Benjamin dan Vincent sama-sama merasakan ada sebuah perubahan yang terjadi pada Winter setelah kejadian dia di temukan tidak sadarkan diri.
Namun perubahan itu tentu saja membahagiakan karena ada perubahan baik yang terjadi pada Winter.
Kini ada sebuah perubahan yang membuat Vincent merasa sedikit lega karena Winter sudah berani menatap matanya saat berbicara, berbicara dengan lantang mengenai pendapatnya, dan yang lebih terpenting adalah Winter sudah bisa membedakan waktu bersama keluarga dan waktu bersama temannya.
Selama ini Vincent sangat risih setiap kali Paula terus menempel pada Winter dan keluarganya, namun Vincent menahan ucapannya agar Winter tidak bersedih.
“Winter, Vincent tidak bisa menerima hadiah apapun selain senjata dan alat olahraga. Ayah tidak bisa memberikan dia hadiah karena Vincent tidak akan menerimanya jika itu bukan senjata atau alat olahraga.” Jawaban Benjamin membuat Winter maupun Vincent langsung melihatnya.
“Apa yang sudah di katakan Ayah itu benar. Jangan khawatirkan aku.”
“Lain kali Ayah belilah hadiah untuk kak Vincent terlebih dahulu. Ayah tidak perlu memberikan aku barang mewah lagi, cukup dengan di ajarkannya aku berbisnis itu sudah sangat cukup untukku.”
Benjamin dan Vincent kembali saling pandang.
“Winter, apakah itu tidak salah?.” Tanya Benjamin dengan suara bergetar.
“Aku banyak merenung akhir-akhir ini. Aku ingin berkontribusi mengembangkan apa yang sudah ayah perjuangkan dengan bisnis ayah. Aku tidak ingin diam dan terpaku lagi sementara aku melihat Kak Vincent sangat sibuk bekerja dan giat belajar.”
Apa yang di katakan Winter terasa seperti secercah cahaya di antara kegelapan. Vincent semakin senang dengan perubahan Winter yang semakin membaik dan mulai menunjukan minatnya terhadap sesuatu.
“Baiklah. Ayah akan mengajarimu.” Jawab Benjamin dengan senyuman lebar di penuhi kelegaan. “Kita sudah sampai.” Perhatian Benjamin teralihkan, dia bergeser ke sisi sambil melihat pemandangan di luar.
Mobil yang mereka tumpangi perlahan berhenti di depan sebuah bangunan kayu bertingkat berdiri di sisi pantai. Seorang pengawal langsung membukakan pintu. Dengan susah payah Winter bergeser dan perlahan keluar.
Pandangan Winter mengedar melihat pemandangan indah yang memanjakan mata, semuanya sangat menakjubkan dan menggetarkan jiwanya. Namun tiba-tiba kesenangan jiwa Winter terganggu ketika tidak sengaja melihat sesuatu.
Pandanagan Winter terpaku pada sesuatu. Winter berkedip beberapa kali hingga harus mengucek matanya untuk memastikan apa yang di lihatnya nyata atau sebuah ilusi semata.
Namun apa yang Winter lihat itu ternyata benar.
Winter tidak salah melihat.
Kini Winter melihat Marvelo duduk berdua dengan seorang pria yang seumuran dengan Benjamin, mereka duduk menikmati segelas kopi dan berbincang dengan akrab.
Mengapa Marvelo ada di sana?.
Pria paruh baya yang bersama Marvelo itu segera berdiri dan tersenyum lebar, seketika Winter sadar jika pria itu adalah Lessy Kenedy. Seorang pengusaha sekaligus pemilik hotel tempat di mana patung Kimberly di letakan.
“Winter, kenapa diam saja?. Ayo, Paman Lessy sudah menunggu.” Vincent menarik tangan Winter dan membawanya pergi untuk bergabung dengan Lessy dan Marvelo.
Winter yang sedikit kebingungan hanya diam dan ikut bergabung sambil mendengakan perbincangan ringan di antara semua orang.
Dalam diamnya, Winter memperhatikan interaksi akrab di antara Benjamin dan Lessy, begitu pula dengan Vincent.
Pandangan Winter bertemu dengan Marvelo, dengan cepat Marvelo melihat ke arah lain, pria itu bersikap acuh seperti biasa.
Setelah bergabung dan mendengarkan perbincangan kecil semua orang, Winter baru mengetahui jika Lessy dan Benjamin saling mengenal, lebih mengejutkannya lagi adalah Winter dan Marvelo saling menengal sejak kecil.
***
“Apa yang terjadi?. Kenapa mereka tidak membukanya?.” Tanya Lana penasaran.
“Aku juga tidak tahu.” Jawab Paula.
Lana menekan-nekan klakson beberapa kali. Hari ini Lana dan Paula berkunjung ke rumah Winter. Ini bukan yang pertama kalinya mereka berkunjung, karena itu mereka sedikit bingung ketika kedatangan mereka tidak di sambut seperti biasanya.
“Kenapa dengan mereka?. Mereka sangat kurang ajar.” Omel Lana marah, tidak seperti biasanya kedatangannya ke rumah Winter di persulit.
“Tunggu sebentar.” Paula memutuskan untuk keluar dari mobil dan menekan bel rumah Winter, dari kejauhan dia melihat seorang pria berpakaian serba hitam berlari kearahnya.
“Kenapa kau tidak membukanya hah?!. Apa kau tuli?” teriak Paula menjukan sifat arogansinya seperti tuan rumah. “Cepat buka!.”
Pria berkacamata hitam mengenakan pakaian serba hitam itu memasang wajah tanpa ekspresi, “Anda sudah mendapatkan izin?. Hari ini keluarga Benjamin tidak menerima tamu siapapun.”
“Apa maksudmu?” teriak Paula merasa terhina. “Kau sudah tidak waras?. Aku sahabat Winter, dan aku tidak memerlukan izin apapun untuk masuk ke dalam rumah!.”
“Nona Winter yang merubah aturannya.” Jawabnya lagi dengan datar tanpa ekspresi, teriakan Paula yang sudah biasa dia dengar dan arogansinya yang melebihi tuan rumah itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali.
Lana yang sudah tidak sabar menunggu di dalam mobil akhirnya ikut keluar juga, “Apa yang terjadi?. Kenapa lama sekali?.” Tanya Lana sambil berdecak pinggang.
“Orang ini” Paula menunjuk pria berpakain hitam yang berdiri di balik pagar besar. “Orang ini bilang jika kita tidak boleh masuk tanpa izin tuan rumah.”
“Kau pegawai baru?.” Lana sedikit mengangkat dagunya, “Biar aku beritahu, kami adalah tamu penting keluarga Benjamin, buka pintunya atau aku laporkan langsung kepada Benjamin atas tindakan tidak menyenangkanmu agar kau di pecat!.”
“Silahkan.” Jawabnya dengan tengan.
“Akan ku pastikan kau di pecat!. Camkan itu!” teriak Paula mengancam, Paula langsung mengambil handponenya dan memilih menghubungi Winer untuk segera membukakan pintu.
Begitu panggilan di terima, Paula langsung berdeham mengatur suara dan emosinya agar tidak di ketahui Winter. “Winter, aku aku ada di depan rumahmu.”
“Benarkah?”
“Ya. Tapi pegawaimu melarangku dan ibuku untuk masuk, dia mengusir kami dan memperlakukan ibuku dengan sangat kasar.” Adu Paula dengan bumbu drama.
“Maaf Paula. Hari kemarin ada kejadian yang tidak menyenangkan, jadi ayah mengubah aturan masuk.”
Paula tersenyum menekan menahan kemarahan, “Tidak apa-apa. Sekarang kau bisa membukanya?.”
“Aku dan keluragku sedang liburan.”
“Liburan?. Kenapa kau tidak mengajakku?. Apa kau marah padaku atas kejadian kemarin?. Ayolah Winter, aku hanya kelepasan menamparmu, kenapa kau menjadi pendendam?.” Paula mencecar Winter dengan pertanyaan.
