Aku langsung masuk ke kamar dan menekan wajahku ke dalam bantal untuk meredam suara tangisan. Meski belum ada satu orang pun dari temanku yang sudah pulang, tetap saja aku menumpahkan air mataku dengan cara seperti itu. “Ya Tuhan,” erangku sambil memukul pelan dadaku. “Ampuni aku. Aku minta ampun, Tuhan.” Sejak dulu sebenarnya aku sudah tahu kalau diriku tak lagi utuh. Mungkin masih sempurna kalau dilihat dari fisiknya, tapi jiwaku sudah tak berbentuk karena luka. Diusir dari keluarga, hidup luntang-lantung, hamil di luar nikah padahal masih remaja. Dan tidak memiliki seseorang untuk berbagi beban. Kepahitan seperti itulah yang akhirnya mengantarkan aku pada keinginan untuk mengakhiri hidup. Aku pikir hari itu adalah hari terakhir untukku melihat dunia. Namun sepertinya semesta masih