Episode 10 : Kebenaran

2636 Kata
“Apakah kamu tahu, bahwa dari dulu, aku sudah mencintaimu?” Episode 10 : Kebenaran *** Pagi ini, Tari tak ubahnya maling yang tertangkap basah. Ia melakukan semuanya dengan sangat buru-buru lantaran bangun kesiangan. Ya, semua itu tak lain karena hampir semalam penuh, Sam tak hentinya menelepon dan melarangnya mengakhiri sambungan panggilan mereka. Entah apa yang terjadi pada pria itu? Yang jelas, karena ulah Sam pula, pagi ini Tari sampai tidak mandi. Tari hanya sempat mencuci wajah dan menggosok gigi, sebelum mengenakan rias demi tuntutan pekerjaannya. Bahkan Tari mengenakan sweter sambil berlari setelah keluar dari kontrakannya. Wanita bertubuh semampai itu terus berlari menuju halte sambil mengempit tas di pundak kanannya, kuat-kuat. "Astaga! Aku lupa telepon Mas Sam. Jangan-jangan mas Sam juga kesiangan? Duh ... bagaimana ini?" keluh Tari ketika wanita itu nyaris sampai di halte tujuannya. Halte yang masih sama dengan halte kebersamaannya dengan Titan.  Tari segera merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ia bermaksud menelepon Sam di tengah waktu yang ternyata sudah nyaris pukul setengah tujuh pagi. Di sambungan ke empat, telepon yang Tari lakukan pada Sam, baru mendapatkan balasan. Dari seberang, Sam bergumam dengan suara yang terdengar begitu berat, khas orang baru bangun tidur. “Mas, belum bangun?” sergah Tari antara tidak percaya sekaligus syok.  “He'um. Ya ampun. Jam berapa, ini?” balas Sam masih terdengar kurang jelas. “Sekarang jam sudah siang, Mas. Sudah setengah tujuh pagi! Ya sudah, sekarang Mas bangun, terus siap-siap, ya. Hari ini kerja, kan?” Tari berusaha memberi Sam pengertian sehalus mungkin terlebih ia sadar, pria itu belum sepenuhnya memiliki kesadaran. Tari yakin, Sam masih terkantuk-kantuk melebihi dirinya. “He'um ....” Hingga detik ini, Sam masih terdengar melantur. “Ya sudah bangun ... eh, Mas ... sudah dulu, ya ... bus-ku sudah datang.” Tari nyaris mengakhiri sambungan telepon mereka, tetapi dari seberang, Sam tiba-tiba berkata, "nanti sore, aku jemput, ya! Maaf karena pagi ini enggak bisa antar kamu.” “J-jemput bagaimana, Mas?” balas Tari bingung. Maksud Sam, jemput ke pekerjaan, atau pulang ke rumah Sam? “Ke sini,” balas Sam dari seberang terdengar begitu santai. Dari suaranya, Sam terkesan sudah jauh lebih sadar dari sebelumnya. Tari belum sempat memberi tanggapan, lantaran ponselnya mendadak hening. Dan ketika Tari memastikannya, ternyata ponselnya kehabisan daya batre. Jadi, Tari yang tidak mau ambil pusing segera mengikuti antrean di hadapannya untuk masuk bus. Meski ketika wanita itu akan naik dan cukup kesulitan melangkah mengingat sepatu berhak tinggi yang dikenakan, sebuah tangan yang mengenakan lengan jaket bahan, mendadak terulur di hadapan Tari.  Tari yakin tangan tersebut bermaksud membantunya. Karenanya, Tari yang sudah berpegangan asal pada sekitar, segera memastikan. Titan, dengan ekspresi wajah jutek yang tidak pernah absen, pria itu menunggunya untuk segera membalas. Jadi, tanpa pikir panjang, Tari segera memberikan sebelah tangannya untuk digandeng bahkan ditarik kuat oleh pemuda itu. Tubuh bahkan sebagian wajah Tari sampai menyentuh d**a Titan karena keadaan tersebut yang sampai membuat Titan mendekap tubuh Tari dengan sebelah tangan yang lain. Akan tetapi, Tari juga buru-buru melepaskan diri dari Titan demi menjaga dirinya untuk Sam bahkan meski itu dari Titan. Tari segera duduk di tempat duduk yang kosong, dan diikuti pula oleh Titan yang duduk persis di sebelah Tari, mengingat hampir semua kursi penumpang di sekitar mereka sudah dihuni. "Makasih," sergah Tari yang kemudian mengeluarkan sapu tangan Titan dari dalam tasnya, yang tempo hari sempat pemuda itu pinjamkan kepadanya. Titan hanya melirik tanpa mengubah keadaannya yang masih bersedekap bahkan terkesan jual mahal. "Simpan saja untukmu. Siapa tahu suatu saat nanti kamu rindu aku!” Tari menggeleng tak habis pikir sambil memasang ekspresi tidak nyaman. "Enggak jelas banget kamu, Tan!” “Yang enggak jelas itu, kalau sudah nikah tapi pisah rumah, kan?” balas Titan masih cuek bahkan menyikapi Tari dengan dingin. Tari yang baru memasukkan sapu tangan Titan ke dalam tasnya, menjadi tak berkutik. "Kok Titan tahu? Apa ... mas Sam, sudah cerita?" pikirnya menduga-duga. "Kalau memang enggak nyaman, tinggalkan. Dan kalau mas Sam enggak bisa bikin kamu bahagia, lupakan saja dia!" lanjut Titan. Meski semakin bingung dan bertanya-tanya, tapu Tari sengaja tidak berkomentar. Karena sampai kapan pun, meski Tari sempat sangat marah bahkan kecewa kepada Sam, tetapi wanita itu tidak akan membagi keburukan orang lain apalagi keburukan pasangannya, kepada orang lain. Karena bagi Tari, ketika ia sudah mengambil keputusan untuk menjalani, apa pun yang ia dapatkan setelahnya, ya itu juga yang harus Tari jaga sekaligus rahasiakan.  Tari benar-benar hanya akan diam dan terus merahasiakan semua keburukan yang ia terima. Karena Tari benar-benar menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Tari sudah pasrah dan hidup seperti itu, semenjak wanita itu mendapatkan luka yang menimbulkan bekas luar biasa di wajah sebelah kanannya. Titan sadar, sampai kapan pun, Tari pasti hanya akan diam jika wanita itu disudutkan perihal kejujuran penilaian terhadap seseorang apalagi mengenai Sam. Bahkan bisa jadi, bukannya menjawab, Tari justru lebih memilih pergi. "Mas Sam pasti enggak memperlakukan kamu dengan baik?" tebaknya tanpa melakukan perubahan berarti. "Kalau memang dia memperlakukanmu dengan baik, kenapa kalian harus pisah rumah bahkan menikah lagi ...?" Lanjutnya sengaja mencari tahu lebih jauh perihal apa yang sebenarnya terjadi pada Tari dan Sam. Namun demi Tuhan, pernyataan atau pun pertanyaan Titan kali ini, sukses membuat hati Tari menjadi sangat sakit. "Apakah aku sebodoh itu? Apakah aku terlihat begitu gampangan bahkan murahan, hanya karena aku mau kembali ke mas Sam?" balas Tari sembari menunduk demi menyembunyikan air matanya yang telanjur berlinang, menuangkan rasa sakit yang tiba-tiba menderanya.  Sambil menyeka air matanya tanpa melakukan perubahan berarti, Tari yang masih menunduk pun berkata, "aku hanya berusaha menghormati keputusan almarhumah ibumu. Kalau aku enggak memikirkannya, tentu aku enggak mungkin mau kasih kesempatan ke mas Sam." Terlepas dari Tari yang memang telanjur mencintai Sam. Dengan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadanya, Tari berdeham, mencoba meredam semua rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya tiada henti, seolah-olah, ia merupakan pendosa besar yang harus selalu merasakan hukuman. "Aku sadar diri kok, Tan ... aku sadar diri." Tari juga mengelap ingusnya yang sampai lumer kendati ia sedang tidak flue. Yang jelas, alasan Tari menerima Sam, bukan semata karena ia pernah mencintai Sam ketika ia menjadi istri pria itu, melainkan karena perjodohan yang sudah diminta oleh almarhumah ibu Sam. Selebihnya, seperti apa yang Tari katakan, ... wanita itu sadar diri dengan keadaan rupa berikut latar belakang Tari yang bukan siapa-siapa. Karena kalaupun Tari juga lulusan sarjana, tetapi berpenampilan menarik selalu menjadi persyaratan pokok di setiap pekerjaan yang Tari incar. Penampilan selalu menjadi penilaian pertama terhadap seseorang. Begitulah yang Tari rasakan selama ini. Kalaupun akan ada yang mengatakan menilai