Episode 11 : Bahaya dan Ancaman

1779 Kata
“Pembela kebenaran dan pembasmi kejahatan.” **** “Lin, ... omong-omong, kamu mau berapa lama di sini? Aku boleh jaga kamu, kan? Menginap gitu? Kalau enggak boleh, aku bakalan bangun kontrakan di ruang ini biar aku tetap bisa jagain kamu sedekat mungkin!” Sunny mendekap bantal sofa yang ia taruh di pangkuannya, dan menatap Lintang sambil tersenyum ceria. Setelah terdiam menatap Sunny dengan tatapan tak percaya, Lintang justru tertawa. Tawa yang lama-lama menjadi sulit dihentikan layaknya ketika Langit sudah tertawa. Dan bila keadaan sudah seperti itu, Lintang menjadi kesal karena tidak bisa menghentikan tawa Langit. Dari dalam kamar mandi di seberang Sunny duduk, Embun sampai merinding dan memutuskan untuk memastikan secara diam-diam. Betapa bahagianya Embun melihat putrinya yang selama ini selalu tampil serius, menjadi sulit mengakhiri tawa hanya karena bersama Sunny. “Ny, kamu tuh lucu banget, sumpah! Orang tua kamu pelawak, ya?” Demi meredam tawanya, Lintang menggunakan kedua tangannya untuk menekap mulut sambil terus menatap Sunny, menunggu balasannya. “Bukan, orang tuaku bukan pelawak,” balas Sultan sambil menggeleng pelan dan membuatnya terlihat layaknya gadis polos. “Orang tuaku juragan minyak dari Arab. Minyak wangi, ... makanya aku sewangi ini soalnya dari kecil aku sudah terbiasa mandi pakai minyak wangi direndam celup tapi bukan orelo, ya. Itu iklan sebelah.” Kembali, jawaban ajaib Sunny membuat Lintang bengong. Lintang tak bisa berkata-kata, dan untuk pertama kalinya, Lintang merasa dirinya menjadi lemot. Otak Lintang mendadak kosong dan tidak bisa berpikir cekatan layaknya biasa hanya karena menghadapi seorang Sunny. “Kok diem? Enggak apa-apa, ketawa saja.” Yakin bila Lintang tak mungkin tertawa, Sunny sengaja berkata, “Eh, Lin, ... papahku lebih hebat dari doraemon meski dia enggak punya kantong ajaib, lho!” Setengah tertawa ia berkata, “Kekuatan Papah ada di ponsel sama kartu ATM, tapi pas mamah sudah mengambek ke papah, beneran deh Papah langsung tak berdaya. Papah langsung tunduk pada mamah selaku ibu negara di keluarga kami. Nanti lho, kalau kamu sudah sembuh, aku ajak mereka ketemuan sama kamu. Atau, nanti aku ajak kamu main ke rumah kami biar bisa mengenal papah mamaku yang selalu romantis.” Setelah sempat menahan senyumnya, Lintang menjadi menahan tawanya. “Aku rasa, apa yang papah kamu lakukan dengan tunduk pada mamah kamu merupakan wujud cinta tulus papahmu yang selalu ingin memanjakan sekaligus membahagiakan mamah kamu. Papahku pun begitu. Seberapa pun jenius papah dan sampai dianggap sebagai mesin pintar oleh orang-orang, pada Mamah, papah selalu mengalah.” “Eh, papahmu jenius? Papahku justru bar-bar banget, terus kata papah alasan dia bar-bar karena pas oma aku hamil papah, oma selalu makan bunglon rica-rica!” sergah Sunny tak beda dengan ibu-ibu yang tidak bisa mengerem ucapannya bila sudah bergosip. “Bunglon rica-rica? Enak?” Lintang sampai lupa bernapas karena terlalu syok tapi sangat penasaran. “Ya enggak tahu. Ayam saja aku enggak pernah makan, kasihan kan mereka juga makhluk hidup. Tapi sih sepertinya enak lah nyatanya sering makan. Hahahaha.” Sunny refleks membekap mulutnya menggunakan kedua tangan karena ia kelepasan tawa kodamnya. Ia melakukannya sambil menatap tegang Lintang, tapi gadis itu justru menertawakannya. Embun Susanti tak bisa berkata-kata. Ia menggeleng lemas di tengah kebahagiaannya mengamati kebahagiaan Lintang. Andai Langit apalagi papah tahu, mereka pasti juga sebahagia aku. Melihat Lintang seceria sekarang, ya Alloh rasanya sebahagia ini. *** Sekitar pukul empat sore, seseorang membuka pintu ruang rawat Lintang dari luar dan awalnya dikira sebagai perawat yang akan mengecek keadaan Lintang. Namun, ternyata itu Arina yang membawa Zio untuk turut serta. Membuat Lintang buru-buru memakai masker yang tersedia di meja meski bila dilihat, Zio enggan masuk ke ruang rawat