16. Cobain

1092 Kata
"Sudah kok Pak, Alhamdulillah. Ini Bapak lagi gak sibuk atau gimana?" Tanya Diki yang tahu akan kesibukan Rama. "Kebetulan sedang longgar Pak Diki, mari silakan duduk." Ucap Rama mempersilakan Diki duduk. Mereka berjalan dengan susunan Doni memimpin jalan diapit oleh Reina dan Reino, setelahnya ada Bella dan Yuni yang kini asik bersenda gurau. Untuk Naya dan Risma tepat di depan Rama dan Diki yang ada dipaling belakang. "Om Doni mukanya kok ditekuk, ada apa Nay?" Tanya Risma yang peka dengan keadaan sekitar. "Gak apa-apa kok. Perasaan lu aja kali." Elak Naya dengan wajah risaunya. "Gak bakat bohong, gak usah bohong!" Risma kemudian duduk tepat di samping Doni, karena Reina duduk di pangkuan Doni. "Om ada masalah?" Bisik Risma karena khawatir didengar oleh Reina yang posesifnya naudzubillah jika dengan Doni. "Enggak kok, masalah apa?" Risma hanya menggelengkan kepalanya mendengar itu. Tidak Doni, tidak Naya, keduanya sama-sama tidak pandai berbohong. Mereka sama-sama terlihat risau ketika mengatakan tidak ada masalah diantara mereka. "Kalian hebat ya, sama-sama gak pinter akting aja pada belagu bohong." Ceplos Risma gemas. "Akting? Siapa Neng?" Tanya Yuni yang sedari tadi matanya mengamati tingkah Risma. Memang benar telinganya fokus pada Bella, namun matanya fokus pada Naya, Risma dan Doni yang masih asik bicara. "Mamah perasaan lagi ngobrol sama Mbak Bella deh. Ngapa jadi kepo banget dah." Gerutu Risma dalam hati. "Mamah salah denger kali." Yuni menggeleng karena beliau memang mendengar dengan jelas apa yang tadi diucapkan oleh putrinya. "Mamah masih sehat ya Neng pendengarannya." Yuni menatap sengit putrinya yang selalu membuatnya naik darah. "Iya-iya Mamah sehat." Ucap Risma akhirnya mengalah. "Kamu hobi banget bikin Bu Yuni emosi." Ucap Doni setelah melihat perdebatan antara ibu dan anak. Mereka kini sudah ada di lantai 3 restoran Doni yang lebih privat. Tak banyak orang yang mereservasi lantai 3, karena bukan hari libur. "Pak Doni...." Panggil Yuni dengan mata berbinar. "Iya Ibu, ada apa?" "Pak Doni gak butuh orang buat cuci piring atau apa gitu?" Tanya Yuni yang membuat ruangan privat itu tiba-tiba hening. Semua mata kini tertuju padanya. "Eh saya salah ngomong ya?" Tanya Yuni ketika mereka memusatkan pandangan padanya. "Mamah mau cuci piring di restoran Om Doni?" Tanya Risma dengan mata berembun, "biar aku aja Mah yang kerja. Mamah di rumah aja." Yuni menggelengkan kepalanya dengan kesalahpahaman ini. "Bukan Neng, bukan Mamah yang mau kerja. Tapi anak tetangga kita yang lagi nyari kerja." Risma menghembuskan napas leganya mendengar itu. Diki sudah pucat pasi mendengar istrinya menanyakan perihal pekerjaan pada Doni. Ketika mendengar penuturan istrinya, Diki langsung geleng-geleng kepala dan mengurut dadanya lega. "Siapa? Anak tetangga kita masih pada sekolah Mah." Yuni mengangguk. "Nadia, dia tau kalau Ibunya berjuang sendiri Neng, kan Ayahnya udah meninggal. Dia gak mau nyusahin banyak orang katanya." Yuni mengatakan hal tersebut dengan suara yang tiba-tiba saja lirih, suaranya bergetar. Beliau seolah mengingat bagaimana perjuangan ibunya Nadia yang sedang berjuang demi masa depan putrinya. Tak peduli siang dan malam, beliau terjang demi mendapatkan pundi-pundi uang dari tempatnya kerja. "Maaf Bu Yuni, kira-kira Ibunya si Nadia ini umur berapa ya?" Tanya Doni mulai mempertimbangkan ucapan Yuni. "Sekitar 40 tahunan Pak Doni, kenapa ya?" Tanya Yuni takut-takut. "Begini Bu, kalau saya memperkerjakan anak usia dibawah 18 tahun yang ada saya yang menyalahi aturan. Jika berkenan biar Ibunya Nadia saja yang kerja di sini. Tapi jaraknya lumayan juga Bu kalau dari rumah. Apa beliau mau?" Yuni nampak manggut-manggut mendengar itu. "Nanti saya coba tanyain ya Pak Doni." Doni mengangguk mengiyakan. "Perasaan gak jauh deh Om kalau naik motor paling 20 menit, aku aja tadi naik g*jek cuma 15 menit sat set banget abangnya." Ucap Risma yang diangguki Diki dan Yuni. "Ya barangkali kejauhan menurut Ibunya Nadia, Ris. Om kan gak tau beliau mau atau enggaknya." Yuni mengangguk setuju dengan itu. Karena bagaimanapun keputusan ada pada Kemala, Ibunya Nadia. "Yaudah nanti kita obrolin aja sama Kemala sama Nadianya. Jadi gak enak ini sama Pak Rama sama Pak Doni, dateng-dateng malah minta kerjaan." Ucap Diki tak enak hati. "Santai aja Pak, selagi masih bisa membantu akan kami bantu." Rama turut menyahuti ucapan Diki. Ya inilah Rama dan Doni, selagi orang yang meminta pekerjaan bisa dipercaya maka mereka akan memberikan yang terbaik untuk kedepannya. "Kado udah dikasih?" Tanya Naya ketika suasana kembali riuh karena obrolan orangtua masing-masing. "Belom, ini masih ada di dalem tas." Ucap Risma sambil melirik tasnya untuk memberi kode Naya. "Lah ayo kasiin ke Tante, mumpung momennya mendukung." Risma menggelengkan kepala ketika mendapati tawa riang ibunya bersama Bella. "Bentar lagi Nay, nunggu Mamah diem dulu. Noh liat Mamah asik banget ngakaknya." Tunjuk Risma yang membuat Yuni mengalihkan pandangannya. "Ada apa?" Tanya Yuni penuh selidik. "Gak ada apa-apa Mah. Oh iya Mah, tolong pegangin tas Risma dong. Risma mau ke kamar mandi dulu." Ucapnya lalu menyerahkan tas yang sedari tadi dibawanya. Diki dan Yuni tak mengetahui jika di dalam tas yang dibawa oleh putri mereka adalah sebuah kejutan untuk Yuni. Naya menatap kesal ke arah Risma, tadi dia bilang nanti saja. Namun, sekarang sudah mulai mengeksekusi. "Bocah sableng." Gumam Naya ketika Risma sudah beranjak setelah menanyakan perihal letak kamar mandi pada Doni. Setelahnya Risma kembali duduk dan melihat tasnya masih berada di pangkuan ibunya. Senyumnya terbit, otaknya berpikir ini adalah momen pas untuk memberikan kejutan itu pada ibunya. "Mah...." Panggilnya yang membuat Yuni menolehkan kepalanya. "Iya Neng, kenapa?" Tanya Yuni dengan senyum manisnya. "Yaelah Mah pake senyum-senyum ganjen segala, tolong ambilin hp Risma di tas dong." Yuni melotot mendengar ucapan Risma. "Gak sopan ya, Mamah dibilang ganjen lagi. Nih ambil sendiri." Yuni menyerahkan tas Risma dengan kesal. "Tolong ambilin Mah, tangan aku basah." Itu hanyalah alasan Risma agar Yuni mau membuka tasnya lalu memberikan ponselnya. "Eh Neng ini kok ada beginian? Ini apaan?" Tanya Yuni penasaran melihat kotak beludru di dalam tas Risma. "Eh jangan dibuka Mah, itu titipan orang. Itu buat orang spesial Risma. Mamah gak boleh buka!" Makin dilarang, Yuni makin penasaran lalu membuka kotak yang berwarna biru pekat. Matanya membola melihat isi dari kotak tersebut. "I-ini punya siapa Neng?" Tanya Yuni dengan terbata. "Punya orang Mah, orang spesial." Ucap Risma sambil menyeruput jus yang baru saja diantar oleh pramusaji. "Kalo punya orang ngapain di tas kamu? Ini barang mahal Neng, jangan ngawur kamu bawa-bawa barang beginian." Tegur Yuni yang membuat Diki mendekat di samping Yuni. "Besok kembaliin ya Neng. Papah takut nanti kalo ilang, pasti mahal harganya." Risma menggelengkan kepalanya ketika Diki memintanya untuk dikembalikan pada sang pemilik. Doni mana mau menerima gelang serta kalung tersebut, Doni jika sudah memberi enggan untuk memintanya kembali. "Gak mau Pah. Mah cobain deh, barangkali pantes." Pinta Risma yang mendapat pelototan tajam dari Yuni dan Diki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN