THE LEGEND OF THE HIDDEN KNIHTS episode 18: pertemuan alam sukma
Zein masih ingat bagaimana marahnya ratu Arisandi ketika dirinya mengatakan bahwa tidak ingat dan tidak tahu tentang pertemuan alam sukma, tentu saja dirinya sangat berbohong. Pertemuan alam sukma beberapa tahun yang lalu membuatnya terus bertanya siapa orang-orang tersebut.
Flash back…
Awan putih berarak terlihat 7 orang kesatria langit dengan berbagai tugas yang berbeda, 2 orang wanita dan 5 orang pria. Salah satu dari mereka adalah Arsy ratu sejagad, itu adalah wujud sukma Zein Zulkarnain. Pria itu duduk di atas singgah sana dan dikelilingi oleh 6 orang kesatria langit.
Pembicaraan mengenai perdamain bangsa menjadi topik mereka.”Ratu Arsy, bagaimana bisa kita menegakkan keadilan dan perdamain di dunia ini kalau para manusia itu selalu berpikir egois dan selalu merasa paling benar?” Seorang pria memakai mahkota kecil berwarna putih nampak prustasi melihat bagaimana panasnya dunia ini.
“Manusia selalu dipenuhi ambisi angkara murka, mereka ingin menguasai dunia dan membuat dunia ini hancur.” Seorang wanita mengenakan gaun ungu dengan menyahuti.
“Ketenangan, sikap welas asih serta kejujuran akan membuat kehancuran menjadi ketidak hancuran. Api hanya mampu di lawan dengan air, kebencian hanya mampu dilawan dengan cinta.” Arsy Ratu Sejadah berbicara dengan tenang penuh wibawah.
“Apakah kita harus mencintai manusia perusak itu? Apakah kita harus berbuat baik terhadap mereka? Itu tidak mungki, Ratu.” Putri Purnama sari tidak setuju dengan ucapan Zein atau Arsy.
“Kau terlalu gegabah dalam menanggapi ucapanku,” balas Zein.
“Maksudnya, kita harus tetap bersikap bijak tidak terburu-buru serta ramah. Jangan sampai orang curiga bahwa kita dalah manusia utusan untuk memberantas kejahatan, pertemuan kita ini juga harus dirahasiakan. Jangan sampai ada orang mengaku-ngaku sebegai diri kita.” Salah satu kesatria langit memberikan penjelasan.
“Benar, kita tidak perlu mengangkat senjata jika ucapan kita mampu membuat perdamaian. Tugas kita bukan untuk mengibarkan bendera perang, tapi untuk menciptakan perdamaian. Terkecuali memang terpaksa, maka kita harus melawan ketika ada orang ingin memerangi kita,” balas Zein.
**
Zein tersenyum sendiri hingga membuat Mahesa merasa heran dengan pengeran Bintang Tenggara tersebut, mereka sedang berjalan menuju desa Kemangi. Desa terkenal angker dan sedang menyebar wabah penyakit aneh.
“Pangeran Zein, apakah pengeran melihat ada topeng monyet di suatu tempat?” tanyanya heran.
Zein Zulkarnain memicing tajam mendengar pertanyaan tak masuk akal, mana bisa dia melihat ada topeng monyet di suatu tempat tanpa didatangi,”kurasa kau sudah mulai tidak waras.”
Mahesa terdiam seketika, seharusnya orang yang lebih tua itu dihormati bukan diperlakukan tidak hormat seperti ini. Tapi tetap saja dirinya hanya seorang pengawal, pria itu pangeran tetap saja tidak berhak melawan.
“Pangeran Zein, sebaiknya pengeran tidak memaksakan diri. Pangeran harus ingat bahwa racun di tubuh pangeran belum hilang seratus persen.”
“Aku tahu, aku baik-baik saja. Kau hanya perlu fokus pada jalan,” balas Zein datar. Memang benar, karakter periang pangeran tersebut sudah hilang semenjak kehilangan keluarganya.
Perjalan di desa Kemangi cukup jauh kalau di tempuh dengan perjalanan kaki, sekitar 3 jam. Suasana semakin terika, Mahesa khawatir terhadap Zein, sejak tadi padi pria itu tidak makan apapun, ia kkhawatir terjadi sesuatu padanya.
“Pangeran, bagaimana kalau kita istirahat sejenak? Dari pagi pangeran belum makan apapun, saya khawatir pangeran akan pingsan di tengah jalan.”
Tidak ada jawaban, Zein sama sekali tidak butuh makan. Ia hanya ingin secepatanya bisa mengambil pedang naga langit dan bertarung setelah itu meneruskan perjalanan dan mengambil kembali kerajaannya.
Iris safir memperhatikan sekeliling, sepertinya ada yang tidak beres. Dia harus bersikap waspada ketika nanti ada p*********n, tidak ada yang tahu apa yang terjadi.
Beberapa wanita berpakaian aneh bersama seorang pria tiba-tiba mengelilinginya. Mahesa segera berdiri di depan Zein, ia memposisikan dirinya sebagai perisai untuk melindungi putra mahkota Bintang Tenggara.
“Kalian tidak bisa melewati kami, jika ingin pergi, maka serahkan mahkota kalian.” Salah seorang pria dengan sikap angkuh memberikan persyaratan.
“Maksudnya, kami harus mendapatkan kepuasan dari kalian. Tidak perduli kalian berdua adalah seorang pria, kami sangat bersedia kalian memberikan benih pada wanita-wanita di sini,” timpal salah seorang lagi.
Zein mengerutkan kening, sepertinya mereka ini manusia tidak bermoral. Hanya butuh benih dari seorang pria, tidak perduli apakah pria tersebut suaminya atau bukan.
“Aku tidak tertarik, kalian tawarkan yang lain saja.”
“Sombong! Apakah kamu merasa jijik dengan wanita-wanita cantik di sini, hanya perlu memberikan benih setelah itu bisa pergi,” amuk salah satu wanita merasa terhina.
“Sangat,” balas Zein datar.
“Apa?! jadi menurutmu kami ini menjijikkan?! kalau begitu, kamu meninginkan sebuah kematian ternyata.”
Zein tidak menjawab, menurutnya tidak ada manfaatnya berbicara dengan manusia tidak memiliki akal,”pangeran Zein, jangan sampai anda tidak perjaka setelah dari sini,” bisik Mahesa.
“Aku akan memotong benda pusakamu!” ancam Zein kesal, disituasi seperti ini masih saja membahas masalah seperti itu.
Mahesa menahan tawa untuk tidak tersenyum, rasanya sangat menyenangkan bisa berduaan dengan pangeran kecilnya tersebut. Ia tidak menyangka bisa membuat pangeran Bintang Tenggara tersebut kesal. Sejak dulu mereka selalu bersama, dirinya selalu mengajari sang pengaran dalam segala hal bahkan sering ditolak, tapi tetap saja maksa. Tapi sekarang, jangankan untuk mengajari, berbicara saja langsung ditepis.
Pria itu tidak akan pernah menyerah untuk melindungi calon penguasa Bintang Tenggara yang sesungguhnya.
“Bersiaplah, tapi tidak perlu terlalu kasar. Mereka tidak memiliki kekuatan yang besar, mereka hanya menang jumlah saja.” Zein kembali bersuara. Mahesa memperhatikan orang-orang tersebut, dari penampilannya kelihatannya justru orang-orang yang memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Lalu darimana bisa dikatakan kalau mereka tidak memiliki ilmu yang tinggi?
“Pangeran, tapi sepertinya mereka ini orang-orang yang sudah terlatih. Lihat saja baju mereka setengah terbuka, bahkan wanitanya hampir menampakkan buah dada.”
Api membara muncul di sekitar Zein, pria itu sedang membicarakan apa? Sampai melihat penampilan orang dari penampilan. Dipikir ini membahas ahli dalam pertarungan di atas ranjang?.
“Sebaiknya tutup mulutmu, atau aku akan memotong lidahmu!” geramnya.
Mahesa langsung kcep sepertinya pangeran mahkota Bintang Tenggara tersebut sudah salah sangka, tapi lebih baik diam saa dari pada nanti kenak marah.
“Serang!!!”
Para begal perampas kehormatan pria dan wanita itu mulai menyerang secara bersamaan, Zein dam Mahesa bersiap untuk menghadang mereka. Tidak siapapun diizinkan untuk untuk menyentuh calon raja.
Zein menangkis serang tombak yang mengarah pada dirinya, tidak disangka meski seorang wanita lawannya kali ini sepertinya sangat ahli dalam tenaga dalam. Tatapan wanita tersebut sungguh membuat dirinya jijik, sering menjulurkan lidah seperti ular sungguh membuat mual dan ingin muntah.
“Tampan, sepertinya kau tidak dalam keadaan sehat. Lihatlah, kau sudah berkeringat padahal kita belum melakukan apapun,” remehnya.
“Kau terlalu meremehkan lawanmu, nona.” Zein langsung menyentakkan lawannya dan memberikan serangan balik, wanita tersebut bukanlah seorang wanita yang harus diperlakukan lemah lembut, kalau tidak ditendang mungkin saja akan kembali membuat ulah.
Wanita tersebut terlempar cukup jauh setelah mendapat tendangan dari lawannya, tidak disangka kalau ternyata pria rupawan terlimat manis itu bisa melukainya. Sepertinya ia memang tidak bisa meremehkan lawan tandingnya.
“b******k! Aku akan membunuhmu. Memotong benda pusakamu dan kujadikan sup,” raungnya.
“Lakukan kalau kau mampu!” Zein menekut tiga jari menyisakan jari tengah dan jari telunjuk, ia mengarahkan kedua jari tersebut kearah wanita tersebut, seketika seperti ada benang tak kasat mata mengikat wanita tersebut hingga membuat sang wanita meronta ingin dilepaskan.
“Aku bukan orang yang bisa dilecehkan sesuka hati, jangan pernah bermimpi bisa menyentuhku. Kamu harus tahu itu.”
Mahesa tersenyum lega melihat perkembangan pangeran kecilnya, ia yakin almarhum raja Ilyasa akan merasa bangga melihat putranya sudah menjadi kesatria tangguh dari atas sana.
“Yang Mulia Raja, apakah anda melihat? Sekarang pangeran Zein sudah sangat tangguh. Sekalipun racun dalam tubuhnya belum sepenuhnya hilang, tapi dia mampu mengalahkan musuh,” gumamnya.
Terlalu fokus pada lamunannya, pria itu tidak sadar kalau ada seorang pria mengayunkan pedang padanya, untunglah Zein melihatnya dan langsung menghadang perang tersebut,”matamu kemana?!” omelnya.
Mahesa tersenyum, sepertinya putra mahkota itu sangat tidak sabaran. Suka sekali marah-marah, tapi biarlah yang terpenting sekarang adalah mengalahkan penjahat tersebut dan segera pergi meneruskan perjalanan. Waktu mereka tidak banyak, kalau tidak segera bergegas, ratu penjahat pria itu akan melarangnya karena dianggap tidak mematuhi aturan dan perjanjian.
“Maaf, pangeran.”
Mahesa dan Zein terbelalak melihat puluhan anak panah mengarah pada mereka, tidak disangka ternyata para perampok kehormatan itu memiliki pasukan panah untuk menyerang. Tapi bukan berarti mereka akan mudah dikalahkan.
Zein melompat keudara lalu menyimpan pedangnya lalu mengeluarkan kekuatan elemen angin, ia melemparkan panah-panah tersebut kembali pada pemiliknya dengan jurung p****g beliung. Para perampok kehormatan itu berlari kocar-kacir karena takut terkena panah sendiri.
Mahesa tersenyum bangga pada pangeran Bintang Tenggara tersebut,”Yang Mulia raja Ilyasa, putramu sekarang menjadi kesatria tangguh. Saya yakin dia mampu membalaskan dendam anda dan permaisuri.”
Zein Zulkarnain mendarat dengan sempurna, ia menatap puas tempat kosong yang tadinya penuh dengan penjahat kehormatan.
“Ayo pergi, sebentar lagi kita akan masuk pintu gerbang desa Kemangi. Kau harus mempersiapkan diri, pakai masker agar terhindar dari wabah penyakit.”
“Baik, pangeran.” Mahesa dengan patuh mengikuti pangeran Bintang Tenggara tersebut, ia sebenarnya sudah menyelidiki tentang wabah di desa tersebut. Sebuah virus entah darimana datangnya dari satu orang menyebar ke orang yang lain, hanya saja tidak satu pun tabib hingga sekarang mampu menangani virus tersebut. Sekarang mereka berdua harus melewati tempat tersebut, hanya mampu berharap bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada sang pengeran.