seseorang tak sekadar dari rupa, tapi tidak bisa dipungkiri rupa-lah yang menjadi awal mula penilaian itu sendiri. "Aku enggak peduli dengan semua itu!" ucap Titan yang sedari awal Tari menjelaskan, memilih diam sambil menatap kosong ujung sepatu bagian depannya. Meski Titan memang satu-satunya orang yang tidak berubah semenjak luka di wajahnya yang menimbulkan bekas, tetapi Titan juga tidak begitu berbeda dari Sam. Keduanya sama-sama keras kepala dan akan selalu memegang teguh keputusan, termasuk ketika mereka sedang berbicara dengan Tari. Keduanya kerap bahkan selalu berbicara dengan nada ketus layaknya apa yang tengah Titan lakukan ini. Bedanya, semenjak sibuk meyakinkan cinta kepada Tari, Sam menjadi sangat perhatian, termasuk dalam tutur katanya yang menjadi lembut sarat perhatian. "Apakah kamu tahu, bahwa dari dulu, aku sudah mencintaimu?" ucap Titan tiba-tiba sembari menatap serius Tari yang detik itu juga langsung menengadah dan bahkan terkesan refleks menatapnya. Tari sungguh tidak percaya bahkan syok dengan apa yang baru saja Titan katakan. Apakah pemuda itu sedang mempermainkannya? Lantas, atas dasar apa Titan tiba-tiba berkata seperti tadi? Bukankah apa yang tadi Titan katakan, tak ubahnya pernyataan cinta? "Ini kebenaran, Ri. Aku benar-benar mencintaimu!" tegas Titan lagi masih berusaha meyakinkan Tari. Kali ini, raut terlebih tatapan Titan, jauh lebih serius dari sebelumnya. Akan tetapi, Tari justru merasa semakin buruk lantaran baginya, tidak seharusnya Titan yang sudah menjadi adik iparnya justru mengutarakan cinta kepadanya. Itu juga yang membuat Tari merasa sangat kecewa kepada pemuda itu. Tari segera memalingkan wajah bahkan sengaja geser demi menjaga jarak dari Titan. Tari sengaja menjauhi Titan yang tentunya merupakan adik iparnya. "Aku benar-benar mencintaimu. Jadi, .... tolong segera hubungi aku jika sesuatu yang enggak kamu harapkan, sampai terjadi!" tambah Titan masih menatap Tari dengan serius. “Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu!” "Aku tahu kamu marah bahkan merasa direndahkan. Tapi sungguh, aku sungguh mencintaimu! Bahkan aku sudah mengatakannya kepada mas Sam!” Pengakuan lanjutan Titan sukses membuat Tari merinding bahkan refleks menatap tak habis pikir pemuda itu. "Apakah gara-gara ini juga, mas Sam jadi berubah?" batinnya yang buru-buru meninggalkan Titan. Dan Tari baru tahu, Titan yang selama ini menjadi sahabat baiknya, memiliki keegoan yang bahkan jauh lebih besar dari ego seorang Sam. Yang membuat Tari merasa beruntung, tak lain karena di waktu yang sama, bus yang mereka tumpangi berhenti di halte tujuan Tari.  Tak ada kata-kata perpisahan atau sekadar tatapan yang biasanya Tari berikan kepada Titan. Wanita itu berjalan dengan sangat cepat sambil terus menunduk menuju swalayan yang Titan yakini menjadi tempat kerja Tari. Kendati demikian, Titan tidak merasa bersalah apalagi menyesal. Yang ada, Titan menegaskan dalam hatinya, dirinya sungguh mencintai Tari. Pemuda itu ingin memberikan yang terbaik kepada Tari dengan cara sekaligus jeri payahnya sendiri. Jadi, apa pun yang terjadi setelah pengakuannya, Titan akan menerima tanpa mengurangi rasa cintanya terhadap Tari! Dan Titan, sungguh bisa mempertanggung jawabkan keyakinannya. ***  Jantung Tari tak hentinya berdebar-debar sangat kencang, hanya karena pengakuan cinta dari Titan yang tak hentinya terngiang-ngiang di ingatannya. Bahkan sepanjang hari ini, hingga Tari akhirnya pulang kerja, cara pemuda itu mengungkapkan cinta kepadanya pagi tadi, tak juga sirna dari ingatannya.  Wajah Titan yang dipenuhi keseriusan terus saja memenuhi pandangan berikut benak Tari. Pun dengan suara pria itu yang tak hentinya menggema di kedua telinga Tari. Bahkan karena itu juga, Tari yang sampai memejamkan matanya berulang kali sembari memukul-mukul kepalanya--demi meredam semua itu, sampai menjadi merasa sangat bersalah kepada Sam.  Tari merasa telah mengkhianati cinta Sam, karena ia telah membiarkan pria lain bahkan Titan yang notabene adik Sam, mengutarakan cinta kepadanya. "Maaf, Mas ... maaf! Aku enggak bermaksud mengkhianati cinta Mas. Aku juga enggak bermaksud mengkhianati apalagi m*****i hubungan kita!" batin Tari sembari terus berjalan keluar dari swalayan. Tadi, sebelum keluar dari swalayan, Tari sudah membalas pesan WA Sam yang mengabari akan menjemput Tari. Pria yang sudah kembali menjadikannya istri itu, sedang di perjalanan pulang dan akan langsung menjemput Tari ke swalayan. Dan dikarenakan Sam sudah sampai memberikan bukti pendaftaran pernikahan mereka yang sudah disahkan secara hukum, mereka tinggal menunggu buku pernikahan mereka jadi, sore ini juga, Tari juga akan pulang ke rumah Sam. Tari baru saja menginjakkan kakinya di pelataran swalayan, ketika mobil Sam berhenti di tepi jalan depan swalayan. Tidak ada tempat parkir yang tersedia di pelataran swalayan, mengingat di akhir pekan layaknya sekarang, swalayan tempat Tari bekerja akan semakin dipadati pengunjung. Dan mungkin itu juga yang membuat Sam memarkir mobil di sana. Entah kenapa, tiba-tiba saja hati Tari menjadi diselimuti banyak kebahagiaan hanya karena kenyataan sekarang. Kenyataan hubungannya dan Sam. Senyum lepas pun mendadak membuat kedua sudut bibir tipis wanita itu tertarik sempurna hingga gigi-gigi putihnya terlihat nyaris sempurna. Tari merasa menjadi wanita sempurna. Karena dengan bukti surat-surat pernikahannya dengan Sam yang sudah resmi di mata hukum, dengan kata lain, pria itu tulus kepadanya. Dan Tari yang sampai menjadi bersemangat, segera bergegas. Wanita itu melangkah tergesa melawati jejeran mobil yang terparkir memenuhi halaman swalayan, berikut beberapa orang yang turut berada di sana.  "Sam ... kamu di sini juga?" "Oh, … Andri? Wah apa kabar?" Ketika Tari nyaris sampai, jaraknya dari Sam hanya tinggal sekitar tiga meter, pun kendati lalu-lalang pengunjung swalayan menjadi penghalang tersendiri antara dirinya dengan Sam, Tari mendapati Sam sedang mengobrol dengan seorang pria. Pria yang kiranya seumuran Sam itu ditemani seorang wanita muda seusia Tari, dan wanita tersebut sedang hamil jika dilihat dari perutnya yang sangat besar. Dan setelah sampai bertegur sapa, Sam berikut si pria yang tampak begitu akrab, juga sampai berpelukan. Sebenarnya, Tari ingin mendekat. Namun,Tari takut salah atau justru melakukan kesalahan yang tidak Sam inginkan. Jadi, kendati tetap melangkah mendekat, Tari memilih bersembunyi di balik mobil Sam. Tari sengaja menunggu di sana sambil terus menyimak. "Kamu tambah sukses, ya, Sam?" Puji pria bernama Andri tersebut. "Kamu bisa saja, Dri!" Suara Sam terdengar kaku sarat rasa tidak nyaman. "Bisa saja bagaimana? Anak-anak juga bilang kamu tambah sukses. Paling sukses malahan!" Balas Andri lagi masih antusias dan terdengar sudah sangat akrab dengan Sam. Perbincangan lanjutan keduanya, membuat Tari tersenyum lega. Tari merasa bersyukur jika kenyataan tersebut yang menimpa suaminya. Pun meski ia hanya menjadi pengamat sekaligus penyimak yang baik, dari balik mobil suaminya sendiri tanpa ikut dalam kebersamaan tersebut. "Oh, iya ... ini kenalin. Ini istriku!" Dan lanjutan Andri, membuat Tari ingin merasakan hal serupa. Tari ingin, Sam mengenalkannya pada teman-teman Sam, layaknya apa yang dilakukan oleh teman Sam. Sam mengenalkan Tari dengan penuh rasa bangga, layaknya apa yang Andri lakukan terhadap istrinya. "Wah, selamat, ya! Anak yang ke berapa ini?" sambut Sam terbilang antusias. Tari melihat Sam yang menjadi antusias bahkan iri pada kedua sejoli di hadapan pria itu yang terlihat saling mencintai, dari cara keduanya saling menatap sekaligus merangkul. Pasangan di hadapan Sam memang terbilang sangat romantis karena bertatapan di depan orang lain saja, keduanya melakukannya dengan intens sekaligus mesra. "Terus kamu kapan? Masa iya enggak mau nikah juga?" todong Andri yang sampai meninju sebelah bahu Sam. Sam hanya menggeleng geli di antara senyum santai yang menyelimuti wajah tampannya. Tari melihat itu. Kenyataan yang cukup membuat Tari mengalami senam jantung. Tari menunggu pengakuan Sam. Mengenai kebenaran pria itu yang sudah menikah dan itu menikahi Tari! "Kenapa mas Sam enggak cerita soal aku? Pernikahan kami ...?" batin Tari yang mulai gemetaran. Ia tak hentinya melongok dan mengamati Sam. Tak ada perubahan. Benar-benar tidak ada. Sam seolah terkesan sengaja menyembunyikan hubungan mereka. Sam terlihat jelas tidak mau mengakui hubungannya dengan Tari. Dan karena itu juga, hati Tari menjadi terasa sangat sakit.  Apa maksud Sam tak jua mengakui statusnya berikut pernikahannya dengan Tari? Tari kecewa dengan cara Sam. Karena jika memang Sam belum siap mengakui Tari pada teman-teman pria itu, setidaknya Tari ingin Sam mengakui status Sam yang sudah menikah! "Tunggu sampai pertemuan berakhir!" batin Tari sambil menyeka setiap air mata yang berlinang dari kedua matanya. Tari benar-benar masih berusaha bersabar sekaligus memberikan Sam kesempatan seperti sebelumnya. Karena Tari percaya, Sam pasti memiliki alasan seperti apa yang sebelumnya terjadi kepada mereka. "Kalau begitu, hubunganmu sama Bu Lira, benar dong?!" tebak Andri tiba-tiba dengan jauh lebih semangat dari sebelumnya. Kali ini, jantung Tari seperti diremas berulangnkali. Tari sungguh merasa semakin sakit, kendati ia belum mengetahui perihal sosok yang dimaksud; Bu Lira--oleh teman Sam. "Apaan, sih? Gosip saja!" tepis Sam masih dengan santainya. Di mata Tari, Sam terlihat sangat bahagia tanpa berinisiatif mengungkap keberadaan Tari berikut pernikahan mereka dalam hidupnya. Mengenai Sam yang sudah menikah dan tak seharusnya dikaitkan dengan wanita lain. Sam, kenapa tak kunjung mengungkap kebenaran? Atau malah, apa yang terjadilah, kebenaran yang sesungguhnya? Sam tetap tidak menganggap Tari setelah semua yang telah terjadi? Setelah pria itu memohon dan bahkan meyakinkan sekaligus membuat Tari percaya hingga Tari juga mengharapkan lebih? "Tari, ... bukankah ini kebenaran yang ingin kamu ketahui? Lihat dan dengar! Begitulah kamu untuk Sam. Sam sama sekali tidak menganggapmu. Seperti awal hubungan kalian. Sam, tetap tidak menganggap apalagi mengharapkanmu!” batin Tari mencoba meyakinkan sekaligus menyadarkan dirinya sendiri.  Kesal, kecewa, bahkan muak, itulah yang Tari rasakan. Semua rasa itu berbaur menjadi satu dan membuat Tari nyaris meledak. Di mana, Tari yang menjadi tak hentinya berlinang air mata, memilih pergi tanpa memikirkan apa pun termasuk memberi tahu Sam perihal keberadaannya. Juga, perihal ia yang telah mengetahui semuanya. "Lupakan Sam, Ri. Lupakan Sam! Enggak ada gunanya memberikan kesempatan apalagi berharap kepada pria seperti dia! Dan kamu akan jauh lebih bahagia jika kamu lepas sekaligys melupakannya!" Hati kecil Tari tak hentinya menasehati. Menguatkan sekaligus meyakinkan Tari untuk menutup kisahnya dari pria bernama Sam. Dan Tari, harus melupakan semua yang berhubungan dengan pria itu agar ia bisa merasakan bahagia yang tentunya masih sangat layak ia rasa sekaligus dapatkan! Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN