“Oh!” seruku sambil menoleh ke arahnya.
Tangan laki-laki ini terangkat dan seketika kilatan-kilatan lampu blitz yang menyerbu dari kamera berhenti.
“Kesh!” serunya sambil masih menahan geram ketika aku berulang kali membentuk berbagai bentuk senyum yang mungkin sesuai dengan permintaannya.
“Ah! Bagaimana?” keluhku sambil menurunkan posisi bahu.
“Uh ...!” keluh Aldar sejenak kemudian tampak ia berusaha menenangkan diri.
“Bayangkan ini adalah benar-benar hari pernikahanmu,” ucapnya setelah tampak tenang.
“Benar-benar sebuah pernikahan yang sangat diinginkan olehmu,” lanjut Aldar sambil menatap dengan lembut.
Aku mengedarkan pandangan pada beberapa laki-laki yang entah itu siapa dan ada hubungan apa dengan laki-laki yang masih memandangiku dengan lembut, yang jelas beberapa di antara mereka memegang alat-alat dokumentasi seperti kamera dan video perekam. Huh bagaimana bisa menjalankan apa yang ia katakan barusan.
“Hilangkan pikiran tentang kesepakatan kita!” serunya kembali membuatku terkejut.
“Kok tahu?” celetukku heran, bagaimana ia bisa membaca apa yang ada di pikiranku.
“Lima menit lagi, maaf!” serunya pada beberapa laki-laki yang langsung mengangguk patuh.
Aldar kembali menoleh ke arahku dan itu artinya aku harus sudah siap dengan senyum tulus yang diminta. Uh! Beberapa kali mengatur napas untuk mendapatkan sedikit ketenangan, agar senyum ramah kamera itu segera terbentuk di mulut ini.
Beberapa saat kemudian, walaupun tidak sesuai ekspetasi, tetapi usaha membentuk senyum pesanan itu akhirnya diluluskan oleh laki-laki ini.
“Berlatih lebih keras lagi, senyum-senyum itu harus terus terbentuk hari ini,” ucapnya dengan suara perlahan.
“Hah! Maksudnya?” ucapku bingung sambil mengikuti langkahnya keluar dari ruangan milik pemerintah ini.
“Sebentar lagi juga tahu,” jawab Aldar sambil menyunggingkan senyum yang hanya nampak di salah satu sudut bibir.
Aku tidak memperhatikan lagi beberapa orang yang tadi menyambut Aldar di kantor ini karena mereka berjalan di belakang kami, salah satu dari mereka terlihat masih mengoperasikan kamera ketika mobil yang tadi membawa kami ini berjalan meninggalkan kantor pemerintah ini.
Matahari bergulir ke tengah, sinar teriknya terasa ketika mobil ini berhenti di sebuah bangunan mewah dengan pilar-pilar bulat berdiameter besar dan aku harus turun dari mobil untuk mencapai pintu megah yang berada di tengah-tengah pilar itu.
“Tempat apa ini?” ucapku dengan suara pelan.
Aldar hanya mengerling untuk menjawab pertanyaan itu.
Sepertinya tidak perlu bertanya lagi karena mungkin akan mendapatkan jawaban dengan cara yang sama.
“Selamat datang,” ucap seorang wanita dengan stelan kemeja dan rok yang sepertinya seragam dari tempat mewah ini, di beberapa sudut ruang utama bangunan ini terlihat beberapa wanita menggunakan baju yang sama.
“Silahkan,” ucap wanita itu sambil menuntun kami ke sebuah ruangan, aku pasrah dan hanya mengekor langkah Aldar yang mengikuti wanita itu.
Beberapa saat kemudian langkah-langkah kaki yang bergema berhenti di sebuah ruangan dengan etalase kaca yang tertutup oleh tirai yang menyentuh tanah.
“Kamu boleh menentukan baju untuk acara tadi pagi, tapi tidak dengan sore ini,” ucap Aldar sambil menunjuk etalase yang tertutup tirai itu.
Mata ini mengikut telunjuk laki-laki yang berdiri dengan tenang di sampingku ini. Wanita yang menuntun kami ke ruangan ini kemudian menganggukkan kepala ke arah Aldar dan kemudian dengan cekatan membuka tirai.
“Woah!” seruku ternganga.
Sebuah baju pengantin ala barat berwarna putih tulang dengan model sederhana tetapi tak mampu menyembunyikan kemewahannya terpampang di depan mata.
“Ini?” ucapku kaku.
“Ini outfit terindah abad ini,” balas Aldar sambil tersenyum menyeringai.
“Suka?” tanyanya ketika aku masih ternganga.
“Eh di sini tidak ada pilihan suka atau nggak suka. Yang ada ‘harus suka’ karena ini pilihanku,” lanjut Aldar sambil menepuk-nepuk bahu ini.
“A-apa nggak bisa yang biasa aja?” protesku sambil kembali melihat wajahnya.
“No, absolutely not,” jawab Aldar tegas.
Aku melangkah mendekati etalase itu. Dan hanya dengan memandang, mata ini mampu menggambarkan bahan yang akan terasa nyaman jika dikenakan dari gaun itu. Bahan yang sedikit bersinar itu tampak benar-benar lembut. Beruntung sekali, model gaun ini tidak menampakkan belahan di bagian tubuh mana pun. Gaun ini hanya memiliki lengan pendek dengan sedikit aksesoris di bagian bahu. Bagian bawah gaun yang menjuntai ke tanah seperti banyak ditemukan pada gaun-gaun pengantin pada umumnya mungkin masih bisa kumaafkan.
“Silahkan!” ucap pegawai wanita itu yang ternyata telah berdiri di sampingku.
“Hah?” tanyaku heran.
“Memang Kamu mau ganti baju di sini, Kesh?” seru Aldar dari tempatnya semula.
Kata “ganti baju” yang diucapkan Aldar ternyata bukan sesederhana dengan apa yang ia ucapkan. Kata itu memiliki makna konotasi karena pada kenyataannya aku harus menjalani serangkaian prosesi make over seperti apa yang pernah kulihat di reality show televisi di ruangan yang lain.
“Harus ya Mbak seperti ini?” protesku pada pegawai wanita yang dari pertama membawaku ke ruangan ini.
Wanita ini malah tertawa dan menampakkan sedikit ekspresi heran dengan pertanyaanku. Beberapa pegawai wanita yang ada di ruangan ini ikut menolehkan kepala mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut ini.
“Ini ‘kan sekali seumur hidup, Kak,” jawabnya lembut, mungkin keprofesionalan harus diutamakan dengan menyingkirkan rasa heran yang tadi sempat tampak di raut wajahnya.
Huuh.... Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang untuk meredakan ganjalan yang menggumpal dalam d**a. Ingatan ini kembali pada kedua orang tuaku. Andai ... andai ini adalah pernikahan yang wajar dan mereka masih ada, tentu ini akan menjadi hari yang paling membahagiakan bagi semua.
“Aahh ...,” seruku sambil mengibaskan tangan.
“Ya, Kak? Apa ada yang salah?” ucap satu pegawai wanita yang sedang merapikan gaun yang kupakai.
“E-enggak, Mbak,” jawabku sambil melemparkan sedikit senyum.
Rupanya, tak sadar apa yang ada dalam hati terucap, mungkin pernikahan ini bukan pernikahan biasa, tetapi mungkin pernikahan seperti ini bisa jadi yang diinginkan oleh sebagian gadis di luar sana. Aku menatap pantulan diri yang ada di kaca besar ini.
Kaca besar ini mendadak bergeser dan beberapa langkah di depanku, seseorang dengan tuxedo berdiri dengan tenang.
“Wah!” serunya sambil bertepuk tangan.
“Benar ‘kan? Aku benar-benar tidak salah pilih model baju,” lanjutnya sambil masih tetap bertepuk tangan.
“Gaun itu mampu memunculkan semua kecantikan yang Kamu sembunyikan,” ujarnya sambil mendekat.
Kata-kata itu tak urung membuatku sedikit malu, biasanya yang mengatakan hal seperti itu hanya kedua orang tuaku.
“Ayo saatnya kita ke sana!” ujarnya sambil menggandengku.
“Ke mana lagi?” protesku sedikit kesal.