“Apakah apa yang kulakukan salah? Apakah seharusnya aku enggak menerima ajakan rujuk Mas Sam? Atau ... seharusnya aku justru langsung tinggal bersama Mas Sam?”
Episode 9 : Takut
***
Pengakuan cinta dari Titan yang bahkan disertai gertakan, membuat Sam ketar-ketir. Sam takut, bahkan sangat takut, Titan benar-benar merebut Tari darinya. Terlebih, pemuda itu begitu teliti mengamati situasi. Titan mengetahui semuanya dan bisa saja, apa yang pemuda itu katakan juga menjadi bom waktu untuk Sam. Sam yang masih dalam tahap berjuang mendapatkan Tari kembali. Sam yang bisa langsung dicampakkan Tari meski hanya melakukan kesalahan kecil.
Titan ... sejak kapan pemuda itu menyimpan rasa kepada Tari? Sam sungguh ingin tahu dan mengakhirinya lantaran biar bagaimanapun, seharusnya Titan menganggap Tari sebagai kakak perempuannya tak ubahnya pemuda itu bersikap kepada Sam.
Setelah perpisahannya dengan Titan, Sam buru-buru masuk ke mobilnya. Ia menutup pintu kemudian meraih ponselnya yang terkapar di depan setir. Segera, jemarinya sibuk menyalakan fitur ponsel, menuju menu kontak dan menjadikan kontak bernama Ayu sebagai tujuannya melakukan telepon.
Sam sengaja melakukan semuanya dengan cepat sekaligus buru-buru, karena pria itu takut, satu detik saja dirinya telat bertindak, semuanya benar-benar hancur dan meninggalkannya tanpa jejak. Tari akan pergi bahkan bersama Titan adik Sam sendiri!
Satu, dua, bahkan hingga sambungan panggilan yang dilakukan usai, Sam tak kunjung mendapat balasan. Tari tidak menjawab panggilan telepon darinya. Pun meski Sam juga langsung kembali mencoba dan terus begitu hingga berulang kali. Barulah, di panggilan setelah lebih dari lima menit perjuangannya menghubungi kontak tersebut, dari seberang suara Tari akhirnya terdengar.
“Hallo? Ini, ... siapa, ya?” ucap Tari dari seberang terdengar dipenuhi keraguan.
“Ri,” sergah Sam tanpa bisa mengendalikan emosinya. Emosi yang tercipta akibat ketakutan yang tengah melanda. Perihal pengakuan cinta Titan terhadap Tari, juga Sam yang begitu takut kehilangan Tari. Sam sampai terengah-engah.
“Oh ... Mas, ... Sam?” balas Tari terdengar menebak. “Ini nomor, Mas?”
Ada kelegaan yang turut terdengar dari balasan Tari, dan Sam bisa merasakannya.
Sebelumnya, baik Sam maupun Tari memang tidak pernah berkomunikasi pun meski melalui ponsel. Sam sendiri mendapatkan nomor Tari dari Pak Bambang atasan Tari. Tepatnya, setelah Sam jatuh cinta pada Tari yang Sam kenali sebagai Ayu, SPG cantik yang juga sangat baik hati. SPG cantik yang begitu disukai anak-anak atas sikap kasih yang Ayu miliki dan kerap membuat pengunjung yang membawa anak-anak bahkan bayi, meminta bantuan Tari untuk menjaganya. SPG cantik yang juga langsung sukses menjerat hati Sam. Meski pada kenyataannya, SPG tersebut justru masih wanita yang sama dengan wanita yang Sam usir. Wanita yang sempat Sam nikahi. Seorang istri bernama Tari yang semenjak awal kehadirannya, memang tidak pernah Sam harapkan.
“Iya, kamu lagi ngapain?” balas Sam yang mulai merasa sedikit lebih tenang.
Sam mengatur napas dengan sebelah tangan yang perlahan-lahan mengendurkan lilitan dasi dari kerah kemejanya.
“Siap-siap mandi, Mas. Dan sepertinya, kita juga baru berpisah lima menit?”
“Jawabanmu kok gitu? Memangnya kamu enggak kangen aku?” balas Sam yang kali ini sampai mengeluh atas rasa takutnya kehilangan Tari.
“K-kangen ...?” Kali ini, Tari terdengar kebingungan sekaligus gugup. Di mana tak lama kemudian, Tari juga sampai menghela napas dalam.
“Ri ....?” tagih Sam mulai cemas.
Kali ini, dari seberang terdengar Tari yang berdeham. Dan tak beda dengan sebelumnya, Tari kembali menghela napas dalam. “Semenjak menjadi istri Mas selama tiga bulan lalu, aku sempat menghabiskan waktuku hanya untuk merindukan Mas. Aku menghabiskan waktuku hanya untuk memikirkan semua yang terbaik untuk Mas ... dan, ... jujur saja, saat itu aku sangat mencintai Mas ... namun semua itu hilang begitu saja setelah Mas tiba-tiba menceraikanku ....”
Pengakuan Tari diliputi banyak kesedihan. Wanita itu terdengar sangat terluka dan membuat Sam merasakan hal yang sama. Sam bahkan merasa jauh lebih terluka apalagi pria itu juga merasa sangat bersalah atas apa yang Tari sampaikan.
“Ri ... maaf!” sesal Sam.
“Aku juga sadar diri, kok Mas. Aku bukan wanita sempurna. Aku memiliki luka di wajahku yang bahkan enggak bisa hilang. Jadi, jika memang Mas berubah pikiran, ... lebih baik dari sekarang saja.”
“Ri, ... tolong jangan bahas itu. Kita sudah sepakat memulai semuanya dari awal, kan?” sergah Sam cepat berusaha menghentikan keluh kesah Tari.
Tari tidak berkomentar. Wanita itu hanya berdeham kemudian menghela napas jauh lebih dalam dari srbelumnya. Namun, kali ini Sam mendengar isak tangis yang sengaja ditahan dari seberang, dan mungkin, ... Tari memang sedang menangis.
“Maaf, Ri ....” Hanya kata maaf yang mampu Sam katakan untuk semua kesalahan sekaligus keegoisannya kepada Tari.
“Ya sudah, Mas lagi nyetir, jangan sambil telepon. Bahaya ....”
“Aku masih di depan, kok ...,” sergah Sam cepat, takut Tari telanjur mengakhiri sambungan telepon mereka.
“Di depan bagaimana?” balas Tari dengan suara yang masih sengau.
“Gang sebelah kontrakanmu.”
“Kok gitu? Mas belum pulang?” Suara Tari terdengar terheran-heran.
“Bentar lagi ....” Sam menunduk murung di antara rasa pasrah yang menyelimuti.
“Kenapa?” Kali ini, suara Tari menjadi diliputi rasa cemas berikut kepedulian.
“Enggak apa-apa … hanya tiba-tiba aku kepikiran banyak hal. Termasuk Titan.” Sam sengaja mencari tahu sejauh mana hubungan Tari dengan Titan? Apakah wanita yang baru saja ia peristri itu juga mengetahui, Titan mencintai Tari?
“Kalau Titan, beberapa hari yang lalu, aku sempat ketemu sama dia, Mas ....”
Tari menceritakan perihal pertemuannya dan Titan di bus.
“Oh, iya? Terus, bagaimana?” sambut Sam bersemangat, meski jauh di lubuk hatinya, ia mulai terbakar api cemburu.
“Ya enggak bagaimana-bagaimana. Biasa-biasa saja. Lagi pula, ... kenapa Mas jadi tanya-tanya sama aku? Kan Mas yang kakaknya, masa iya, Mas enggak tahu? Telepon apa ajak ketemu adiknya ....”
Sam merasa tertampar dengan pernyataan Tari. Memang terkesan lucu lantaran ia yang kakak Titan justru mencari tahu tentang Titan kepada orang lain bahkan meski itu Tari. Dan Sam merasa semakin lucu lantaran dirinya justru cemburu pada adiknya sendiri. Namun, jika sang adik benar-benar mencintai Tari, apakah rasa cemburu yang ia rasakan masih tergolong lucu? Terlepas dari itu, hubungannya dengan Titan memang terbilang kurang baik. Tak sekadar karena mereka jarang bertemu, melainkan karena saat bersama pun, mereka sangat jarang berkomunikasi, bahkan sekadar untuk saling sapa. Sam mengakui, hubungannya dan Titan bukanlah hubungan persaudaraan yang hangat. Hubungannya dan Titan terbilang jauh dari kata baik.
Senyap untuk beberapa saat lantaran baik Tari maupun Sam sama-sama diam. Dan mungkin, dua menit kemudian, Sam kembali melanjutkan.
“Ri, pulang sekarang, ya? Aku mohon ... aku benar-benar memohon ....”
***
“Ri, pulang sekarang, ya? Aku mohon ... aku benar-benar memohon ....”
Permintaan Sam kali ini sukses membuat kegundahan di hati Tari semakin menjadi-jadi. Sam, dengan perubahannya yang begitu drastis, terlepas dari awal mula hubungan mereka yang memang karena perjodohan. Namun, jika Sam asal menceraikan Tari kemudian memaksa untuk kembali, Tari merasa jika kecurigaannya masuk akal.
Tari dengan kekurangannya yang telanjur merasa tidak pantas mencintai sekaligus dicintai, hanya bisa semakin menjaga diri dari siapa pun, tanpa terkecuali Sam yang telah kembali menjadikannya istri.
“Mas ... Mas belum lama janji sama aku, lho ... kita ada lagi, juga karena kesepakatan, kan?” Tari berusaha mengingatkan Sam perihal hubungan mereka.
“Tapi, Ri ....” Dari seberang, Sam masih memohon bahkan terdengar cenderung merengek.
“Kalau Mas enggak mau, Mas melupakan janji Mas, ... ya enggak apa-apa. ... sekarang juga aku bakalan balikin cincin Mas.” Tari terpaksa bertindak tegas.
“Ri ... kalau ngomong jangan sembarangan, kenapa?” kecam Sam terdengar kesal.
“Ya sudah, Mas ... sekarang Mas pulang. Mandi ... istirahat.” Tari masih mencoba memberikan pengertian.
“Tapi aku beneran kangen kamu. Aku masih normal, Ri ....”
Permohonan Sam membuat hati Tari mendadak terasa begitu perih. “Sabar, Mas. Dijalani saja dulu. Tiga hari lagi surat nikah kita jadi, kan?”
“Tiga hari menunggu, itu lama banget, Ri ....” Sam kembali merengek.
“Lebih lama lagi tiga bulan, kan, Mas? Selama tiga bulan lalu, ... aku juga nunggu Mas. Aku nunggu kabar Mas meski sekadar sapaan. Tapi, sapaan pertama yang Mas lakukan justru ....” Tari tak kuasa melanjutkan kata-katanya. “Justru karena Mas ingin menceraikanku ...,” batinnya sambil tersenyum getir seiring air matanya yang menjadi tak hentinya mengalir.
“Ya sudah, Ri ... jangan dibahas lagi ... nanti aku telepon lagi, ya?” balas Sam dengan suara yang kembali memohon.
Tari berdeham. “Iya, Mas. Sekarang Mas pulang. Mandi, makan, terus istirahat. Mas juga hati-hati di jalan, ya ....”
“Heum ... oh, iya ... kalau kamu ketemu Titan, atau Titan menghubungi kamu, tolong kabari aku, ya,” pinta Sam lagi.
“Oh, ... baiklah. Nanti aku pasti kabari Mas.”
“Ya sudah, ... nanti aku telepon lagi.”
“Iya. Hati-hati, Mas.”
Sam telah mengakhiri sambungan telepon mereka. Dan bersamaan dengan itu, Tari yang masih bertanya-tanya perihal perubahan pria itu, juga kembali teringat kejadian satu minggu lalu ketika Sam menceraikannya.
“Mulai sekarang kamu bebas.”
“Aku yakin kamu tahu, bertahan dalam hubungan tanpa cinta, hanya membuat kita terluka. Toh, selama kita menikah, aku enggak pernah menyentuh kamu. Jadi, ... kamu sama sekali enggak rugi!”
“Dan tolong, tinggalkan rumah ini secepatnya. Kita cerai!”
“Aku mencintai wanita lain!”
Teringat semua itu, Tari menyeka sekitar matanya yang semakin basah. Air matanya sungguh tak bisa ia hentikan. Terlebih biar bagaimanapun, trauma itu masih ada, dan Tari masih merasakannya dengan sangat nyata. Semua ketakutan Tari mengenai Sam yang akan kembali berubah dan kemudian mencampakkannya, semua itu seolah ada di pelupuk matanya. Hanya saja, Tari juga mendambakan kehidupan rumah tangga yang bahagia dengan Sam. Tari ingin memberi pria itu kesempatan kendati ia juga tak kuasa menyingkirkan rasa trauma yang membuatnya ketakutan.
“Apakah apa yang kulakukan salah? Apakah seharusnya aku enggak menerima ajakan rujuk Mas Sam? Atau ... seharusnya aku justru langsung tinggal bersama Mas Sam?” pikir Tari yang menjadi terjebak dalam kerisauan. Tari sungguh gamang dan tak kuasa mengakhirinya.
Tari terisak-isak dengan semua ketidakmengertian yang sampai membuat dadanya terasa sangat sesak. Bahkan, hati Tari juga mulai terasa sangat sakit. Tari terduduk pasrah di bibir tempat tidurnya dengan tubuh gemetaran tak ubahnya menggigil karena kedinginan akibat tangis yang diliputi banyak kesedihan. Namun apa yang terjadi, membuat Tari menyadari, jika mencintai juga harus siap terluka. Tari harus siap semakin terluka atas cintanya kepada San. Terlepas dari semuanya, Tari juga sadar kenapa ia begitu merasa takut sekaligus terluka? Kenapa Tari sampai merasa trauma dan tak kunjung bisa mengakhirinya? Semua itu terjadi karena dirinya terlalu berharap kepada Sam. Karena Tari begitu mencintai Sam.
Tak beda dengan Tari, Sam yang mulai mengemudi juga menyadari, alasannya merasa sangat takut dan tak bisa jauh-jauh dari Tari, karena ia sangat mencintai wanita itu. Karena dirinya begitu mengharapkan wanita itu! “Ya Tuhan, menunggu tiga hari, haruskah sesulit ini? Tiga hari, cepatlah berlalu. Cepatlah surat-surat pernikahan itu selesai!” racau Sam sambil terus mengemudi. Sam tak hentinya menghela napas sambil sesekali menggigit keras bibir bawahnya di tengah kenyataannya yang memang tidak bisa tenang. Sam sungguh merasa takut dan tak kunjung bisa mengakhirinya.