Menurut informasi dari orang Leon, Lintang kembali dirawat di rumah sakit. Lintang kembali bengek dan harus kembali menjalani opname. Kebetulan, rumah sakit Lintang menjalani opname masih rumah sakit yang sama dengan rumah sakit sebelumnya Lintang dirawat. Tentu saja, Sultan yang sudah mengantongi lampu hijau dari kedua orang tuanya langsung beraksi di keesokan harinya.
Setelah selesai salat subuh bersama orang tua dan kakeknya, Sultan langsung menjalani persiapan berubah menjadi Sunny.
Tepat pukul tujuh pagi, sepasang kaki jenjang terbalut celana pensil dan mengenakan heels, melangkah elegan memasuki ruang rawat Lintang. Sosok jangkung tersebut memakai blus lengan panjang warna pink dan langsung membuat seorang Embun Susanti—mamah Lintang, sibuk bersin.
Nih orang parfumnya wangi banget, mandi pakai parfum apa bagaimana? Terus dia siapa? Kenapa dia tiba-tiba masuk ke sini? Wajahnya asing banget. Apa dia teman Lintang? batin Embun yang menatap heran wanita berias menor di hadapannya dan tidaklah lain, Sunny.
Tanpa basa-basi, Sunny langsung masuk ruang rawat Lintang, seolah mereka sudah saling kenal bahkan akrab. Sosok Sunny yang usianya Embun tafsir sebaya dengan Lintang, langsung tersenyum sangat ramah pada Embun. Hingga gigi rajin warna putih tapi ternoda lipstik warna merah muda yang memoles bibir Sunny, terlihat sempurna. Kenyataan tersebut membuat Embun merasa lucu dan refleks menahan senyumnya.
“Mah ...?” lirih Lintang sambil menyeruput jus jambu merah melalui sedotan.
Lintang melirik Embun selaku satu-satunya sosok yang terjaga untuknya di sana. Karena selain Edward yang harus pergi bekerja, Langit juga harus sekolah dan menjalani aktivitas pokok sekaligus wajib layaknya biasa.
“Siapa, ya? Masih muda tapi dandanannya rasa tante-tante, bahkan ... waria,” lirih Lintang menerka-nerka sambil diam-diam memperhatikan penampilan Sunny dari ujung kepala hingga ujung kaki. Cantik sih, tapi dandanan sama parfumnya kebangetan sampai tumpah-tumpah ke negara tetangga, batin Lintang yang mendadak teringat seseorang dan baginya mirip Sunny. Bentar, deh ... benar wajahnya enggak asing!
Sosok Sunny langsung membuat Lintang teringat pada sosok Sultan lengkap dengan kata-kata ajaib pemuda itu. “Namaku Sultan, tapi kamu cukup panggil aku Sayang!” Serius, ini cewek mirip si Sultan itu yang minta aku panggil dia sayang! Batin Lintang makin yakin.
Dalam diamnya, Embun yang diam-diam mengamati Lintang maupun Sunny silih berganti, yakin bila mereka memang tidak mengenal Sunny. Karenanya, ia berinisiatif menghampiri Sunny.
“Maaf, Mbak ini siapa dan ada perlu apa, ya?” Embun sengaja bertanya dengan nada sangat hati-hati, tak mau pertanyaan sekaligus tegurannya pada Sunny menorehkan luka untuk wanita muda tersebut.
Bukannya fokus pada Embun, Sunny justru fokus pada Lintang yang benar-benar tidak bersin apalagi bengek layaknya biasa. Dalam batinnya, Sultan sampai berseru kegirangan karena misi penyamarannya menjadi Sunny demi mengelabuhi alergi Lintang berhasil. Yes! Serius si Lintang enggak bersin apalagi bengek yang bikin dia opname? Memang harus aroma wanita tulen kali, ya, biar Lintang enggak alergi. Alhamdullilah ... enggak apa-apalah dandan secantik ini asal aku bisa dekat terus dengan Lintang!
Sebelum benar-benar berucap, Sunny sengaja berdeham untuk mengecek suaranya agar terdengar seperti wanita muda yang sangat ceria sekaligus manja selaku ciri khas Sunny. Namun siapa sangka, ulahnya justru menimbulkan suara kodam sangar tak ubahnya suara tegas nan berat khas laki-laki. Embun dan Lintang yang terkejut refleks saling bertatapan.
“Maaf-maaf. Lagi radang,” kilah Sunny cepat dengan suara manja andalan. Kemudian ia sengaja memberikan senyum termanisnya sambil mengedipkan sendu kedua matanya hingga tampangnya menjadi sangat tidak berdosa.
Sambil berangsur mengulurkan tangan kanan, Sunny berkata, “Nama saya Sunny, tapi kalian cukup panggil saya Sayang!” tegasnya kembali memberikan senyum terbaiknya.
“Kata-kata kamu kok enggak asing, ya?” ujar Lintang yang masih duduk selonjor di tengah ranjang rawatnya. “Kamu kenal cowok yang tinggi tubuhnya sama kayak tinggi tubuh kamu, terus namanya Sultan? Kalian mirip banget, serius!” Lintang meyakinkan.
Sekadar diingat oleh Lintang saja, hati Sultan langsung berbunga-bunga. Seolah langsung banyak bom atom yang meledak di sana dan membuat hati Sultan menjadi berisik. Ingin rasanya Sultan loncat-loncat kemudian guling dan salto di lantai saking bahagianya. Namun, Sultan tak mungkin melakukan itu karena kini ia masih menjadi Sunny dan ia belum akrab dengan Lintang maupun orang-orang di sekitar Lintang.
Di tengah kenyataannya yang langsung bersemangat dan seolah memiliki nyawa tambahan, Sunny berkata, “I-iya! Dia kembaran aku! Kembaran yang tidak harus dilahirkan apalagi membelah diri! Alasanku ke sini pun karena aku diminta Mas Sultan buat jagain kamu, Rosallinda, ... eh maksudku, Lin!”
“Kembaran yang tidak harus dilahirkan apalagi membelah diri?” lirih Lintang dan Embun, langsung syok. Keduanya refleks saling tatap.
Sadar kedua wanita di hadapannya terbengong-bengong sambil berkode mata karena bingung, Sunny menyadari bila ia telah membuat kesalahan fatal. Mulutku ini, beneran enggak ada rem otomatisnya. Kembaran yang tidak dilahirkan apalagi membelah diri sih macam apa? Amobea? Lah aku kan dilahirkan oleh Mamah Mita, masa iya Mamah Mita Amobea? Dosa ini dosa! Maap Mamah, maap!
“Kamu beneran kembarannya si Sultan?” tanya Lintang memastikan.
Dengan santainya, Sunny menjawab, “Iya, kembaran yang enggak perlu dilahirkan apalagi membelah diri.” Ya ampun lagi mulut ini! Ya sudahlah enggak apa-apa, batin Sultan pasrah.
“Kenapa kembar tanpa harus dilahirkan apalagi membelah diri? Kalian hanya mirip dan kebetulan saudara, apa bagaimana?” lanjut Lintang.
Embun langsung meninggalkan Sunny. Ia meraih gelas berisi jus jambu di tangan kanan Lintang yang jumlahnya tinggal sedikit. Dan melalui sendok yang ada di gelas, ia menyuapkan sisa jusnya pada Lintang.
Sultan merasa tersudut apalagi Lintang bukan gadis biasa yang bisa dibodohi dengan leluasa. Lintang tipikal cerdas di atas rata-rata bahkan Sultan pun bukan tandingannya.
“Efek terlalu sering bercanda, aku dan Sultan selalu menyebut kami begini. Oh, iya ... mulai sekarang aku akan menjadi teman kamu. Aku pun akan pindah ke sekolah kamu sekolah, biar aku bisa terus sama-sama sekaligus menjaga kamu!” Sunny berniat mengutarakan misi pokoknya.
“Lin, sebenarnya Mas Sultan khawatir banget ke kamu. Namun karena dia tidak mungkin menemui sekaligus menjaga kamu secara langsung, Mas Sultan mengutus aku buat menggantikan dia menjaga kamu. Kamu alergi dan gara-gara dikejar Mas Sultan, kamu jadi opname, kan? Maafin aku, eeeh ... maafin Mas Sultan, ya. Maksud Mas Sultan mengejar kamu karena Mas Sultan sayang kamu. Saat itu dia belum tahu kalau kamu alergi makanya main gas saja!” ucap Sunny benar-benar bersemangat.
Bengong, Lintang refleks menengadah menatap sang Mamah. Sultan dan perhatiannya padahal Lintang yakin, mereka tidak kenal.
“Mas Sultan bilang, dia akan mengawasi dan menjaga kamu dari kejauhan. Jauh di mata dekat di hati!” lanjut Sunny yang langsung tersenyum lepas tapi mendadak kehausan. “Ante ... Ante, aku haus banget, Antee! Apalagi aku lagi radang, kan?”
Ulah Sunny yang langsung sok dekat bahkan manja pada mereka, langsung membuat Embun bahkan seorang Lintang menahan tawa. Segera Embun mengambilkan air minum dan membantu Sunny minum. Sunny sendiri sudah duduk di sofa kecil dekat ranjang rawat Lintang.
Setelah menunggu Sunny selesai minum, Lintang yang kali ini tidak sampai memakai masker berkata, “Aku enggak kenal Sultan, lho. Kami hanya bertemu sebentar beberapa hari yang lalu dan kami enggak akrab.”
“Masalahnya sebelum itu, Mas Sultan sudah nyariin kamu. Muter-muter dia pakai motor keliling Jakarta cuma buat nyari kamu sampai menabrak tukang cendol. Mas Sultan juga beberapa kali mampir ke SMA Bakti Luhur yang satpamnya Soleh itu soalnya seragam kamu mirip seragam murid di sana.”
“SMA Bakti Luhur, ... memang sekolahku. Namun aku enggak tahu satpam di sana soleh enggaknya.” Lintang menatap bingung kedua mata Sunny.
Tatapan Lintang langsung membius Sunny. “Yang aku maksud soleh itu bukan akhlak-nya, tapi nama satpamnya itu Soleh, Lin. Ya ampun kamu gemesin banget, sih!” Tangan kirinya mengelus gemas pipi kiri Lintang. Ya ampun pipi Lintang selembut ini! Mimpi apa aku bisa seperti ini? Bahkan Lintang sampai senyum-senyum ke aku! Ya Alloh Mamah Mita senyum Lintang ngajakin aku ke KUA! Teriak Sultan jauh di dalam hatinya.
“Sunny, ayo sekalian sarapan bareng. Lintang baru mau sarapan sebelum minum obat,” tegur Embun yang berjalan menuju meja di ujung ruangan. Di sana ada berbagai makanan bahkan nasi.
“Oh, kamu juga minum obat? Alergi kamu ada obatnya?” lirih Sunny lirih, tulus dari hatinya yang paling dalam.
“Aku positif DBD,” balas Lintang.
Syok, Sunny refleks menghela napas dalam. Si nyamuk kurang ajar banget. Aku saja belum ngapa-ngapain, dia sudah sibuk gigit-gigit! Awas kamu yah aku titipin salam ke malaikat Izrail!
Di tengah kekesalannya, Sultan ingat, sang mamah membekalinya dua rantang berisi tim sarang burung dengan racikan khusus obat-obatan China dan sangat baik untuk kesehatan. Sedangkan rantang satunya berisi sup ayam dan sapi dengan sayuran yang sebenarnya Sultan sendiri tidak doyan karena ada unsur hidupnya. Kalian tidak lupa bila Sultan tidak bisa makan ayam, seafood, daging serta semua yang bernyawa, kan? Itu kenapa Sultan tidak bisa makan sup yang Sasmita buat secara khusus untuk Lintang.
“Mamah Mita itu siapa?” tanya Embun sambil menerima dua rantang susun yang Sunny berikan padanya.
“Mamah Mita itu istrinya Papah Leon, Te. Mamahnya aku, hahahaha!” balas Sunny sangat ceria.
“Ya ampun dari tadi kamu ngelawak terus!” Kali ini Embun tak kuasa menahan tawanya.
Si Sunny memang berisik, tapi juga seru. Kita lihat saja ke depannya dia mau gimana? Apakah dia akan tetap seseru ini? Eh omong-omong, kok Sultan segitu sayangnya yah, sama aku? Dia sampai mengutus Sunny, dan ... mamahnya sampai masakin aku secara khusus, batin Lintang. Untuk pertama kalinya, Lintang merasa diperlakukan spesial oleh orang lain selain oleh keluarganya yang selama ini selalu memperlakukannya dengan istimewa.
Sunny dan Sultan, dua pribadi yang bagi Lintang sangat mirip dan ternyata kembar. Lintang berpikir, bila keadaannya terus seperti sekarang, ia akan menjadi sosok paling bahagia karena selain untuk kali pertama akhirnya ia memiliki teman, keramaian dari sifat Sunny membuat semuanya terasa makin spesial.
“Sunny mau makan pakai ayam, dendeng, apa sup buatan Mamah Mita?” tanya Embun yang sudah menyiapkan makanan di piring. Sudah ada nasi dan ia siapkan khusus untuk Sunny.
“Enggak, Te. Aku enggak makan ayam, daging atau semua yang pernah bernyawa. Aku makan nasi sama sayur saja. Kalau ada telur apa perkedel aku mau. Kalau enggak ada ya seadanya saja asal jangan ada ayam dan daging lainnya. Kasihan mereka.” Sunny masih menjawab dengan tutur kata lembut sekaligus ceria.
Padahal, Embun dan Lintang yang mendengarnya langsung kebingungan dan berpikir keras. Sunny tidak makan ayam, daging dan semua yang bernyawa karena kasihan? Selembut itu kah hati Sunny? Embun dan Lintang menjadi berpikir, bahwa Sunny dan Sultan sama-sama berhati lembut karena demi bisa menemani sekaligus menjaga Lintang, Sultan sampai mengirim Sunny secara khusus.
Bersambung ...