Lintang. Zio dan Arina datang dengan dikawal dua orang ajudan dan masing-masing membawa bingkisan. Satu membawa bingkisan buah berukuran besar. Satunya lagi menenteng dua karton berukuran besar warna cokelat tua dan oren. Cowok ini yang merengek-rengek ke Satpam Soleh dan bilang sekolahnya Lintang lebih mirip kebun binatang gara-gara ada kadal, cicak, dan kawan-kawan, kan? Eh, ... kemarin dia yang dirawat di ruang rawat yang Lintang masuki! Ya ampyun ... sepertinya dia tuan muda manja. Okelah ayo kenalan sama aku, tuan muda bar-bar berhati pink! Eh, sebentar ... aku kan Sunny si gadis ceria yang akan selalu membahagiakan Lintang! Batin Sunny sambil diam-diam mengamati Zio. Kenyataan Lintang yang sampai mengguncang pelan lengan Sunny, membuat Sunny mengakhiri pengamatannya pada Zio. Sunny langsung menatap Lintang dengan tersenyum ceria. “Kebalkan hati kamu karena tuh orang—namanya Zio, kalau ngomong nyelekit banget. Apalagi kalau kita enggak selevel dan enggak sekaya dia, dia beneran akan semena-mena. Tapi kamu enggak usah takut, kalau memang sudah keterlaluan, hajar saja jangan enggak. Namun kalau kamu enggak berani, nanti aku saja yang menghajar dia!” bisik Lintang geregetan. “Wah, boleh hajar? Aku paling suka kalau hajar-menghajar. Apalagi papahku paling suka kalau aku bar-bar. Kemarin nabrak tukang cendol saja, Mas Sultan langsung dihadiahi saham!” balas Sunny bersemangat. Lintang langsung menahan tawanya di tengah kesibukannya menatap wajah Sunny. Ada ya, yang selucu ini! Langit wajib kenal ini! “Waait, aku beraksi dulu!” bisik Sunny yang buru-buru beranjak membantu Embun Susanti menerima hadiah pemberian dari Zio dan Arina. “Wah, ini siapa?” tanya Arina yang tersenyum ramah pada Sunny. Tak seperti anak muda zaman sekarang bahkan itu Zio putranya, Sunny langsung menyalaminya dengan takzim. “Pembela kebenaran dan pembasmi kejahatan, Te! Namaku, Sunny! Aku sahabatnya Lintang!” balas Sunny yang membawa bingkisan buahnya dengan perkasa. Setelah sempat terbengong, Arina juga menjadi tertawa lemas layaknya Embun. Lain halnya dengan Lintang yang sengaja menahan tawanya karena di sana ada Zio yang sangat tidak ia sukai. Namun, ketika Sunny mendadak mengibaskan rambutnya dan sampai menghantam wajah rata Zio sesaat sebelum Sunny undur sambil membawa bingkisan buah, Lintang benar-benar tidak bisa menahan tawanya. Lintang terbahak bahagia sambil memukul-mukul kasurnya. Terpejam kesal, susah payah Zio menahan diri untuk tidak mengumpat apalagi mengamuk pada Sunny. “Eh, kena, ya?” ucap Sunny pura-pura syok sambil menoleh menatap Zio. “Maaf, aku enggak terlalu sengaja.” Dengan ceria, ia melirik Lintang yang langsung memberinya dua buah jempol tangan. Nih cewek beneran lebih kurang ajar dari Lintang. Awas saja, nanti bakalan aku jambak sampai rambutnya rontok semua! Batin Zio sambil menatap kesal sosok Sunny yang jalannya tidak mau diam. Jalan Sunny seperti belatung cabai yang akan langsung loncat ke sana kemari bila sudah keluar dari peradaban. Beberapa saat kemudian, Zio sudah duduk di sebelah Arina, di sofa seberang keberadaan ranjang rawat Lintang. Embun menemaninya dengan aneka suguhan yang menghiasi meja. Hanya Sunny yang masih bertahan di sisi Lintang dan kini tengah melakukan perawatan pada kuku-kuku Lintang. Sultan memang sudah terbiasa merawat kuku-kuku Sasmita karena ia sengaja belajar. Hubungannya dengan Sasmita yang sangat dekat dan kadang lebih mirip dengan hubungan sahabat memang membuatnya mempelajari banyak hal agar ia bisa memanjakan Sasmita yang hanya memilikinya sebagai satu-satunya anak. Namun dari semua hal yang mereka lakukan termasuk bermain basket dan juga olah raga lainnya, Sultan masih payah bila itu menyangkut urusan masak-memasak. “Jangan pakai warna mencolok, nanti dirazia kalau di sekolah,” lirih Lintang. “Dirazia di sekolah bagaimana? DBD kan biasanya lama harus benar-benar pulih dulu,” balas Sunny. Arina masih memperhatikan interaksi Sunny