Satria berusaha terus bertarung dengan anak buah raja Ka Le Nan, sesekali ia melirik kebelakang memperhatikan Ratu Bintang tenggara, sebagai seorang Pangeran dirinya harus mengutamakan ibu negara.
Ratu Bilqis ketakutan melihat pertarungan sengit antara pengawal pribadinya dan para prajurid serta anak buah kerajaan yang dulu pernah dianggap sebagai saudara sendiri tersebut.
“Satria, aku akan pergi mencari Zein, Setia dan Cempaka. Kau harus berhati-hati, Mahesa!” Ratu tersebut berbicara sambil berlari, dia menguatkan hatinya untuk tidak menoleh kebelakang dan berusaha mencari putranya serta kedua putrinya, mereka bertiga adalah masa depan kerajaan Bintang tenggara.
Pangeran Satria berusaha menahan serangan pedang dari pengawal kerajaan Xioxing, dia tidak menyangka kalau para pengawal itu bisa mengejar sampai ke istana ratu. Luka yang lama belum diobati sekarang muncul lagi luka baru.
“Aku mengerti kakak ipar.” Ia membalas ucapan rati Balqis tanpa mengalihkan perhatiannya pengawal tersebut. Tatapan matanya penuh dengan kewaspadaan dan tanpa ada rasa takut sedikitpun.
“Tidak ada gunanya kau membela penguasa kerajaan ini, Pangeran Satria. aku lebih baik kau bergabung bersama kami, raja Ka Le Nan akan menjadikanmu adipati kerajaan Xioxin.” Pengawal priadi kerajaan Xioxin tersebut terus memprovokasi Satria akan memihak kerajaan mereka.
“Tidak akan! Aku bukan pengkhianat seperti kalian.” Pangeran Satria terus menolak, ia memberikan tekanan pada serangannya hingga membuat pengawal tersebut terdorong kebelakang.
“BADAI PETIR!!!” Bersamaan dengan teriakan itu, Satria mengeluarkan sebuah ilmu petir. Petir tersebut berwaran putih kebiruan dan memukul mundur pengawal kerajaa Xioxong. Pengaran tersebut mengambil kesempatan kelengahan pengawal tersebut untuk segera meninggalkan pertempuran dan mencari keberadaan kakak iparnya.
Setelah berhasil menyeimbangkan kembali tubuhnya dari serangan badai petir tersebut, pengawal Xioxing menggeram penuh amarah ketika melihat Satria sudah meninggalkan pertempuran,”b******k! Aku tidak akan melepaskanmu, pangeran Satria.” Ia mengepalkan jarinya hingga kuku jari terlihat memutih.
**
Zein kecil tidak mengerti kekuatan apa yang tadi muncul dalam dirinya, tiba-tiba saja udara terasa dingin membeku ketika dirinya penuh emosi, dia bahkan hampir saja membuat seluruh kerajaanya menjadi es.
“Kakak Zein, kenapa kau terus memandangi telapak tanganmu? Apakah ada yang bagus?” Cempaka seorang putri yang masih sangat polos hingga tidak mengerti ke kuatan tersembunyi dalam tubuh kakak tertuanya tersebut.
“Bukan begitu, tadi ketika aku panik. Tiba-tiba saja aku mengeluarkan kekuatan yang sangat menakutkan, apakah tadi kau tidak merasakan udara yang tiba-tiba menjadi sangat dingin?” Zein mendongak memandang wajah cantik adik keduanya tersebut, meski terkadang dia juga tidak mengerti mana yang adik pertama dan kedua, mereka lahir hampir bersamaan, itulah yang dikatakan oleh kedua orang tuanya.
“Aku merasakannya, tapi aku pikir karena memang hari sudah semakin malam. Kakak Zein, apakah kita harus terus bersembunyi di gudang ini? Aku khawatir ayah dan ibu tidak akan baik-baik saja,” balas Cempaka. Gadis kecil itu menatap kakaknya dengan mata hampir berair.
Zein mengangguk, ia sebenarnya juga sangat mengkhawatirkan kedua orang tuanya, tapi Mahesa menyuruhnya untuk bersembunyi di tempat yang aman. Pengaran kecil itu melirik adiknya sekilas, mungkin sebaiknya dia pergi untuk mencari kedua orang tuanya.
“Cempaka, kau tunggulah di sini. Aku akan keluar untuk mencari keberadaan bunda dan ayahanda, bukankah kau tadi melihat aku memiliki sebuah kekuatan dasyat, siapa tahu saja aku bisa menyelamatkan mereka.” Ia memegang kedua bahu adik kecilnya.
“Baik, kakak Zein. Aku akan menunggu di sini,” balas Cempaka mengangguk.
Zein zulkarnain segera keluar dari tempat persembunyiannya, ia mengendap-ngendap untuk melihat situasi, tidak mungkin juga meninggalkan adik kecilnya disaat ada musuh mengintai. Setelah dirasa cukup aman, pangeran kecil tersebut dengan hanya bermodalkan pedang kayu segera berlari mencari keberadaan kedua orang tuanya di tengah peperangan.
**
Serangan Ka Le Nan, membuat raja Ilyasa terluka parah. Raja Bintang tenggara tersebut terlempar cukup jauh, tidak sampai di situ, raja Xioxing tersebut mengejar Ilyasa, dia ingin memastikan dengan kepala sendiri bahwa mantan sahabat karibnya itu benar-benar telah tiada.
Dari kejauhan, Zein melihat tubuh ayahnya terlempar jauh. Ia pun segera mengejar tubuh tersebut dan berharap dirinya sampai sebelum pasukan musuh mendapatkannya terlebih dulu.
“AYAH…” Pangeran kecil tersebut berteriak memanggil raja Bintang tenggara ketika tiba di sebuah bangunan tua, ia melihat kalau tubuh ayahnya tadi terlempar ke arah tersebut.
Terdengar suara batuk menyakitkan dari arah gudang rusak,
Zein menajamkan telinganya ketika mendengar suara seseorang terbatuk, dari suara batuknya dia dapat merasakan kalau orang tersebut pastilah sedang terluka parah. Dengan hati-hati Zein melangkahkan kaki kecilnya mendekati suara batuk tersebut. Mata kecilnya membulat ketika melihat ayahnya terbatuk dengan darah terus keluar dari mulutnya, ia pun segera menghampiri tubuh sang ayah lalu berjongkok di depannya.
“Ayah, apa yang terjadi padamu? Siapa yang telah melukaimu? Zein akan menuntut keadilan untukmu.” Zein kecil dengan penuh keberanian mengatakan hal tersebut.
Raja Ilyasa tersenyum haru, putranya itu memang pantas menejadi seorang putra mahkota, bakat dan keberanian serta ketulusannya dalam melindungi orang lain tak dapat diragukan lagi. Tapi, apalah artinya itu semua, putranya itu masih 12 tahun, apa yang bisa dilakukan anak seusia tersebut? Sedangkan musuh yang dihadapinya memiliki kekuatan sangat besar.
“Zein, ayah tidak apa-apa, kamu sebaiknya pergi dari sini. Ayah khawatir, musuh akan menemukan kita dan membahayakanmu.” Raja tersebut mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah putih bersih putranya tersebut.
“Tidak akan yang sapat melukaiku tanpa izin Allah, ayah. Siapakah orang yang bisa melakukan kejahatan padaku, jika Allah melindungiku. Begitu juga, siapa yang akan melindungiku, jika Allah menghendaki keburukan untukku.” Dengan lantang pangeran kecil tersebut menjawab kekhawatiran ayahnya, ia bangkit dari posisi duduknya, tangannya mengangkat pedang ke udara.
“Aku, Zein zulkarnain, tidak akan pernah meninggalkan ayahku, aku akan selalu melindunginya.”
Ilyasa sungguh mearasa sangat bangga memiliki seorang putra seperti putranya tersebut, tapi tetap saja kemampuan Zein dan raja Xioxing tidaklah sebanding. Boleh saja kita maju ke medan perang, tapi jangan bunuh diri, semua harus ada persiapan.
“Zein…”
Belum sempat raja tersebut meneruskan kalimatnya, seseorang dari luar mendobrak pintu hampir roboh bangunan kumuh tersebut.
“Ternyata kalian bersembunyi di sini.” Ku Ba Ngan, pangeran kerajaan Xioxing memandang rendah kedua anak dan ayah tersebut.
“Siapa yang bersembunyi?!” Zein membalikkan tubuh menghadap pengaran tersebut dan berdiri di depan ayahnya seakan menjadi tameng untuk sang ayah.
Tatapan pangeran kecil itu tajam dan tanpa sedikit pun ada rasa takut di dalamnya, aura yang dikeluarkan si kecil sangat menakutkan,”Kau yang membuat ayah ku terluka! Ayahku sampai terlempas ke tempat sampah seperti ini juga karena kalian! Masih masih bisa mengatakan kalau ayahku bersembunyi. Dasar tidak punya otak, kalau berani, ayo lawan aku! Dasar sampah tidak berguna. Semua orang juga tahu, kerajaan kalian itu tidak diberkahi oleh Tuhan, karena orang-orangnya dzalim dan suka menyusahkan orang lain!” Zein kecil berteriak memaki pangeran dari kerajaan Xioxing.
Ku Ba Ngan sangat geram mendengar ocehan pangeran kecil tersebut, ia pun mencabut pedang dari sarungnya lalu menguhuskannya ku arah sang pangeran. Zein kecil tidak gentar sedikit pun, ia menatap tajam pangeran Ku Ba Ngan.
“Buktikan pada semua orang, kalau kau memang seorang Pangeran pengecut. Kau hanya bisa menebas anak kecil.” Zein justru memprovokasi pangeran Xioxing tersebut.
Ku Ba Ngan semakin murka, ia pun mengangakat pedangnya lalu mengayunkan pedang tersebut kearah sang pangeran kecil…
Dentingan benturan senjata kembali terdengar.
Serangan pedang pangeran Xioxing terpatahkan, Mahesa berdiri di depan Zein dengan tatapan membunuh,”Jangan pernah kau berbuat macam-macam! Aku tidak akan memaafkanmu, kalau kau berani melukai pangeran Zein, meski hanya secuil.” Pengawal kerajaan tersebut memberikan ancaman.
“Mahesa, bawalah pangeran Zein pergi dari sini.” raja Ilyasa mulai bangkit dari posisinya, sebagai seorang raja dirinya tidak akan membiarkan putranya dalam bahaya. Hingga titik darah penghabisan, dia akan tetap melindungi kerajaan dan rakyatnya.
“Yang Mulia.” Mahesa menoleh pada junjungannya, tapi anggukan dari sang raja membuat pengawal tersebut mau tidak mau harus mematuhi perintah. Ia pun segera menggendong pangeran Zein dan membawanya pergi.
Zein kecil terum memberontak, dia tidak mau meninggalkan ayahnya. Ia tahu sang ayah terluka cukup parah, karena itu dirinya ingin membantu.
“Mahesa, kau pengkhianat. Lepaskan aku! Aku mau menolong ayah.” Pangeran kecil itu terus memberontak, tapi Mahesa lebih kuat dari Zein. Demia masa depan kerajaan Bintang Tenggara, dirinya harus membawa pergi putra mahkota, pewaris kerajaan Bintang tenggara.
Mata kecil Zein membulat saat sebuah pedang menusuk d**a ayahnya, raja perkasa kebanggaan rakyat Bintang tenggara tersebut memuntahkan darah dan tersungkur dengan mata terpejam.
“AYAH….!!!”
Mahesa menulikan pendengarannya, ia terus membawa pangeran kecil tersebut meninggalkan kerajaan Bintang tenggara, dia yakin suatu saat nanti semua pengkhianatan Ka Le Nan, Tong Sam Pah dan Ku Ba Ngan akan terbalaskan. Biarlah untuk sementara meraka mundur, tapi suatu hari dia dan pangeran mahkota akan kembali dan merebut kerajaan Bintang tenggara.
**
Sebuah kerajaan kecil di perbatasan pulan Minus menjadi tempat tujuan Mahesa membawa Zein. Ia menemui keluarga besarnya, keluarga besar Mahesa adalah seorang adipati kerajaan tersebut, hanya dirinya yang memilih menjadi pengawal kerajaan Bintang tenggara.
“Tuan Mahesa.” Seorang penjaga gerbanng menyambut kembalinya putra bupati Yusuf dengan penuh hormat.
“Aku ingin bertemu dengan majikan kalian, apakah kalian bisa memanggilnya?” tanya Mahesa. Ia melirik Zein yang masih teridur setelah melakukan perjalanan jauh.
“Tuan bupati Yusuf sudah mengetahui, kalau tuan Mahesa akan kembali. Beliau menyuruha anda masuk.”
Mahesa segera melangkahkan kaki memasuki kediaman ayahnya di kota Pemis tersebut.
Yusuf merentangkan tangan bersiap untuk menyambut ke datangan putra pertamanya tersebut,”Ayah sudah mendengar pengkhiantan kerajaan Xioxin, karena itu ayah pikir kau akan kembali ke sini. Mahesa, ayah ingin kau menggantikan ayah menjadi seorang bupati.”
Mahesa masih enggan untuk menjawab, ia masih teringat wasiat raja Ilyas untuk membawa Zen pergi dan menyembunyikan identitasnya, karena sang raja yakin kalau kerajaan xioxing masih memburu pengeran kecil tersebut.
“Maaf, ayah. Aku hanya 1 bulan saja atau bahkan lebih sedikit lagi, Yang Mauli Raja Ilyasa menitipkan pangeran Zein padaku. Beliau berpikir kalau kerajaan Xioxing masih akan membunuh pangeran mahkota, karena itu. Aku harus mencari tempat paling aman untuk menyembunyikan pangeran dan menyembunyikan identitasnya. Setelah mental pangeran baik-baik saja, aku akan membawanya poergi. Aku harap ayah tidak keberatan menyembunyikan kamu di sini dulu,” jelasnya.
Yusuf mengerti kesulitan putranya tersebut,”Baiklah. Kalau begitu, bawalah pengeran kecil tersebut ke beristirahat. Ayah sudah menyuruh pelayan untuk menyipakan kamar untuknya.”
Mahesa mengangguk, ia pun segera pergi membawa Zein kecil dan menaruhnya ke dalam kamar yang telah disediakan oleh ayahnya.
Diletakkannya pangeran kecil tersebut di atas ranjang, dipandanginya wajah mungil, polos tanpa dosa,”Maafkan saya, pangeran. Tapi, mulai sekarang, sayalah yang akan menjaga dan melindungi pangeran. Saya juga akan memberikan kasih sayang seorang ayah untuk pangeran Zein, pangeran Zein istirhatalah.”