Sepanjang perjalanan pulang, aku sibuk menjadi wasit untuk perseteruan yang sedang terjadi antara hati dan otakku. Keduanya bertengkar tanpa menyadari kalau aku sudah kewalahan di luar sini. Rasanya capek sekali ketika mereka tidak mau sejalan. “Suami mbak mengikuti kita,” ujar sang supir taxi yang membuat aku kembali fokus ke keadaan sekitar. “Suami?” tanyaku bingung. Supir taxi itu melihatku melalui kaca depan mobil, kemudian menggaruk tengkuknya, merasa tidak enak. “Pria tadi,” cicitnya lemah. “Dia bukan suami saya,” jawabku sembari memutar tubuh ke belakang. Di luar sana, sebuah mobil mewah sedang mengikuti taxi yang sedang aku tumpangi ini dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh. Aku tidak tahu mobil Mike, sama sekali tidak pernah melihatnya meng