“Maaf, Ri. Aku benar-benar minta maaf. Aku salah, dan aku menyesal. Aku tulus, meski aku yakin, ini enggak mudah buat kamu bahkan semua orang yang tahu keadaanku sekaligus kasus kita. Maaf!”
Episode 6 : Sam yang Masih Berusaha
***
Sam terus dan tetap mengejar Tari, meski wanita itu telah menaiki bus. Sam mengikuti bus yang membawa Tari menggunakan mobilnya. Dan keadaan tersebut, terus berlangsung, kendati Tari sudah turun dari bus yang ditumpangi. Sam mengemudikan mobilnya dengan pelan sambil terus memandangi Tari dari jendela kaca sebelah kemudi.
“Ayo, masuk. Aku antar. Iya, aku salah. Aku minta maaf. Kalau begini caranya, aku nyesel karena aku sudah jujur, sedangkan kamu enggak mau maafin atau sekadar kasih aku kesempatan.”
“Aku nyesel, Ri. Dan aku sadar, aku hanya cinta sama kamu. Bahkan meski masih ada yang lebih, aku maunya cuma sama kamu.”
“Ri … ayo, kamu minta syarat apa? Aku pasti akan berusaha memenuhinya.”
Tari berpikir, apakah sebuah kesalahan, jika wanita yang memiliki bekas luka fatal seperti dirinya dan katakanlah cacat, marah atas perlakuan Sam? Bukankah Sam sudah jujur? Dan bukankah pria itu sudah mengakui bahkan mengatakan semuanya? Namun, kenapa Tari tetap merasa kecewa kendati rasa ingin kembali kepada Sam, juga tetap ada?
Tari sungguh tidak tahu perihal apa yang harus ia lakukan khususnya apa yang harus ia lakukan kepada Sam? Tari bingung sebingung-bingungnya. Kepalanya terlanjur terasa panas, tak ubahnya air yang sedang mendidih-mendidihnya, terlepas dari pikirannya yang telanjur buntu dan tak kuasa berpikir lagi.
“Kita menikah lagi? Aku akan menghubungi keluargamu. Aku akan menghubungi paman dan bibimu?” Meski Sam terus berseru, tapi Tari tetap berlalu memasuki gang yang tidak begitu lebar, mungkin sekitar satu meter lebar gang tersebut. Sam sengaja menepikan mobilnya lantaran pria itu masih berusaha mengikuti Tari.
Sam kocar-kacir dan segera turun dari mobilnya dengan tergesa demi tetap bisa menyusul Tari. Ia dapati, Tari yang memasuki sebuah kontrakan di paling ujung sebelah kanan di hadapannya. Tentunya Sam sengaja mempercepat langkahnya agar bisa segera menyusul Tari. Bahkan, Sam sampai berlari tanpa kembali berseru karena takut, ulahnya mengganggu tetangga kontrakan Tari. Sam menghubungi Tari melalui ponselnya, kendati sesekali ia telah mengetuk pintu kontrakan yang ia dapati dimasuki Tari.
Meski tak kunjung mendapat jawaban baik telepon yang ia lakukan maupun ketukan pintunya, tapi tak berselang lama setelah itu, kunci pintu terdengar dibuka dari dalam disusul Tari yang keluar. Tari keluar disertai dering ponsel yang terdengar dari tas yang menghiasi pundak kanan wanita itu.
“Apa sih, Mas? Mas jahat banget sama sekali enggak mau kasih aku waktu!” semprot Tari meradang dengan wajah kesal.
“Iya, aku jahat. Aku egois. Tapi aku begini karena aku enggak mau kehilangan kamu! Aku enggak bisa jauh-jauh dari kamu!” balas Sam tegaa tanpa sedikit pun keraguan. Tatapannya yang lurus pada kedua manik mata Tari yang bergetar, dipenuhi keseriusan. Seperti ucapannya, Sam rela melakukan segalanya, bahkan ia rela dicap jahat sekaligus egois, asal ia tidak kehilangan Tari. Karena Sam tidak bisa jauh-jauh dari wanita di hadapannya. Sekarang saja, lantaran tak kunjung mendapatkan kepastian, Sam nyaris gila. Sam kehilangan akal bahkan tak segan melakukan segalanya.
“Demi Tuhan, Ri … sebelumnya, aku belum pernah seperti ini. Kamu tahu sendiri, dari dulu aku merantau ke Jakarta dan sibuk bekerja demi keluargaku.” Sam masih memohon sekaligus meyakinkan Tari.
Sebelumnya, Tari juga belum pernah terjebak dalam keadaan seperti sekarang, kendati sebelum mengalami kecelakaan yang meninggalkan bekas luka fatal di wajah sebelah kanannya, banyak laki-laki yang mendekatinya. Boleh dibilang, Sam menjadi laki-laki pertama yang ia izinkan hadir sekaligus menghiasi waktunya. Dan Tari tidak paham bagaimana caranya menghadapi laki-laki, apalagi jika keadaannya sudah seperti sekarang.
“Kalau kamu jadi aku, kamu pasti juga akan melakukan hal yang sama. Setelah selama ini aku sudah bekerja sangat keras, mengenai istri pun harus ditentukan. Aku masih normal dan aku tertekan!” tambah Sam yang berkeluh kesah.
“Jangan samakan aku dengan Mas. Jelas-jelas kita berbeda!” tepis Tari masih jengkel.
“Ya sudah, katakan padaku, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan aku, dan kita kembali menikah?” balas Sam tidak sabar.
“Cara pikir Mas ke aku benar-benar enggak ada bagusnya. Mas pikir aku orang yang jahat hobi kasih syarat?” Tari masih menggerutu kesal.
Sam menunduk pasrah dan kemudian menghela napas dalam. “Aku begini, karena aku kepepet, Ri. Kan aku sudah bilang, aku takut dan enggak mau kehilangan kamu. Aku enggak bisa jauh-jauh dari kamu!” Ia masih kembali meyakinkan.
“Mas jangan lupa, tanpa make-up, aku enggak cantik. Tanpa make-up aku buruk rupa, Mas!” tegas Tari mengingatkan Sam.
“Iya, aku tahu! Aku tahu, aku tahu, dan aku enggak apa-apa. Justru, aku lebih nyaman kalau kamu enggak pakai make-up, biar enggak banyak yang suka sama kamu!” balas Sam masih berbicara dengan nada tegas.
“Kan, Mas jahat banget. Terlalu ngatur-ngatur! Gimana ke depannya, kalau belum apa-apa saja, Mas sudah begini?” keluh Tari yang kembali menangis sambil mengentak-entakkan kedua kakinya silih berganti saking kesalnya kepada Sam. Tari terus melakukannya di tengah kedua tangannya yang masih menahan pintu. Satu menahan kusen, satunya lagi menahan bibir pintu.
Sam bingung dan tak tahu perihal apa yang harus ia lakukan? Pria itu memilih untuk merengkuh tubuh Tari dan mendekapnya dengan erat.
“Maaf, Ri. Aku benar-benar minta maaf. Aku salah, dan aku menyesal. Aku tulus, meski aku yakin, ini enggak mudah buat kamu bahkan semua orang yang tahu keadaanku sekaligus kasus kita. Maaf!” lirih Sam sambil sesekali mengelus punggung kepala Tari.
Tari yang masih terisak-isak, tak kuasa berucap. Tak hanya karena ia yang belum menemukan titik terang terlepas dari dirinya yang masih bingung, sebab kesedihan berikut perasaan campur aduk yang mendadak melandanya, juga memperburuk keadaan. Lidah Tari sampai kelu dan sangat sulit membuatnya berucap. Namun, apa yang Sam lakukan, berada dalam dekapan hangat tubuh Sam membuat Tari merasakan banyak ketenangan. Tari merasa sangat tenang, bahkan berharap, Sam tidak pernah melepaskannya lagi. Tari ingin Sam memeluknya lebih lama lagi, agar ketenangan yang tengah menyelimutinya, juga berlangsung lebih lama.
“Aku yang masuk, apa kamu yang ikut aku?” lirih Sam sambil terus mendekap tubuh Tari. Sesekali, ia akan mengendus atau malah mencium kepala berikut kening Tari yang masih terisak-isak lirih.
Tari tak lantas menjawab, sebab wanita itu memang tak mau Sam mengakhiri pelukannya. Pun dengan Sam yang juga tak peduli dengan apa yang terjadi. Ia tetap mendekap Tari yang semakin lama menjadi semakin tenang. Wanita itu tak lagi terisak-isak apalagi menangis kencang layaknya sebelumnya.
Detik dan menit penyusun waktu telah berlalu, tapi baik Sam maupun Tari tetap dalam keadaan yang sama. Sam masih mendekap tubuh Tari dengan erat sambil sesekali membelai kepala berikut punggung wanita tersebut, lengkap dengan mengendus atau malah mencium kepala berikut kening Tari. Sedangkan yang terjadi pada Tari, dalam diamnya yang diselimuti banyak kedamaian, wanita itu tengah bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah yang ia lakukan salah? Apakah menyerah dan memberi Sam kesempatan merupakan kesalahan fatal? Namun, bagaimana jika bersama Sam selaku laki-laki yang ia cinta sekaligus melukainya, ia merasa bahagia? Tari merasa Sam adalah masa depannya. Dan Tari yakin, bersama Sam, mereka bisa memiliki masa depan yang membahagiakan!
“Kalau memang paman dan bibimu enggak bisa ke Jakarta, biar kita yang pulang menemui mereka,” lirih Sam tiba-tiba dan sukses membuyarkan keheningan di tengah suasana yang sudah sangat gelap.
“Asal Mas menikahiku secara agama dan hukum, itu sudah lebih dari cukup. Dan tentunya, Mas harus pegang ucapan Mas. Mas sudah janji, dan Mas harus menepatinya!” tegas Tari meski masih menggunakan suara lirih.
Sam sampai lupa bernapas saking bahagianya mendengar balasan Tari. Tak hanya itu, sebab jantung berikut pemacu kehidupan pria itu juga mendadak berhenti bekerja, sebelum akhirnya senyum lepas di tengah napas terengah-engah, mengiringi dekapannya yang semakin erat terhadap Tari.
“Makasih banyak, Ri! Aku sampai merinding!” ujar Sam.
Kebahagiaan Sam menorehkan keraguan tersendiri dalam hati Tari. Mengenai keputusannya yang memberikan Sam kesempatan. Apakah apa yang ia lakukan merupakan keputusan yang tepat, atau … apa yang ia lakukan justru tak ubahnya bencana besar yang tak seharusnya Tari lakukan?