8. Suami Menyebalkan

1005 Kata
Hari-hari Raina disibukkan dengan membuat kue yang ia ambil resepnya dari internet. Karena anak ketiganya sudah beranjak besar sehingga Raina bisa sesekali meninggalkan untuk membuat sesuatu yang bisa ia jual melalui online. Mungkin karena keuletannya sehingga Raina pun bisa mulai menghasilkan uang sendiri dari hasil berjualan makanan via online. Seperti beberapa camilan frozen food atau dessert. Raina hanya membuat dalam porsi tidak banyak dan sesuai kemampuan saja karena ia mengerjakan seorang diri. Bisa laku dan ada yang selalu beli setiap hari saja Raina sudah bersyukur sekali. Semua Raina lakukan demi menopang biaya kehidupannya sehari-hari. Tidak mungkin ia terus-terusan mengambil uang tabungannya yang bahkan sekarang ini sudah semakin menipis karena sering ia pakai untuk menutupi kekurangan biaya hidupnya dan anak-anak. Beruntung kedua orang tua Raina pun mendukung apapun usaha yang wanita itu lakukan. Ibu Raina juga berperan besar dalam hal ini karena seringkali Raina akan menitipkan anak ketiga nya pada sang ibu, jika ia sedang sibuk berkutat di dapur dengan alat tempur nya. Sementara Ardi, jangan ditanya bagaimana perilaku lelaki itu. Semakin hari Ardi semakin banyak bertingkah. Masih pulang ke rumah kedua orangtua Raina, itupun disaat lelaki itu ingat pada anak-anaknya. Akan tetapi lelaki itu akan datang dan sudah jarang menginap di rumah kedua orang tua Raina lagi. Saat Raina bertanya, Ardi hanya menjawab jika lelaki itu menginap di rumah temannya. Raina sudah curiga, meski dalam hati menampik semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang selalu menghantui hatinya. Mengenai nafkah lebih parah lagi. Berpura-pura lupa jika kewajiban seorang kepala keluarga adalah memberikan nafkah secara materi kepada anak dan istrinya. Jika Raina tidak memintanya maka Ardi tak akan mau memberikannya. Dan jika Raina meminta maka ia akan memberi sesuka hatinya disertai dengan omelan-omlean yang menyakitkan. "Mas... Kok cuma tiga ratus ribu?" Raina melongo menatap lembaran uang seratus ribuan yang baru saja Ardi berikan. "Kan kamu jualan. Uang jualanmu kau buat apa?" "Astaga, Mas! Itu aku putar agar bisa balik modal." "Ya, udahlah. Pakai itu dulu." "Tapi, Mas....." Belum selesai Raina berbicara, Ardi mengibaskan tangannya dan berlalu pergi meninggalkan Raina. Lagi-lagi Raina hanya bisa mengelus dadanya. Deru mobil terdengar meninggalkan rumah. Dan bisa Raina pastikan jika Ardi tak akan pulang lagi. Sebenarnya bukan Raina wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa dengan perbuatan yang telah Ardi lakukan. Tanpa Raina perlu mencari tahunya pun, ada saja orang yang mengadu kepadanya. Salah satunya adalah kakak iparnya yang pernah menelpon Raina dan mengatakan jika Ardi sempat beberapa kali pulang ke rumah mertuamya dengan membawa seorang perempuan. Sakit hati Raina karena Ardi tega berperilaku buruk di belakangnya. Bukan hanya itu saja, kadang saat Ardi di rumah nya juga sering mendapat telpon yang mencurigakan. Ponsel Ardi pun juga di pasaword agar Raina tak bisa macam-macam dengan ponsel milik suaminya itu. Padahal Raina bukanlah tipe perempuan yang selalu ingin tahu apapun tentang Ardi. Raina menghela nafas berat. Ia tidak kuat sebenarnya terus saja hidup dalam kondisi seperti ini. Ditatap lagi uang tiga ratus ribu di tangan. Semakin miris saja Raina rasa. Uang yang Ardi beri bukan semakin banyak justru semakin sedikit. Gaji ke tiga belas, tunjangan kinerja atau kadang gaji ke empat belas, tak pernah lagi Raina dapatkan. Entah dikemanakan uang sebanyak itu. Raina tak tahu. Beruntungnya Raina memiliki usaha sampingan sekarang. Setidaknya sedikit mampu menopang biaya hidupnya beserta ketiga anaknya. Raina tak ingin membebani kedua orangtuanya dengan bersikap biasa dan tak mau menunjukkan pada mereka jika kelakuan Ardi semakin parah saja. *** Satu bulan berlalu, Ardi kembali pulang mengunjungi Raina dan ketiga anaknya di rumah kedua orang tua Raina. Waktu itu sore hari dimana Raina sedang menyiram tanaman sayur di depan rumah. Kebiasaan Raina beberapa pekan ini yang memiliki hobi bercocok tanam aneka jenis sayur sayuran. Ada sawi, kangkung, brokoli, cabe juga tomat. Mata Raina memicing menatap mobil yang terparkir di halaman depan. Itu bukanlah mobilnya. Mobil yang selama ini dipakai Ardi. Mungkinkah Ardi telah menukar mobil mereka dengan yang baru. Raina menghentikan aktifitasnya kala melihat Ardi turun dari dalamnya. Masih dengan penampilan parlente dengan menentang ponsel yang Raina tahu itu adalah ponsel baru. Bukan ponsel yang biasa dipakai Ardi. Satu lagi, arloji pun tampak mengkilap tanda jika barang tersebut juga masih baru. "Mas... Itu mobil siapa?" tanya Raina yang mulai dilanda penasaran. "Mobilku," jawab Ardi singkat. Raina memperhatikan mobil baru yang Ardi bilang tadi. Menghela nafasnya lelah. "Kenapa harus ditukar sih,Mas?" Raina mengekori sang suami masuk ke dalam rumah. Langsung saja Ardi menuju ke dalam kamar. "Memangnya kenapa. Aku suka, kok." "Ya, tapi kan itu mobilnya jadi kecil begitu, Mas. Jadi sempit kalau dinaiki kita sekeluarga." protes Raina masih tak terima dengan perilaku suaminya yang tanpa meminta persetujuan nya telah mengganti mobil yang mereka beli bersama. Bahkan saat mereka menukar mobil lama yang dulu, dengan banyak pertimbangan. Memilih mobil yang berkapasitas besar agar mampu menampung jumlah anggota keluarga yang memang berjumlah besar. Tapi sekarang apa? Ardi sungguh keterlaluan. "Sudah kau jangan banyak protes. Aku pusing." Setelahnya Ardi kembali beranjak keluar kamar. Keluar rumah tanpa pamit. Bahkan lelaki itu berpapasan dengan Dia, putra pertama mereka. Dan Ardi tanpa mengucap sepatah katapun pada anaknya. Sampai - sampai Dia bertanya- tanya pada sang mama. " Papa kenapa, Ma? Marah lagi?" Raina hanya menggeleng. "Tidak tahu. Ayo kita masuk." Mobil Ardi telah menghilang dari pandangan mereka saat Raina membawa Dia masuk ke dalam rumah. "Mobil papa baru lagi, Ma?" Raina hanya menganguk. "Papa enak, kemana - mana bawa mobil. Tidak pernah kepanasan dan kehujanan. Sementara kita, bahkan setiap mama mengantar pesanan kue yang banyak jumlahnya pun hanya menaiki sepeda motor. Selalu kepanasan dan jika hujan harus berteduh agar tidak kehujanan." " Dia... Tidak boleh berkata demikian. Itu namanya tidak bersyukur. Ingat pesan mama. Kita harus bersyukur dengan apapun yang telah Tuhan berikan pada kita, sayang. " Dia berusaha menerima semua nasehat yang mama berikan, meski di dalam hati kecilnya sedikit merasa tidak suka pada sang papa. Dia tahu bagaimana perilaku papanya terutama bersikap pada mamanya. Bahkan hal itu menjadi Dia tak lagi respek pada sang papa. Melihat mamanya yang begitu semangat mencari nafkah untuknya dan juga untuk adik-adiknya, membuat Dia begitu menyayangi mamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN