi sapuan lembut pada bibir Alvan dengan ibu jarinya. Diandra berjinjit, dia mendekat lalu memberi kecupan lembutnya untuk Alvan. Namun bukan di bibir pria itu, melainkan di sebelah pipinya dan Diandra pun kembali menarik diri. Sementara Belinda yang melihat aksi Diandra barusan, lantas membuatnya memberengut kesal, dia tidak suka saat melihat Diandra menyentuh kekasihnya terlebih Alvan malah diam saja. "Sekarang pergilah, kamu ingin bersenang-senang dengan kekasihmu, 'kan?" Tanya Diandra. "Oh, maksudku, selingkuhanmu. Kan yang jadi istri sah mu disini, aku." Lanjutnya, pelan. Diandra mengulas senyum, dia meraih telapak tangan Alvan dari pinggang rampingnya lalu melepas pelan begitu saja. "Pergi aja, Van. Selamat bersenang-senang." Diandra memutar tubuhnya lalu melangkah meninggalkan Alvan disana. Sementara Alvan, pria itu menatap tanpa ekspresi punggung mungil istrinya yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya. "Van?!" Panggil Belinda dengan nada sedikit kesal. Saat ini, wanita itu sudah berdiri di sampingnya. Alvan tersentak, dia menarik pandangannya yang terus menatap Diandra meski wanita sudah menghilang. Alvan menoleh, dia melihat Belinda yang saat ini menatap kesal padanya. "Jangan bilang kamu ada perasaan untuk dia, Van!" Ucap Belinda mulai menaruh curiga. "Siapa yang suruh kamu pagi-pagi kesini?!" Bukannya membalas pertanyaan Belinda, Alvan malah balik melempar pertanyaan lain. Bahkan dia menatap tajam wajah kekasihnya itu. Ah, sepertinya, tatapan tajam sudah menjadi ciri khas seorang Alvan Abrisam. Mendengar pertanyaan sarkas dari pria itu lantas membuat Belinda meneguk saliva susah paya. Mereka sudah cukup lama berhubungan dan Belinda pun sudah cukup paham bagaimana karakter Alvan yang sebenarnya, termasuk saat memberi tatapan tajam seperti saat ini. "Memangnya nggak boleh? Aku 'kan cuman mau kita sarapan bareng aja, Van. Kamu ngga suka?" Tanya Belinda mulai melembutkan nada bicaranya. "Sejak dulu, aku sudah sering memperingatimu, Belinda … jangan pernah datang kemari sesuka hatimu tanpa seizinku! Kita bisa bertemu ditempat biasa! Bukankah aku sudah menyiapkan semuanya?! Hm?!" Geram Alvan. Glek! Belinda semakin susah meneguk salivanya, apalagi saat mendengar nada bicara penuh penekan dari Alvan. "Sayang, aku…," Belinda hendak berbicara namun Alvan menyela cepat. "Jangan menjadi pembangkang! Jangan merusak semua aturan yang sudah aku buat! Kita hanya akan boleh bertemu di luar! Bukan disini, Belinda!" Bentak Alvan sehingga tak ayal membuat wanita itu tersentak. "Sekarang, pergilah." Lanjut Alvan Seperti mengusirnya. "Kamu ngusir aku?" Tanya Belinda tidak percaya, bahkan saat ini kedua matanya pun mulai berkaca-kaca. Entah dia benar-benar bersedih atau hanya sekedar berakting. Wanita ini memang seperti ular, sulit ditebak. "Pergi!" Lagi, Alvan kembali membentaknya. Belinda tersentak, bahkan air matanya pun jatuh begitu saja. Belinda mundur, memutar pelan tubuhnya lalu melangkah keluar dari dalam rumah mewah nan megah itu. Alvan mendesah lelah, dia mengacak-ngacak rambut belakang kepalanya tanda jika dirinya sedang frustasi. "Permisi, tuan?" Sapa seseorang. Dia adalah Zello, sang asistennya. Alvan menoleh, pria itu menatap Zello dengan wajah merah padamnya. Sementara Zello sendiri, dia tahu jika saat ini mood tuannya sedang tidak baik. Namun mau bagaimana pun, menghadapi Alvan dalam keadaan apapun sudah menjadi kewajibanya sebagai seorang asisten dan orang yang dekat juga sangat dipercayai oleh Alvan. "Kita harus pergi sekarang, karena mereka sudah menunggu anda disana." Lanjut Zello. Alvan mengangguk pelan, dia menarik simpul dasinya, memberi sedikit ruang pada lehernya yang terasa tercekik. "Yeah, kita berangkat sekarang." Ucap Alvan membalas. Dia langsung melangkah tanpa peduli dengan anggukan pelan Zello barusan untuknya. Yah … pagi ini, Alvan ada meeting dengan salah satu kolega bisnisnya. Namun, meeting kali ini bukan di kantornya melainkan akan meeting diluar. Sebenarnya, Alvan sudah mengurus cutinya selama seminggu kedepan karena dia baru saja menikah. Dan cuti tersebut atas saran dari ayahnya dan juga kedua mertuanya. Meski sebenarnya Alvan enggan untuk mengambik cuti, namun dia tetap harus melakukannya supaya ayah dan mertuanya tidak curiga mengenai hubungannya dengan Diandra. Apalagi ketiga paruh baya itu sempat menawarkan bulan madu untuk dirinya dan Diandra. Namun untuk bulan madu tersebut, Alvan berhasil menghindar dan memberikan alasan yang masuk akal. Apalagi jika bukan menyangkut urusan pekerjaannya yang menumpuk, jadwal meeting yang tidak bisa lagi diundur dan banyak lagi alasan lain mengenai pekerjaannya. Padahal semua itu bisa saja di handle oleh Daniel selaku CEO di perusahaan. Namun begitulah Alvan, dia bukannya tidak mempercayai sepupunya itu, namun ini semua dia lakukan demi menghindari bulan madu sialannya dengan Diandra. . … "Kamu dimana, Diandra!" "Aku di luar," jawab Diandra. "Pulanglah dan tunggu hukuman dariku!" Deg!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN