Siapa Mereka?

1023 Kata
“Ayo!” seru Aldar sambil sedikit menarik tanganku, badan ini bergeming. “Duuh!” serunya sambil bergerak sedikit ke belakang dan berusaha mengangkatku. “Kayaknya aku masih bisa jalan sendiri,” ucapku risih, beberapa pegawai wanita yang ada di ruangan itu tampak tersenyum-senyum melihat kami berdua. “Ya sudah, makanya ayo jalan!” ucap Aldar sambil menggandeng tangan ini. Aku melepaskan tangannya dan berjalan sendiri ke luar, sedetik kemudian terdengar gelak tawa Aldar dari arah belakang. Sampai di bagian depan gedung megah ini terlihat satu mobil mewah telah dihias dengan pita-pita di bagian depan dan belakang. Aku berdiri mematung. “Hah! Kemana mobil yang tadi?” ucapku heran. “Tak ada berarti tak ada-lah...,” sahut Aldar yang telah berdiri di sampingku. “Hah! Bisa ya begitu?” lanjutku masih terheran-heran, dipikiranku itu adalah suatu pemborosan, coba kenapa harus ganti mobil? “Aku gak tahu kalau ada yang gak bisa dilakukan,” jawab Aldar diplomatis, entah di kuping ini kalimat itu terdengar sebagai kesombongan yang tidak bisa diganggu gugat. “Ayo masuk!” ucapnya sambil kembali menuntun tangan ini sambil bergerak menuju pintu mobil yang telah dibuka oleh seseorang yang mengenakan stelan kemeja yang rapi. Aku bergegas mengikuti langkah kakinya sebelum laki-laki itu kembali berniat menggendongku. Mobil mewah ini berhenti di sebuah resort di pinggir pantai ketika aku masih belum dapat memilah antara keinginan, imajinasi dan kenyataan. Keinginan untuk segera pergi dari tempat ini, imajinasi tentang sebuah pernikahan yang harusnya tidak seperti ini dan kenyataan di mana aku sudah tidak dapat bergerak lagi. Apa yang akan kuhadapi nanti? “Aku selalu mengimpikan hal ini terjadi dalam hidupku,” ucap Aldar sebelum membuka pintu mobil. “Yah, walaupun enggak sempurna-sempurna banget, tapi okelah...,” lanjutnya dengan ekspresi wajah yang tidak dapat kutebak. “Ayo!” ucapnya ketika pintu mobil sudah terbuka. “Woah!” seruku ketika turun dan menyaksikan suasana resort di sore itu, lukisan alam yang luar biasa ini menjadi pereda pertikaian dalam pikiran. Luar biasa, pantas saja pulau ini menjadi destinasi impian bagi banyak orang, baik hanya berwisata ataupun untuk melangsungkan acara-acara istimewa. Moodku membaik dan melupakan semua kisah dibalik apa yang terjadi hari ini. Batas garis pantai yang mempertemukan pasir dan lautan begitu indah memesona mata. Keindahan itu pun diamini oleh ombak yang berdebur lembut menghantarkan buih-buih yang terpecah ketika menjejak daratan. Langit mencapai kemegahan puncak ketika warnanya berubah. Gradasi warna bermain bak lukisan tanpa batas. Jingga mulai mendominasi menghilangkan biru dan putih yang semula merajai. Tak jauh dari garis pantai, empat tiang didirikan di atas sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi. Empat tiang itu ditutupi dengan bunga-bunga berwarna putih dan kain-kain berjuntai indah yang berkibar-kibar tertiup angin pantai. Kain-kain itu dikaitkan untuk menghubungkan keempat tiang tersebut. Jika pada pernikahan yang lain panggung sederhana yang cantik itu akan dikelilingi dengan banyak kursi-kursi tamu, panggung elegan itu hanya menyediakan kursi untuk beberapa gelintir tamu. Namun, hal itu tidak mengurangi keindahan yang hadir dari suasana yang indah ini. “Sebentar,” ucap Aldar sambil mengajakku menuju sebuah ruangan yang berada di dalam resort, hati ini