dengan Lintang. “Mbun, Sunny anaknya siapa, sih? Beneran sahabatnya Lintang, atau anak dari kenalan kamu dan Edward?” “Dia bilang, dia anaknya juragan minyak wangi. Dia kembarannya Mas Sultan yang kemarin menolong Lintang! Anaknya ceria banget, lucu, rame. Seharian ini saja aku sampai lemes gara-gara kebanyakan ketawa. Lintang yang paling anti senyum apalagi tertawa, juga jadi sering banget ketawa gara-gara Sunny. Alhamdullilah, akhirnya Lintang punya sosok yang cocok dan bisa bikin dia senyaman itu,” ucap Embun sengaja mengatur suaranya agar tetap lirih karena biar bagaimanapun, mereka sedang membahas Sunny. “Lin, Zio memang begitu, ya? Wajah rata dan enggak pernah ngomong? Seriawan apa memang kebanyakan dosa, dia? Sampai-sampai ngomong saja enggak bisa?” bisik Sunny. Lintang langsung cekikikan. Ia menatap bahagia kuku-kukunya yang dicat dengan warna pink transparan dan tengah dihiasi ornamen menyerupai bunga sakura oleh Sunny. “Lucu, ya? Gemesin kayak aku? Mama Mita juga suka perpaduan kuteks begini. Ini cocok buat suasana santai. Nah kalau mau ke pesta biasanya pakai warna yang lebih cerah sekaligus mencolok. Pakai warna merah menyala, lilac, purple, apa kuning, biru juga cantik!” bisik Sunny. Arina menyikut Zio yang hanya diam memperhatikan kebersamaan Lintang dan Sunny. Zio langsung menoleh menatap sang mamah. “Katanya mau minta maaf?” lirih Arina mengingatkan. “Mungkin gara-gara belum lebaran makannya si Zio enggak mau minta maaf, Te. Coba Tante siapin petasan apa molotov sekalian dieldakin di dekat Zio biar suasananya mendadak jadi hawa-hawa lebaran. Siapa tahu dengan begitu, Zio jadi mau minta maaf!” ujar Sunny yang tak lupa tersenyum ceria sambil menatap Arina. Merasa tertampar dengan ucapan Sunny, Zio makin tak suka dengan gadis ceria itu. Pun meski Arina justru terlihat langsung menyukai Sunny. Lihat saja, Arina menjadi sering menahan senyum dan sampai memanggil Sunny dengan sebutan sayang! Kalau mereka kompak terus begitu, ini ancaman. Apalagi sejauh ini, mamah sama papah makin gencar bujuk aku buat dekat dan menjalani perjodohan dengan Lintang! Ini si Sunny kelihatannya bar-bar banget, ya? Terus si Sunny juga sampai sewangi itu dan bikin hidungku jadi mabok aroma parfumnya! Seseram ini, sebahaya ini bila dia terus sama Lintang. Bisa-bisa Lintang jadi bar-bar dan ... makin aneh! Batin Zio merasa terancam dengan adanya Sunny dalam kehidupan Lintang. “Assalamualaikum?” Suara Langit terdengar mendekat dan langsung dibalas oleh semuanya kecuali Zio. Langit menyalami sang mamah, baru berganti pada Arina, dan langsung menatap tak percaya kebahagiaan Lintang dengan Sunny yang sedang mengamati kuku-kuku Lintang. Bisa Langit pastikan, kenyataan Sunny yang baru saja menutup botol kuteksnya menegaskan bila gadis itu yang telah merias kuku-kuku Lintang menjadi sangat cantik. “Mah, dia siapa?” bisik Langit yang kemudian duduk di sebelah Embun. Ia melepas tas gendongnya sambil sesekali menoleh dan mengamati kebersamaan Sunny dan Lintang. “Namanya Sunny, dia teman baru Lintang. Kembarannya si Mas Sultan. Sunny diutus Mas Sultan buat menemani Lintang. Oh, iya ... demi bisa selalu bersama Lintang, nantinya Sunny juga akan satu sekolahan bahkan bila bisa satu kelas dengan kalian!” bisik Embun. “Waw? Luar biasa, Mah! Aku suka ... Lintang pun kelihatan bahagia banget!” tanggap Langit yang terpaku mengamati Sunny. Di waktu yang sama, Sunny menoleh dan langsung tersenyum ramah kepadanya dengan kedua mata lebarnya yang berkedip sendu kepadanya. Eh, apa ini? Hati Langit bergetar seiring rasa hangat yang menyelimuti di sana hanya karena senyum gadis bernama Sunny yang kali ini beranjak dan memijat-mijat kedua pundak Lintang. Ancaman ... bahaya! Si Sunny akan satu sekolah, satu kelas dengan Lintang dan otomatis kami akan makin sering bertemu? Astaga ... enggak benar ini. Ini enggak bisa dibiarin! Batin Zio ketar-ketir. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN