***
Diandra mengusap pelan air matanya, lalu melangkah dan lekas membuka pintu kamar di depannya saat ini. Kamar yang kata suaminya barusan adalah kamar tidur untuknya.
Diandra masuk dengan langkah pelan, ia melempar pandangan ke sembarang arah. Tidak ada yang buruk dengan kamar ini. Bahkan, kamar ini juga tidak kalah mewah dengan kamar miliknya dirumah orang tuanya.
Namun, bukan kemewahan yang menjadi masalahnya. Tetapi, kenyataan yang membuatnya sesak. Alvan memperlakukannya seperti seorang istri yang tidak diinginkannya.
Memangnya, apa yang salah dengannya? Apa yang kurang dari dirinya? Sehingga pria itu menolak bahkan dengan sengaja memperlakukannya seperti ini.
Diandra terus melangkah mendekat ke arah ranjang. Ia melempar pelan mini bag di tangannya, lalu mulai mendaratkan bokongnya di atas kasur empuk itu.
Diandra merebahkan tubuhnya, berbaring dengan posisi meringkuk. Ia memejamkan kedua matanya kala cairan bening itu kembali memenuhi kedua netra indahnya.
'Hah … Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan hidupku? Kenapa semuanya jadi seperti ini?' Diandra membatin, wanita itu turut meremas kuat dadanya yang terhimpit akan rasa sesak.
Wanita mana yang tidak bersedih jika diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Wanita mana yang tidak hancur hatinya saat suaminya membawa wanita lain kedalam rumah mereka.
Sungguh, Diandra tidak mengerti lagi dengan semua ini. Dia benar-benar bingung.
Sementara di lantai bawah, Alvan merengkuh mesrah pinggang ramping Belinda. Mereka berdua melangkah bersama menuju pintu.
Sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati bersama, sepertinya, malam ini Alvan akan menghabiskan malam bersama wanitanya ini.
Belinda Yohana, wanita yang kemarin Alvan akui didepan Diandra sebagai temannya ternyata adalah kekasihnya. Bahkan, mereka menjalin hubungan jauh sebelum Alvan berkenalan langsung dengan Diandra.
Dan sepertinya, status Alvan yang telah resmi menjadi seorang suami pun, tidak membuat hubungan keduanya berakhir. Malahan, Alvan dengan beraninya bersikap mesra dengan Belinda di depan Diandra.
"Alvan?" Panggil seorang pria yang saat ini berdiri di teras.
Alvan dan Belinda lantas menghentikan langkah kaki mereka saat melihat kehadiran seorang pria di sana. Dia adalah Daniel, anak dari saudara sepupu Arthur. Yang Artinya Daniel juga saudara sepupu Alvan.
Daniel yang notabenya adalah anak yatim piatu dan selama ini telah dibesarkan oleh Arthur pun, kini dia ikut membantu Alvan di perusahaan keluarga Abrisam. Disana, Daniel menjabat sebagai CEO.
"Kalian bersama disini? Lalu dimana Diandra?" Tanya Daniel. Pria itu menatap Alvan dengan kening berkerut. Pasalnya, yang Daniel tahu jika hari ini, Alvan telah membawa Diandra tinggal disini.
"Bukan urusanmu!" Balas Alvan terdengar sinis.
"Wow! Luar biasa! Kau membawa selingkuhan mu ke rumahmu sendiri? Really?" Daniel bersedekap, ia menatap remeh ke arah Alvan.
"Jaga bicaramu, Daniel! Aku bukan selingkuhannya! Aku ini adalah kekasihnya!" Ucap Belinda tidak terima dengan ucapan Daniel barusan.
Daniel menarik pandangannya dari Alvan, lalu menatap wanita itu dengan senyum remehnya.
"Cih! w************n memang cenderung tidak tahu malu dan tidak tahu diri!" Desis Daniel mengatai.
Alvan geram, pria itu melangkah lebar ke arah Daniel dan langsung meninju wajah pria itu. Sehingga Daniel pun tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya lalu jatuh tersungkur begitu saja.
"Jaga bicaramu, Daniel! Jangan sesekali ikut campur dengan urusanku!" Ucap Alvan memperingati setelah dia berjongkok di hadapan Daniel.
"Kau memang b******k, Van! Kau akan menyesal karena telah memperlakukan Diandra seperti ini!" Balas Daniel tanpa memperdulikan peringatan Alvan barusan.
Bugh!
Alvan semakin geram, dia kembali meninju wajah Daniel sehingga pria itu pun lantas meringis akibat rasa nyeri di sudut bibirnya yang mulai mengeluarkan darah segar.
"Ada apa ini?!" Suara Diandra pun lantas menarik perhatian mereka.
"Astaga, Daniel?!" Diandra melangkah lebar saat melihat Daniel tersungkur dan juga melihat darah segar yang mengalir pelan di sudut bibir pria itu.
Sementara Alvan, melihat kehadiran istrinya disana, dia pun kembali berdiri lalu mundur pelan memberikan ruang pada istrinya untuk membantu Daniel.
"Berdarah, Niel. Ya Tuhan …" Diandra panik, ia menatap khawatir.
"It's oke. Hanya luka kecil." Balas Daniel berusaha menenangkan.
Diandra dan Daniel tentu sudah saling mengenal. Dan menurut Diandra, Daniel adalah sosok pria yang sangat baik. Terlebih pria ini sudah menjadi teman baiknya.
Diandra menoleh, dia memutar tubuhnya dan melihat suaminya disana. Pria itu berdiri sambil mengeraskan kedua rahangnya.
Namun, ketika Diandra melihat Belinda disana, ia pun kembali memusatkan perhatian pada Daniel.
"Ayo, masuk. Biar aku obati lukamu." Ucap Diandra mengajak pria itu sambil menarik pelan lengan kokoh Daniel dan hendak membawa pria itu masuk kedalam rumah.
"Aku tidak mengizinkannya untuk masuk kedalam rumahku!" Nada Alvan terdengar dingin sehingga tak ayal membuat Diandra menghentikan langkah kakinya. Wanita itu melempar pandangan, lalu menatap ke arah suaminya.
"Aku hanya ingin mengobati lukanya. Dan ini semua juga karena ulahmu, 'kan? Lagian, Daniel adalah sepupumu, lalu apa salahnya kalau dia masuk ke dalam rumahmu?" Ujar Diandra membalas.
Alvan semakin mengeraskan rahangnya apalagi saat melihat jari-jari lentik istrinya menggenggam erat pergelangan tangan Daniel.
"Ayo, Niel." Ajak Diandra hendak kembali menarik lengan Daniel.
"Lepaskan tangannya, Diandra!"
Diandra tersentak, bahkan Belinda pun begitu.
"Diandra Athasya! Aku bilang lepaskan tangannya!" Lagi-lagi, Alvan kembali membentak istrinya dengan nada begitu tinggi.
Diandra melepas pergelangan tangan Daniel dari genggamannya, bahkan ia sempat memejamkan kedua matanya saat mendengar bentakan kuat dari suaminya.
Sementara Daniel, pria itu mulai mengulum senyum tipisnya. Ia sadar jika Alvan tidak suka melihat dirinya dengan Diandra.
"Sayang…," Belinda melangkah kearah Alvan hendak memeluk lengan pria itu.
"Diam!" Sela Alvan dan Belinda pun langsung mengatup rapat kedua bibirnya.
Alvan melangkah dekat ke arah Diandra, lalu berdiri tepat di hadapan istrinya itu. Alvan mengangkat tangan kanannya lalu menjepit dagu runcing Diandra dengan ibu jari dan telunjuknya.
"Dengar baik-baik, Diandra. Jangan sekali-kali kamu berani membawa masuk pria lain ke dalam rumah ini! Aku tidak mengizinkanmu?! Kau paham!" Ujar Alvan memberi peringatan tegas untuk istrinya.
"Lalu bagaimana dengan kamu? Membawa wanita lain kedalam rumahmu sementara kamu sediri sudah memilik istri?!" Balas Diandra.
"Jangan melawan dan membantah! Masuk!" Pintah Alvan sambil melepas dagu runcing istrinya.
"Masuk!" Alvan kembali membentak.
Diandra kembali memejamkan kedua matanya, lalu setelah itu ia pun melangkah masuk kedalam rumah. Diandra mendadak mual dan pusing, apalagi saat mendengar bentakan suaminya itu.
Alvan benar-benar keterlaluan!
Setelah melihat punggung istrinya mulai menghilang dari pandangannya, Alvan pun kembali menatap ke arah Daniel.
"Silahkan pergi dari sini!" Usir Alvan pada Daniel.
Daniel mengeluarkan senyum smirknya lalu membalas ucapan Alvan. "Baiklah, besok aku akan kembali." Ujar Daniel.
"Aku akan mematahkan rahangmu jika kau berani mengganggunya!" Desis Alvan.
Daniel tidak peduli dengan ancaman Alvan. Pria itu mengangkat tangan kanannya selalu mengibas pelan di depan Alvan, syarat akan rasa tidak pedulinya terhadap ancaman Alvan barusan.
"Lakukan saja apa yang kau inginkan." Ujar Daniel lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Alvan dan Belinda disana.
"Kamu cemburu, liat wanita itu sama Daniel?!" Celetuk Belinda dengan nada kesalnya.
Alvan menoleh, namun pria itu enggan menanggapi. Alvan lebih memilih melangkah menuju mobilnya. Belinda memberengut kesal, namun juga turut menyusul Alvan.
Setelah itu, mobil Alvan keluar melewati gerbang yang menjulang di sana lalu pergi bersama Belinda yang entah akan kemana.
Sementara didalam rumah, Diandra mendarat bokongnya diatas sofa ruang tengah. Diandra diam, ia berusaha menahan emosinya. Ingin sekali dia berteriak agar rasa sesak di dadanya pun ikut pergi.
Namun, yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menangis dan menangis. Diandra merasa hidupnya hancur begitu saja. Alvan berhasil mematahkan hatinya, pria itu berhasil membuat luka di hatinya.
'Haah! Sabar Diandra. Sabar! Mungkin saja besok Alvan akan berubah. Yeah! Dia pasti akan berubah. Dia mencintaiku, aku yakin.' Batinnya berusaha menguatkan hatinya.
"Non?"
Diandra tersentak, ia menoleh dan melihat salah satu asisten rumah tangannya disana. Namanya Surti dan biasanya dipanggil, Bi Surti dikarenakan usianya yang sudah paruh baya.
"Sabar, Non?" Ucap Bi Surti.
Diandra mengusap air matanya, lalu mengulas senyum. "Aku baik-baik saja, Bi." Ucap Diandra. "Tolong, jangan kasih tau siapapun tentang kejadian ini." Lanjutnya.
Diandra melihat wajah paruh baya itu menatap iba padanya.
"Iya, Non. Bibi tidak akan kasih tau siapa-siapa."
"Terimakasih, Bi."
"Sama-sama, Non. Oh iya, makanan untuk Non udah bibi siapkan di meja. Ayo, mumpung masih hangat." Ujar bi Surti.
Diandra menggeleng pelan, sungguh ia sudah tidak berselera. "Aku gak nafsu, Bi. Biar nanti saja. Maaf sudah merepotkan."
"Loh? Ya jangan gitu atuh, non? Perut kosong itu harus diisi walau sedikit saja. Nanti sakit, loh." Bi Surti berusaha membujuk namun Diandra tetap menggeleng.
"Nanti kalau aku lapar lagi, aku akan turun lagi. Bi. Aku naik keatas dulu." Diandra beranjak dari atas sofa kemudian langsung melangkah pergi kembali naik ke lantai atas.
Tadinya dia turun karena merasa lapar dan dia minta tolong pada asisten rumah tangga nya itu untuk menyiapkan makanan untuknya.
Namun, sayup Diandra mendengar suara keributan di depan teras dan ternyata suaminya sedang baku hantam dengan Daniel. Entah apa yang mereka ributkan, Diandra tidak tahu dan dia tidak mau tahu.
.
…
"V-Van … eughh…"