Pertanyaan kurang ajar keluar dari mulut Paula membuat Winter terdiam sesaat.
“Winter jawab aku.” Desak Paula penuh tekanan.
“Aku tidak marah kepadamu. Aku hanya ingin bersama keluargaku saja.” Jawab Winter terdengar sederhana.
Alih-alih merasa sedikit tenang, sikap tidak tahu malu Paula kian menjadi karena jawaban yang di berikan Winter malah membuat Paula merasa marah.
“Kau selalu bilang jika aku keluargamu. Kau selalu mengajakku pergi kemanapun kau pergi. Lalu kenapa sekarang berubah?. Apa salahku Winter?.” Nada suara Paula sedikit meninggi.
“Apapun yang aku lakukan tidak seharusnya selamanya di lakukan bersamamu.”
“Winter, kau tidak tahu berterima kasih. Inikah balasanmu setelah bertahun-tahun aku menjagamu?.”
“Kenapa kau sangat marah Paula?. Apakah liburan lebih penting dari persahabatan kita?.”
Seketika Paula terdiam, dia tidak bisa melanjutkan ucapannya untuk mencecar Winter. Jika Paula marah semakin jauh, kemungkinan Winter akan mengetahui kebusukannya. Paula harus lebih berrhati-hati karena akhir-akhir ini Winter mulai menunjukan sikap pembangkangnya dan berani melakukan sesuatu yang tidak seperti biasanya.
Perlahan Paula tertawa memaksan dengan gigi yang saling mengerat bergelumutuk mengontrol emosi yang kian memanaskan hatinya. “Tentu saja tidak. Baiklah, sampai jumpa.”
“Bagaimana?.” Tanya Lana dengan ragu karena melihat ekspresi suram puterinya yang terlihat tidak baik-baik saja.
“Kita pulang Bu, mereka tidak ada di rumah karena sedang liburan.”
Kening Lana mengerut bingung. “Hah apa maksudmu?. Kenapa kau tidak di ajak?. Kenapa mereka tidak bicara apapun kepadamu?. Ini keterlaluan Paula, apa kesalahanmu?.”
“Aku tidak tahu!” nada suara Paula meninggi.
“Tidak tahu katamu?. Tidak mungkin ini terjadi jika kau tidak melakukan sesuatu. Seharusnya kau semakin memperhatikan Winter.”
“Berhentilah memberitahuku!” teriak Paula marah, kakinya menghentak dan segera masuk ke dalam mobil.
Paula terlampau di buat marah, dia sudah bisa merasakan perubahan sikap Winter kepadanya sejak mereka bertemu beberapa hari yang lalu, namun Paula tidak menyangka bahwa Winter akan berubah sejauh ini kepadanya.
Jika perubahan ini semakin di biarkan terjadi, Paula tidak hanya kehilangan mesin ATM berjalannya, dia juga tidak bisa menyingkirkan Winter seperti apa yang sudah dia rencanakan.
***
Sebuah kapal pesiar mewah berlayar di lautan. Langit yang hangat, lautan yang biru dengan angin yang tidak kencang membuat Vincent terlihat senag mendayung di sekitar kapal.
Di sisi lain, Benjamin terlihat tengah duduk di sisi kapal, Benjamin tengah memancing bersama Lessy, kedua pria paruh baya itu menikmati waktu bersantai mereka dengan menangkap ikan dan sambil berbicara.
Sementara Marvelo, pria itu memilih untuk duduk dan bersantai sambil membaca buku dengan serius. Suasana hati Marvelo terlihat tidak begitu baik hanya dengan melihat raut wajahnya.
Berbeda dengan Winter yang kini masih berada di dalam kapal. Gadis itu tidak kunjung keluar kamar sejak setengah jam yang lalu.
Winter sibuk mencoba satu persatu bikini yang dia bawa untuk di gunakan berjemur. Namun apa yang dia rencakan sepertinya gagal.
“Sialan!” Winter memaki kesal seraya membanting bikini-bikini yang di belinya.
Tidak ada satupun yang cocok dia pakai dan membuat dia percaya diri. Semakin Winter melihat cermin dengan keadaan tubuh yang terbuka, kobaran semangat untuk menurunkan berat badannya kian kuat.
Jiwa Kimberly kehilangan kepercayaan dirinya.
Walau bagaimanapun dulu dia adalah seorang super model yang tidak memiliki kekhawatiran mengenakan pakaian apapun karena bentuk tubuhnya akan selalu membuat dia terlihat stylish.
Dulu kemanapun dia pergi, semua orang akan menatapnya dan melihat apa yang dia pakai untuk di tiru.
Tidak mudah untuk dia harus langsung bisa menerima kehidupan baru yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan dia sebelumnya. Tidak hanya bentuk tubuh dan kepribadian, sosok Kimberly juga harus berusaha menahan diri untuk tidak melakukan kebiasaannya di masa lalu dengan kehidupan barunya sebagai Winter.
Sekarang dia tidak bisa lagi pergi clubbing, tidak bisa meminum alcohol karena di bawah umur, bahkan untuk merokok saja dia harus sembunyi-sembunyi.
Sulit meninggalkan kebiasaan seorang Kimberly yang sebagai super model dan sudah dewasa, lalu kini dia harus berperan menjadi gadis yang belum menginjak dewasa, berkepribadian baik dan polos.
Winter berdecak pinggang, mengenyahkan pikirannya dari bayangan kehidupannya di masa lalu sebagai Kimberly. Cukup lama dia berdiam diri hingga akhirnya Winter memutuskan untuk mengambil pakaian renang dan pelampung, dia segera memutuskan untuk pergi keluar. Hari ini dia harus banyak bergerak!.
“Sayang.” Benjamin tersenyum lebar melihat kedatangan Winter yang baru datang. Kedatangan Winter tidak luput dari perhatian Benjamin yang merasakan ada sesuatu yang semakin berbeda dengan puterinya.
Winter berdiri di sisi Benjamin dan menatap iri Vincent yang kini duduk di atas papan tengah mendayung dengan ahli.
“Kau mau belajar berenang?. Mau ayah ajarkan?.” Tanya Benjamin penuh semangat.
“Kenapa aku harus di ajari?.”
“Karena kau tidak bisa berenang Winter.”
Pupil mata Winter melebar, dia tidak percaya jika Winter yang dulu tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk berenang!. Mahluk sebesar gajah sekalipun bisa berenang menyebrangi danau.
Kenapa Winter tidak bisa?.
Lantas apa kelebihan Winter jika tidak bisa melakukan apapun?.
“Aku sudah bisa berenang sekarang, selama di sekolah aku terus belajar berenang.” Jawab Winter terbata mencari-cari alasan.
“Benarkah?. Kenapa kau tidak bercerita?.”
“Karena Ayah sibuk.”
Ya, karena kesibukan Benjamin, makanya dia tidak banyak tahu tentang Winter.
Kesibukan Benjamin membuat dia tidak memperhatikan pertumbuhan Winter dan tidak memperhatikan penderitaan apa yang selama ini di tanggung Winter.
Itulah yang Kimberly pikirkan.
Senyuman yang terlukis di bibir Benjamin perlahan memudar, pria paruh baya itu terdiam dan tersenyum sedih terlihat malu dengan ucapan Winter. “Maafkan ayah.”
Winter tersenyum samar dan pergi ke sisi kapal lain.
“Mengapa Winter terlihat berbeda?.” Tanya Lessy.
“Aku harap perubahan itu membuat dia kembali seperti dulu.”
“Tapi Winter trauma air dan berenang. Mustahil seseorang yang trauma bisa memiliki keberanian dan berubah dalam waktu yang cepat.”
Kali ini Benjamin terdiam dan menatap sahabatnya itu dengan sedih, sorot matanya menunjukan banyak kepedihan yang tersimpan. “Tapi, Winter yang dulu bisa berenang dan tidak takut air.”
To Be Continue..