sedikit kecewa karena ingin segera menuju pantai yang indah itu. Aku menurut dan sejenak menunggu di ruangan ini dan duduk dengan sedikit tidak tenang, mood yang sempat membaik tadi menurun karena berada di ruangan ini sendirian. “Semua sudah siap,” ucap Aldar ketika memasuki ruangan ini, setengah jam berlalu begitu saja untuk persiapan yang ia katakan itu. “Ingat! Jangan sampai muncul senyum pemakaman itu!” ancamnya, aku tertawa dalam hati mendengar ucapannya. Kursi-kursi yang tadi terlihat kosong sekarang terisi, dalam sekilas pandang kuhitung orang-orang yang ada di sekitar panggung elegan itu. Dua orang perempuan dan empat orang laki-laki itu tampak menolehkan kepala ketika aku dan Aldar memasuki spot indah di pinggir pantai ini. Aku menoleh pada Aldar yang tersenyum dengan bahagia. Hah! Bahagia sekali ekspresi wajahnya. Jujur aku ingin tahu apa yang ada di pikiran laki-laki yang secara hukum telah resmi sebagai suamiku ini. Apa dia benar-benar sebahagia itu? Apa yang kira-kira sebenarnya telah terjadi hingga ia mau menjalankan a consent marriage ini? Kepala ini ganti memandang segelintir tamu yang hadir dan tengah memandang dengan kaku, wajah-wajah dengan ekspresi angkuh. Hanya seorang laki-laki yang tampak memancarkan ekspresi tenang. Ia mengangguk ketika tatapannya bersirobok dengan pandangan mata Aldar dan ... mataku. Satu lagi yang tampak menyolok dengan senyum semringahnya adalah seorang gadis yang mungkin usianya tak begitu jauh dari usiaku. Hanya dia yang memiliki senyum lebar memikat. Aku membalas senyumnya dengan bahagia. “Gladys!” seru wanita yang duduk di sebelahnya dengan ekspresi wajah tak senang. Senyum gadis itu auto memudar mendengar seruan itu. “Hah!” seruku pelan dengan penuh keterkejutan. Siapa mereka? Apa keluarga Aldar? Siapa perempuan yang melarang gadis itu tersenyum? Apa mertuaku? Di otak ini langsung terbayang derita menantu disiksa mertua yang sering ada di tayangan drama televisi. Seram sekali .... “Kesh ...,” ucap Aldar lembut. “Hem?” balasku bingung, pikiran dan pandanganku masih tertuju pada para tamu yang dari panggung ini tampak lebih jelas. “Marakesh, apa pikiranmu sudah di sini?” sindir Aldar sambil masih tersenyum. Ingin sekali saat ini juga, mulut ini melontarkan pertanyaan tentang identitas siapa saja yang hadir itu. Tetapi, alih-alih mengeksekusi rasa penasaran, mulut ini justru terkunci ketika pandangan mata jatuh pada sebuah cincin yang nampak cantik yang berada di jari jemari Aldar. “Tanganmu!” ucapnya pelan. “Hah?” ucapku bingung. “Kesh!” seru Aldar sambil geleng-geleng kepala. “Oh!” balasku kemudian menyadari cincin itu akan dipasangkan di jari manisku, oh aku lupa ini adalah prosesi pernikahan yang ada dipikiran orang-orang pada umumnya. Suara tepuk tangan yang berasal dari enam pasang tangan terdengar setelah cincin itu terpasang. Sebuah teriakan riang terdengar nyaring, aku yakin itu berasal itu berasal dari gadis dengan senyum lebar yang dipanggil Gladys tadi. “Ayo turun!” ucap Aldar sambil menggenggam tanganku. Keenam tamu itu berdiri dan berjalan mendekat menyambut kami berdua ... em ... menyambut Aldar tepatnya dengan senyum formal yang tentu saja tertuju pada laki-laki yang mereka sambut itu. “Hem, jadi ini si Gold Digger,” ucap wanita dengan pandangan angkuh itu begitu posisinya dekat denganku. “Ya?” seruku menahan geram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN