Hari Pertama

1185 Kata
Olivia tidak yakin dirinya akan diterima di kampus ternama, Kampus Miracle. Begitu pengumuman keluar. Ia sangat bahagia. Apalagi ia diterima sebagai mahasiswa yang dibebaskan dari beban biaya selama belajar di sana. Umumnya, hanya pelajar yang berasal dari keluarga kaya yang bisa masuk di kampus tersebut. Mereka terdiri dari anak pejabat, pengusaha dan keluarga lain. Kabarnya juga anak selebriti dan orang-orang terkenal ada di sana. Jadi, kampus tersebut tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan terdengar kabar juga ada beberapa kriteria khusus yang membuat peluang bagi orang biasa tidak akan pernah bisa masuk di kampus tersebut. Namun, kesempatan di dunia ini selalu ada. Tiap dua tahun sekali, Kampus Miracle membuka kesempatan bagi pelajar umum untuk diterima belajar di sana. Mereka harus mengikuti serangkaian seleksi ketat yang diadakan. Dan hanya satu pelajar yang akan dipilih. Dia pasti pelajar yang paling beruntung di dunia. Dan Olivia menjadi satu-satunya pelajar yang beruntung tahun ini. "Kamu bahagia sekali," ucap Margaret kepada putri satu-satunya yang ia miliki. "Tentu saja, Mom. Ini kesempatan langka," ucap Olivia. Mereka telah tiba di depan sebuah rumah berukuran mini nomer 13. Rumah mini tersebut adalah rumah yang disediakan oleh pihak kampus untuk menjadi tempat tinggal mahasiswa yang akan belajar di Kampus Miracle. "Halo, semua," sapa seorang wanita paruh baya. "Saya Lusy, yang selama ini mengurus administrasi Olivia." Margaret dan Olivia langsung senang. Tidak butuh waktu lama bagi Margaret dan Bu Lusy untuk berbicara akrab. Bu Lusy menjelaskan banyak hal mengenai lingkungan baru yang akan ditempati Olivia sambil membuka pintu dan membantu membawa koper milik Olivia. "Silahkan nikmati waktu kalian berdua. Jangan lupa nanti sore kita bertemu di ruangan administrasi," ucap Bu Lusy sambil pamit untuk pergi. "Sepertinya tidak buruk," ucap Margaret mengungkapkan kekhawatirannya selama ini. "Ayolah, Mom. Ini tidak seburuk yang Mommy bayangkan," sahut Olivia. Margaret memeluk Olivia. Sebagai seorang ibu yang selama ini membesarkan anaknya seorang diri, tentu saja ia sangat khawatir. Walaupun Kampus Miracle sangat terkenal, namun kekhawatiran seorang ibu tetap saja ada. Apalagi Margaret hanya bisa mengunjungi putrinya sebulan sekali, pada hari Minggu ketiga tiap bulannya. "Aku akan sangat merindukanmu," ucap Margaret. "Aku juga, Mom," jawab Olivia. Setelah berpelukan keduanya berjalan ke halaman depan. Taksi masih menunggu di sana dan Margaret harus segera pergi. "Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa untuk selalu memberi kabar," ucap Margaret lagi dari dalam mobil. Olivia mengangguk sambil melambaikan tangan. Taksi melaju perlahan meninggalkan kawasan Kampus Miracle. Kawasan tersebut begitu luas. Ada sekitar dua puluh rumah mini, lima bangunan utama kampus, Bangunan kantor yayasan, dan masih banyak sekali. Saking megahnya, tempat perbelanjaan, olahraga, dan lain sebagainya semua tersedia di dalam area. Margaret tahu kampus tersebut tidak pernah memiliki catatan buruk, kejadian negatif, rumor buruk, dan justru sebaliknya image nya selalu baik. Terlalu sempurna dan dipenuhi kemewahan. Justru karena itulah Margaret selalu tidak tenang. Baginya tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanyalah kehidupan yang penuh kekurangan yang diterima dengan sempurna atau malah ditutupi dengan sempurna. Apalagi Olivia berasal dari keluarga sederhana. Margaret selalu khawatir Olivia akan kesulitan beradaptasi dengan gaya hidup orang kaya. Sementara itu di rumah mini nomer 13, Olivia mulai membersihkan ruangan demi ruangan. Sepertinya rumah tersebut sudah lama tidak ditempati. Di beberapa bagian nampak debu tebal. Sehingga ia harus mengepel lantai dan mengelap jendela serta barang yang ada di sana. Beruntung peralatan rumah sangat lengkap dan canggih. Sehingga tidak butuh biaya dan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Setelah selesai membersihkan semuanya. Olivia mulai menata kamar tempat tidurnya. Rumah mini tersebut memiliki dua kamar. Seharusnya masih bisa ditempati dua atau tiga orang lagi. Namun karena sendirian dan kamar di dekat dapur terkunci rapat, maka Olivia memilih kamar yang ada dan bisa diakses dengan mudah. Saat Olivia sibuk memindahkan pakaiannya. Dua orang mahasiswa yang kebetulan lewat terkejut melihat rumah nomer 13 pintunya terbuka. "Sepertinya Mahasiswa baru itu sudah datang," ucap salah satu mahasiswa. "Benar. Tapi aneh, mengapa di tempatkan di rumah nomer 13," ucap yang lain. Kemudian keduanya memilih pergi. Di belakang keduanya seorang remaja tampan juga menatap ke arah rumah nomer 13. Ia tidak mengatakan apapun kemudian segera memilih pergi. Sebab suara sirine pertanda pembelajaran akan dimulai telah berbunyi. Olivia yang mendengar suara sirine tersebut tersenyum. Ia membayangkan dirinya juga bergegas pergi masuk ke kampus. Oleh karena itu, ia segera mempercepat pekerjaannya kemudian mandi dan bersiap. Sore itu Olivia memakai dress warna putih. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai. Beberapa berkas bertumpuk di tangannya. Tas selempang sederhana juga ia kenakan. Dengan langkah gontai dan percaya diri, Olivia berjalan masuk ke dalam kampus. Namun ia kebingungan mencari kantor bagian administrasi. Kampus begitu luas dan bangunannya juga banyak. Akhirnya Olivia melihat papan nama yang menunjuk ke beberapa ruangan. Dengan cepat Olivia menemukan penunjuk arah ruangan Administrasi. Ia segera bergegas. Khawatir Bu Lusy menunggu terlalu lama. Saat melewati lorong Kampus. Tiba-tiba salah satu pintu ruangan terbuka sendiri. Olivia terkejut. Ia merasakan ada hawa aneh yang menariknya untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Tanpa ragu dan tanpa sadar Olivia melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang gelap dan berdebu tersebut. Ternyata ruangan tersebut mirip sebuah gudang yang ditempati benda-benda kuno. Mulai dari senjata kuno hingga barang kuno lainnya. Yang paling menarik pandangan Olivia adalah sebuah pedang yang bersinar kehijauan di kegelapan. Benda tersebut bergetar dan mengeluarkan suara mendesing. Olivia penasaran dan melihat pedang tersebut lebih jelas lagi. Pedang tersebut terlihat sangat kuno. Ukiran di gagang pedang begitu indah dan permata yang bersinar itu semakin menyempurnakannya. Terdapat tulisan bangsa Romawi di tubuh pedang yang menancap di atas sebongkah batu. Karena benda tersebut bergetar, Olivia segera menyentuh pedang. "Aw!" Telunjuk tangan Olivia terluka. Darah langsung mengenai pedang. Tanpa Olivia sadari darah tersebut masuk perlahan ke dalam tubuh pedang. Setelah itu, pedang berhenti bergetar. Olivia yang diburu waktu akhirnya memilih pergi dan kembali mencari ruang administrasi. Tanpa ia sadari, pedang yang masih menancap di atas batu itu terlepas dan terbang masuk ke dalam tubuh Olivia. Seseorang yang bersembunyi di sudut kegelapan ruangan tersebut melihat semua kejadian itu. Ia terkejut jika pedang yang selama ini tidak bisa dilepas oleh siapapun akhirnya menghilang di tubuh gadis yang tidak dikenalnya. Sebuah senyuman mengerikan terbit di wajahnya. "Akhirnya kamu datang," sambut Bu Lusy saat melihat Olivia tiba di ruang administrasi. "Mohon maaf jika terlambat. Bangunan di sini luas sekali. Saya tersesat sebelumnya," ucap Olivia. "Ok. Tidak masalah. Semua mahasiswa mengalami itu," ucap Bu Lusy ramah. Olivia sangat senang dengan Bu Lusy. Selain ramah dan baik, Bu Lusy juga sangat perhatian. Dengan cekatan dan teliti Bu Lusy memeriksa kelengkapan berkas yang dibawa Olivia. Kemudian Bu Lusy menyerahkan satu kardus perlengkapan yang dibutuhkan Olivia selama belajar. Buku tersebut telah disesuaikan dengan program studi yang diambil oleh Olivia yaitu seni. "Jika kamu masih ingin berkeliling. Barang ini bisa kau ambil nanti," ucap Bu Lusy. Olivia mengangguk senang. Ia langsung memilih berkeliling. Ada banyak tempat yang membuatnya penasaran dan ingin berkunjung ke tempat itu. Terutama tempat penjualan makanan. Olivia ingin membeli sesuatu untuk makan malam. "Tunggu," Bu Lusy menahan kepergian Olivia. "Kau boleh pergi ke banyak tempat kecuali bangunan memanjang di belakang kampus dan juga bangunan kuno di arah kanan kampus." "Baik, Bu," ucap Olivia. Ia segera melangkah pergi dengan penuh semangat. Dan tanpa menyadari beberapa pasang mata sedang mengawasi setiap gerakannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN