Pagi hari ini, Queen nampak segar, perempuan ini sepertinya baru saja menyelesaikan ritual pagi harinya, Mandi. Seperti biasa, jika dia berada di kamarnya, Queen akan lebih sering menghabiskan waktu di balkon. Setelah semalam, dia memutuskan untuk mencari tahu sesuatu yang mengganjal dalam benaknya mengenai penukaran memori saat acara pernikahannya yang gagal kemarin, Queen jadi mulai bertanya-tanya.
Bahkan dia mulai penasaran dengan sosok yang sempat dia lihat direkaman CCTV semalam. Sehingga dia berharap jika suatu hari nanti, dia bisa menemukan orangnya. Pagi ini, dia duduk seorang diri dengan ditemani secangkir teh hijaunya. Dia menyesapnya beberapa kali, lalu dia beranjak dari atas kursi, dan mengayunkan kakinya beberapa langkah.
Disana, dia berpegangan pada tralis, Queen menatap kosong ke arah bawah, melihat hamparan taman mansion. Tidak ada senyum yang terukir di bibirnya seperti biasa, karena taman tersebut hanya akan kembali mengingatkannya dengan kejadian tragis beberapa pekan lalu.
“Haahh … padahal sebelum itu, aku melihat jika kamu adalah sosok yang sangat baik dan tulus, Liam. Tapi, kamu malah mengecewakanku seperti ini.” Queen bergumam tentang Liam. Pria yang hampir saja menjadi suaminya. Queen kembali mengingat bagaimana saat dia memutuskan untuk menerima Liam dalam hidupnya.
…
[Flashback Dua Bulan Yang Lalu]
Mansion Alexander's | London, UK
Ruang santai | 07.45 AM
Ruang santai yang didesain khusus oleh pria bernama Marchell Alexander's adalah tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu kumpul bersama. Di atas meja bundar yang cukup besar, disana tersedia berbagai macam jenis toples kue kukis sebagai cemilan ringan untuk mereka.
Tak lupa, jika kue tersebut dibagikan menjadi dua bagian. Mengingat jika Mansion Alexander's dihuni oleh tiga lansia. Tentu sang menantu satu-satunya Alexander's akan sangat overprotektif kepada mereka bertiga. Terlebih urusan makanan.
"Sayang…?" Panggil seorang wanita paruh baya. Dia adalah Kayla Angelina Smith.
"Bagaimana hubungan mu dengan Liam?" Tanya Kayla pada sang putri. Queen Calista. Perempuan itu menatap ke arah sang Mama dan mengulas senyum tipisnya.
"Baik, Ma." Jawab Queen singkat. Kayla mengangguk pelan.
Yah … Kayla sedang mempertanyakan tentang perkembangan hubungan sang putri dengan pria yang sedang dekat dengan perempuan itu saat ini. Pria berusia 28 tahun yang bernama Liam Orlando, merupakan putra dari rekan bisnis Marchell. Yang tak lain adalah Ayahnya Queen.
Setelah kejadian tiga tahun yang lalu, Marchell berusaha memberikan yang terbaik untuk putrinya. Beberapa kali Marchell mengenalkan Queen dengan seorang pria, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Entah, Marchell sedikit bingung. Namun kali ini, pria paruh baya itu berharap, semoga saja ini adalah yang terakhir dan juga yang terbaik untuk sang putri.
Mengingat jika Liam adalah sosok pria yang tampan dan juga berwibawa. Pria itu juga pebisnis sama seperti putra-putra Marchell yang lainnya. Marchell yakin jika Queen tidak akan sulit untuk menerima Liam. Dan terbukti, selama beberapa bulan mereka saling mengenal, Queen nampak sangat nyaman dengan Liam.
Pria itu sangat baik dan bisa mengimbangi Queen yang sedikit keras kepala dan juga manja. Tidak masalah. Liam menyukainya. Bahkan sepertinya pria itu sudah benar-benar jatuh cinta dengan Queen dan tidak sabar untuk menjadikan Queen sebagai istrinya.
"Kak! Kakak sudah jatuh cinta belum, sama Kak Liam?" Tanya seorang gadis berusia 23 tahun. Dia adalah Arabella Laura. Putri bungsu Marchell dan Kayla. Queen menatapnya dan tersenyum. Lalu, perempuan itu lekas mengangguk.
"Hem! Sudah, Raa. Aku sudah mencintainya," Jawab Queen. Santai.
Jawabnya tersebut sontak menarik perhatian semua orang, termasuk sang Papa, Marchell. Pria paruh baya itu menatap lekat wajah cantik putrinya. Marchell sama sekali tidak mempercayai pengakuan sang putri. Marchell yakin jika sampai detik ini, Queen masih mencintai Davien. Pria yang sudah dia anggap seperti putra kandungnya sendiri.
Pria yang saat masih bayi sudah diharapkan oleh Marchell untuk menjaga putrinya dan dijadikan menatu olehnya. Namun pria itu adalah pria pertama yang menghancurkan hati putrinya.
"Apa menurutmu dia sangat tampan, Raa?" Tanya Queen pada Arabella. Mendengar pertanyaan kakaknya, gadis itu sontak mengangguk antusias.
"Yeah! Dia sangat tampan sekali. Tapi … kalau dibandingkan dengan Kak Maxent, eumm … masih tampan Kak Maxent menurutku." Ujar Ara dengan tampang polosnya.
Maxent yang dimaksud oleh Arabella adalah putra dari saudara sepupu Marchell, Luis Scott. Mendengar pengakuannya tersebut, sontak membuat semua orang tertawa termasuk Queen. Hanya satu yang memasang wajah datarnya. Dia adalah Alvino Michael Alexander's. Putra sulung Marchell dan Kayla.
"Tidak usah berlebihan!" Ketus Al, dingin.
Kini semua orang menoleh ke arahnya. Sedangkan Marchell, pria paruh baya itu malah mengangkat sebelah alisnya. Terlihat menyebalkan di mata Al. Jengah, karena semua orang menatapnya dengan tatapan aneh, Al pun lekas beranjak dari duduknya. Pria itu hendak melangkah, namun suara sang Grandma menghentikan pergerakannya.
"Mau kemana, sayang?" Tanya sang Grandma, Lorna. Al melempar tatapan lembutnya kearah wanita lansia itu.
"Ke kamar, Grandma." Jawabnya singkat. Lalu ia kembali melangkah bahkan tidak peduli dengan kalimat menyebalkan sang Papa, Marchell.
"Apa disini terlalu panas, huh." Teriak Marchell sambil menatap punggung lebar sang putra. Namun pria itu sepertinya tidak ingin menghiraukan papanya.
"Sayang! Berhenti menggodanya!" Ketus Kayla. Wanita itu paham dengan apa yang terjadi. Bukan hanya dirinya, tapi semua orang kecuali Arabella. Queen hanya terkekeh saat melihat Kakaknya yang dingin dan datar sedang terbakar api cemburu.
Ddrrttt … ddrrttt … ddrrttt
Liam is calling…
Ponsel milik Queen berdering, sehingga sontak menarik perhatian semua orang. Queen melirik ke arah meja di depannya, dimana layar canggih itu menyala terang. Queen menegakkan tubuhnya lalu sedikit mencondongkannya ke depan. Dia menjangkau ponselnya disana, melihat satu nama yang baru saja menjadi bahan perbincangan mereka. Liam Orlando.
"Siapa, sayang?" Tanya sang Mama, Kayla.
"Liam, Ma," Jawab Queen melirik sebentar pada Mamanya.
"Jawablah. Jangan membiarkannya menunggu lama." Ujar Kayla memberi saran. Queen mengangguk.
Jemari lentiknya mulai berselancar diatas layar canggih tersebut. Ia menggeser tombol berwarna hijau disana dan panggilan pun mulai terhubung.
"Hallo?" Sapanya lembut.
"Apa aku mengganggumu, Baby?" Tanya Liam diseberang sana. Queen tersenyum, lalu menjawab.
"Ah, tidak. Kau tidak menggangguku sama sekali," Balas Queen. Semua orang kini fokus mendengarkannya.
"Hem… syukurlah. Apa nanti malam kau ada acara keluarga?" Tanya Liam. Sejenak Queen nampak berpikir, lalu ia kembali menjawab.
"Tidak. Malam nanti aku tidak ada acara apapun. Memangnya ada apa?" Queen balik bertanya.
"Aku ingin mengajakmu ke acara anniversary salah satu kolega bisnisku. Itupun jika kau tidak keberatan," Ujar Liam. Pria itu sangat berharap jika Queen mau menerima ajakannya, tapi dia tidak ingin memaksa.
"Tentu saja. Aku akan bersamamu nanti malam," Ucap Queen.
"Kau yakin?" Tanya Liam seakan tidak percaya.
"Sekali lagi kau meragukanku … aku tidak akan datang, Liam" Balas Queen. Sementara semua orang disana, mereka hanya bisa menggeleng pelan.
"Okay! Okay! Aku minta maaf," Ucap Liam diseberang sana. Queen tersenyum, tahu jika pria itu khawatir jika dirinya merajuk, lalu membatalkan niatnya.
"Baiklah. Kalau begitu, biarkan aku mempersiapkan diriku sekarang. Bagaimana?" Tanya Queen meminta persetujuan.
"Okay, Baby. Sampai jumpa nanti malam,"
"Hem!"
"I love you,"Ucap Liam terdengar tulus.
"Me too." Jawab Queen.
Tuttt … tuttt … tuttt
Panggilan terputus. Queen menatap layar ponselnya dengan senyum yang masih tersungging manis di bibirnya. Perempuan itu tahu jika saat ini orang-orang sedang memperhatikannya. Maka dari itu, Queen mulai memfokuskan pandangannya pada sang Mama.
"Mama, Papa … Liam ingin, jika aku menemaninya ke acara salah satu kolega bisnisnya. Apa aku boleh kesana?" Tanya Queen sambil menatap sang Mama dan Papanya secara bergantian. Kedua paruh baya itu tersenyum, lalu mengangguk. Dan Kayla pun membuka suaranya.
"Boleh, sayang. Tapi, ingat pesan Mama. Jangan konsumsi Alkohol, hmm?" Ujar Kayla mengingatkan. Queen tersenyum dan mengangguk.
"Aku selalu mengingatnya, Ma. Lagipula aku tidak menyukainya," Jawab Queen. Kayla tersenyum lembut saat menatap wajah cantik putrinya.
"Okay! Aku ingin ke kamarku dulu," Ujarnya. Kayla mengangguk pelan tanda menyetujuinya.
Queen beranjak, ia melangkah ke arah ketiga Lansia disana. Dominic, sang Opa. Jasson dan Lorna, sang Grandpa dan Grandmanya. Queen mengecup kedua pipi mereka masing-masing. Lalu, gadis itu pun melakukan hal yang sama kepada sang Mama dan Papanya. Setelah itu, Queen pun melangkah meninggalkan mereka semua disana.
…
Kamar Queen | 07.45 PM
Queen Calista Alexander's, perempuan berusia 24 tahun itu nampak fokus meneliti penampilannya. Malam ini, Queen terlihat berbeda, dia sangat cantik sekali. Tubuh rampingnya berbalut gaun yang sangat indah. Hampir satu jam lamanya, Queen menghabiskan waktu untuk berdandan, ia memoleskan riasan tipis di wajah cantiknya. Sedangkan rambutnya, hanya digulung rapi sehingga menampakan lehernya yang jenjang sempurna.
Ditambah dengan kalung berlian yang turut melingkar di lehernya menambahkan kesan mewah pada penampilan Queen malam ini. Perempuan ini menatap pantulannya pada cermin panjang disana, Queen berusaha mengulas senyum cantiknya. Dia mulai berlatih untuk memulai sandiwaranya. Sandiwara yang sudah beberapa tahun terakhir ini Queen mainkan.
‘Haah! Ayolah Queen! Kamu pasti bisa. Yah… kamu pasti bisa. Buat calon suamimu bangga denganmu. Dia orang yang baik Queen, dia pria yang tulus denganmu dan yang terpenting adalah dia mencintaimu.' batinnya sambil menatap pantulannya pada cermin disana.
Lagi-lagi, kata-kata itu kembali dia ingatkan. Queen mulai berprinsip jika yang paling penting saat ini adalah pria yang mencintainya, bukan dia yang mencintai.
‘Aku sudah pernah merasakan dan melakukannya. Aku gagal dan aku rasa tidak ada salahnya jika kali ini aku berprinsip seperti itu’
‘Tapi aku yakin, Liam. Aku yakin jika suatu saat nanti aku pasti bisa mencintaimu. Aku hanya butuh waktu. Waktu untuk melupakannya dan belajar untuk menerimamu.’ lanjutnya terus bergumam dalam hati.
Tokk! Tokk! Tokk!
“Kak…,” Queen mengerutkan kening saat mendengar suara ketukan pintu serta juga suara seseorang yang sedang memanggilnya. Siapa lagi jika bukan adiknya, Arabella. Queen lekas melangkah keluar dari walk in closet. Queen mengangkat gaunnya sedikit demi mempermudah langkah kakinya.
Ceklek!
Queen membuka pintu, di sana, Arabella berdiri dengan senyum lebar saat melihat penampilannya. Queen juga turut melakukan hal yang sama, membalas senyum adiknya.
“Waahh … Kak! Kau cantik sekali. Ya Tuhan... aku yakin jika kak Liam pasti bangga menggandeng mu malam ini,” puji Arabella, tulus. Sedangkan Queen, ia terkekeh geli saat melihat kehebohan sang adik bungsunya. Queen mengangkat tangan kanannya, lalu mencubit gemas pipi Arabella.
“Tidak perlu berlebihan?! Aku tahu jika kau hanya ingin menyenangkan hatiku, bukan?!” ujar Queen dengan picingan mata sehingga membuat Arabella lekas menggeleng cepat. Gadis itu tidak setuju dengan tuduhan kakaknya. Dia mengatakan hal yang sebenarnya. Queen memang sangat cantik.
“Isshhh, aku tidak berbohong, Kak. Sungguh, kau sangat cantik sekali” Queen tersenyum saat mendengarnya.
“Hem … okay! Terserahmu saja. But … terimakasih sudah memujiku,” balas Queen. Arabella tersenyum geli. Kakaknya ini selalu saja seperti ini, pura-pura jutek.
“Oh iya, ada apa kau kemari?” tanya Queen saat baru mengingat jika Arabella datang mengetuk pintunya pasti karena ada suatu hal. Sedangkan Arabella, gadis itu sontak menepuk pelan keningnya saat sadar jika dia lupa akan niat awalnya.
“Astaga ... aku lupa, Kak. Aku diminta Mama buat kasih tau Kakak, jika dibawah Kak Liam sudah menunggu,” jelas Arabella dan Queen pun lekas mengangguk pelan.
“Okay, aku akan segera turun.” ucap Queen.
“Apa ada yang bisa aku bantu, Kak?” tanya Arabella. Queen menggeleng dengan senyum tipisnya.
“Aku sudah selesai, Raa. Aku tinggal ambil tas dan aku akan segera turun. Kamu duluan saja, hmm?” Arabella pun mengangguk sambil menatap lekat wajah kakaknya.
“Iya sudah, aku turun dulu ya?” Queen hanya membalasnya dengan deheman singkat.
“Hem.”
Arabella memutar tubuhnya, gadis itu pun lekas meninggalkan kamar kakaknya dengan perasaan campur aduk. Arabella tahu apa yang saat ini dirasakan oleh Queen. Meski perempuan itu sedang tersenyum lebar, Arabella yakin jika hati Queen sedang bersedih. Queen belum mampu menyembuhkan luka di hatinya.
‘Aku tahu, Kak Davien sudah melukai hatimu, Kak. Tapi aku selalu berharap jika kau bisa kembali bersamanya. Mungkin terkesan jahat dan egois karena aku menutup mata akan keberadaan kak Liam. Tapi ... aku ingin melihat kakakku bahagia. Aku ingin melihatmu tertawa bahagia dan hidup bersama pria yang kau cintai. Dan pria itu adalah Kak Davien. Aku tau itu, Kak. Tidak perlu berpura-pura didepanku’ Arabella membatin sambil melangkah turun menuju lantai bawah.
Sedangkan Queen, setelah kepergian adiknya, sesekali dia menghela nafas panjangnya. Ia berusaha meredakan rasa sesak dalam hatinya. Disana, Queen meraih tas kecil dan juga ponselnya lalu lekas melangkah keluar dari kamar. Dia tidak ingin jika Liam terlalu lama menunggunya.
...
Ruang tamu, Lantai bawah
“Aku akan berusaha agar tidak terlalu malam mengantarnya kembali, Aunty, Uncle. Aku hanya akan sebentar disana sebagai formalitas saja,” ujar Liam membuka suara. Marchell dan Kayla pun sontak tersenyum.
“Tidak masalah, Liam. Aku paham dengan acara semacam ini, Aku mengerti dan bisa mentolerir jika kalian harus kembali sedikit larut. Aku hanya minta, jagalah putriku. Jangan sampai dia merasa tidak nyaman disana,” Marchell menatap serius wajah tampan pria dewasa itu. Sedangkan Liam, ia lekas mengangguk paham dan Kayla, wanita paruh baya itu hanya diam mendengarkan.
Meskipun Kayla tahu jika sang putri tidak memiliki perasaan apapun terhadap Liam, tapi Kayla tetap menerima pria dewasa itu dengan baik. Selama Liam memperlakukan putrinya dengan baik, makan Kayla juga akan berlaku sama.
“Terimakasih, Uncle karena sudah mempercayaiku. Aku pasti akan menjaganya dengan baik. Kau tidak perlu khawatir.” balas Liam yakin. Pria itu sungguh sangat serius dengan Queen. Liam ingin sekali menjadikan Queen sebagai istrinya meski dia tahu jika perempuan itu belum mencintainya.
“Harapan Aunty juga sama seperti papanya Queen, Liam. Aunty mempercayai putri Aunty padamu. Kami yakin jika kau pasti bisa menjaganya dengan baik.” ujar Kayla lembut. Liam tersenyum sopan saat mendengar ucapan calon Mama mertuanya.
“Pasti, Aunty.” jawabnya yakin.
Tak berselang lama, suara hentakan heels pun menarik perhatian mereka semua di sana. Mereka sontak menoleh demi bisa melihat si pemilik suara heels tersebut. Sementara Liam, pria itu tidak perlu menoleh karena dia hanya mengangkat pandangannya dan dia bisa melihat dengan jelas bagaimana cantiknya calon istrinya itu, Queen.
Yah... orang itu adalah Queen yang saat ini melangkah semakin dekat ke arah mereka. Gadis itu terlihat sangat cantik. Dia tersenyum manis dan melangkah semakin dekat ke arah sang Mama. Kayla beranjak dari duduknya demi bisa menyambut putrinya.
“Ya Tuhan ... cantik sekali anak Mama,” puji Kayla tulus. Queen merona, ia malu karena disana ada Liam. Queen belum begitu terbiasa dengan pria itu.
“Mama...” cicitnya pelan. Kayla mengerti dan wanita paruh baya itu hanya terkekeh saat melihat rona merah di pipi putrinya.
“Apa barusan aku sedang berbohong, sayang?” tanya Kayla menatap ke arah sang suami, Marchell. Itu artinya Kayla sedang meminta dukungan dari suaminya.
“Tentu saja tidak, Baby. Putri kita memang sangat cantik.” jawab Marchell dengan bangga sehingga membuat Queen semakin merona.
“Sudah! Sudah! Kalian ini! Berhenti menggoda cucuku!” ketus Lorna yang saat ini sedang duduk berdampingan dengan sang cucu bungsunya, Arabella.
“Mereka selalu saja menggodaku, Grandma. Mereka tidak sepertimu yang selalu memahamiku. Aku mencintaimu, My Grandma,” Queen melangkah ke arah wanita lansia itu, lalu membungkukkan tubuhnya dan lekas memeluk erat tubuh sang Grandma.
Mereka semua hanya tersenyum saat melihat bagaimana manjanya Queen dengan sang Grandma. Bukan hanya dirinya namun juga Abellah. Mereka berdua akan selalu bermanja dengan wanita lansia itu.
“Grandma juga mencintaimu, sayang. Ohh cucu Grandma ini memang sangat cantik sekali. Grandma bersyukur sekali karena Tuhan menghadiahkan Grandma dengan cucu yang cantik-cantik seperti ini.” ujar Lorna sambil mencubit gemas pipi kedua cucunya.
Tak berselang lama, Queen dan Liam mulai berpamitan kepada mereka semua, dan setelah itu, mereka pun segera pergi karena takut terlambat, mengingat jika saat ini jam sudah menunjukkan pukul 08.38 PM.
“Silakan, Nona.” Liam membukakan pintu mobil dan lekas mempersilahkan calon istrinya untuk segera masuk. Queen tersenyum saat melihat sikap manis Liam terhadapnya.
“Terimakasih.” jawab Queen. Liam tersenyum.
“Apapun untuk mu.” balasnya.
Liam segera menutup pintu setelah memastikan jika calon istrinya yang cantik itu sudah duduk nyaman di kursi penumpang di sampingnya. Dan setelah itu Liam pun mulai mengitari mobil dan lekas masuk. Pria itu menyalakan mobilnya hingga tak berselang lama, mobil mewah miliknya kini mulai melaju dengan kecepatan sedang, keluar dari area Mansion Alexander’s.
...
Virgo's Hotel,.
Hampir tiga puluh menit waktu yang dihabiskan oleh Liam dan juga Queen di perjalanan menuju tempat acara. Dan saat ini, mereka sudah sampai. Liam menghentikan mobilnya, di sana, seorang pria berdiri di samping mobilnya. Liam lekas keluar tanpa mematikan kendaraan tersebut.
Pria itu mengitari mobil dan langsung membuka pintu untuk calon istrinya, Queen. Liam mengulurkan tangannya dan Queen menyambut dengan hangat. Setelah Queen keluar dari sana, pria itu lekas mengambil alih mobil milik Liam lalu menjauhkannya dari sana.
Sejenak, Queen membenarkan letak posisi tangannya. Perempuan ini memeluk lengan kokoh milik Liam, Queen mengulas senyum saat dirinya bertatapan langsung dengan Liam. Setelah itu mereka pun mulai melangkah masuk kedalam hotel untuk menemui pemilik acara tersebut. Tanpa mereka sadari jika ternyata sebuah kamera mulai membidik mereka hingga beberapa kali.
Menit berlalu, Queen melangka berdampingan dengan Liam, gadis itu menatap takjub akan suasana pesta mewah itu. Queen tidak heran karena jika sang papa dan mamanya merayakan pesta anniversary, acaranya pasti akan jauh lebih mewah dibandingkan dengan acara tersebut.
“Luar biasa…,” Queen bergumam namun masih bisa didengar oleh Liam. Pria tampan itu menoleh dan menatap wajah cantik Queen.
“Kau menyukainya?” tanya Liam dan Queen lekas mengangguk tanpa menghentikan langkah kakinya.
“Hem! Aku menyukai suasana seperti ini.” Liam tersenyum saat mendengar ucapan Queen.
Pria itu tidak heran saat mendapati reaksi Queen yang biasa saja dengan kemewahan seperti ini. Calon istrinya ini memang paling bisa menjaga imej.
“Selamat datang, Tuan Liam. Terimakasih karena sudah menyempatkan waktu untuk menghadiri acara yang sederhana ini,” ujar seorang pria paruh baya yang tak lain adalah si pemilik acara sekaligus kolega bisnis Liam. Pria itu tersenyum begitupun dengan Queen. Liam menyambut sambutan baik dari pria itu.
“Sama-sama, Tuan. Terimakasih karena sudah mau mengundang saya di acara kalian yang sungguh luar biasa ini ” balas Liam. Mereka pun tersenyum
Setelahnya, Liam mulai memperkenalkan Queen kepada mereka yang ternyata juga mengenal gadis cantik itu sebagai putri Alexander’s. Liam dan Queen juga memberi ucapan selamat kepada mereka dan menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang.
Tak berselang lama, Liam mulai mengajak Queen berkeliling, memperkenalkan gadis cantik itu kepada beberapa kolega bisnisnya. Disana, tidak sedikit dari mereka yang memuji beruntungan seorang Liam Orlando karena mampu mendekatkan dirinya dengan keluarga Alexander's.
Siapa yang tidak kenal dengan keluarga tersebut, keluarga yang penuh dengan kekuasaan. Bukan hanya itu, keluarga Alexander's memang banyak dikenal karena sangat bersahaja dan murah hati. Disana juga banyak pria-pria dewasa yang menatap takjub kearah Queen, namun tidak ada satupun dari mereka yang berani melakukan hal kurang ajar sedikit pun.
Setelah dirasa sudah cukup, Liam memeluk posesif pinggang ramping Queen lalu mengajak gadis itu untuk mencicipi hidangan disana. Mereka melangkah dengan bidikan kamera yang terus mengambil foto keduanya secara diam-diam.
…
Usai menikmati acara meriah itu, akhirnya Liam memutuskan untuk pulang. Mengingat jika saat ini jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, tentu Liam kepikiran akan janjinya pada orang tua Queen. Dia berjanji untuk tidak akan mengembalikan Queen terlalu larut, maka dari itu, Liam kembali menemui si pemilik acara agar bisa berpamitan.
…
"Liam…?" panggil Queen sambil menahan pelan lengan koko pria itu. Liam menoleh dan menatap wajah Queen. Saat ini mereka sudah berada di dalam mobil.
"Ada apa, Queen? Kau mau sesuatu?" tanya Liam. Sejenak, Queen menghela nafas, ia berusaha untuk membulatkan tekadnya agar bisa membicarakan keputusannya dengan Liam.
"Boleh kita mampir sebentar ke taman?" tanya Queen. Sedangkan Liam, pria itu sontak mengerutkan keningnya. Apa yang mau dilakukan oleh gadis itu di taman malam-malam seperti ini?
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu … dan aku ingin kita mampir ke taman dekat sini sebentar," lanjut Queen saat melihat raut bingung diwajah Liam.
"Tapi, Queen … ini sudah jam…," Queen paham maksud Liam, oleh sebab itu dia memotong ucapan pria itu.
"Ini penting,Liam dan aku tidak bisa menundanya. Jika yang kau khawatirkan adalah Papa, aku yang akan menjelaskan padanya jika aku yang memintamu untuk pulang terlambat," sejenak, Liam mulai menghela nafas. Sebenarnya dia juga penasaran akan apa yang ingin dibicarakan oleh Queen.
"Baiklah … kita akan ketaman," putus Liam hingga mampu membuat Queen mengulas senyum. Setelah itu, Liam mulai melajukan mobilnya menuju taman terdekat di sana.
…
Beberapa menit kemudian,.
Queen duduk pada salah satu kursi taman disana. Sesekali, gadis itu merapatkan jas milik Liam pada tubuhnya. Sedangkan Liam, pria itu masih berdiam diri, menunggu Queen membuka suara.
“Liam … bagaimana menurutmu tentang hubungan kita?” tanya Queen sedikit memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah tampan itu.
“Maksudku … apakah kau serius dengan hubungan ini?” Queen kembali memperjelas pertanyaanya.
“Aku tidak pernah menjadikan hubungan ini sebagai lelucon. Bahkan aku selalu bersabar untuk menunggu kesiapanmu, Queen. Aku menunggu saat itu.” balas Liam terdengar sangat serius.
“Kalau begitu … bagaimana menurutmu jika kita wujudkan saja saat yang kau inginkan itu?” tanya Queen. Kini, kening Liam semakin berkerut. Dia sungguh bingung dengan sikap Queen malam ini.
“Maksudmu apa, Queen?” tanya Liam ingin jika Queen memperjelas ucapannya barusan.
“Aku sudah siap dan aku ingin jika hubungan kita segerakan saja. Kau ingin menikahiku, bukan? Jika iya, maka aku sudah siap untuk menjadi istrimu,” Queen mengucapkan hal itu dengan perasaan berdebar, tapi bukan karena cinta, melainkan karena rasa takut akan keputusannya.
“Kau yakin?” tanya Liam memastikan. Queen hanya mampu mengangguk pelan. Dia sudah tidak sanggup untuk membuka suaranya.
Sementara Liam, saat ia melihat anggukan Queen, ia pun lekas menarik pelan gadis itu ke dalam pelukannya. Liam memeluk erat sambil mengecup puncak kepala Queen hingga beberapa kali.
“Terimakasih. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu. Aku berjanji, Queen” ucap Liam berjanji dengan perasaan bahagianya. Akhirnya Queen mau menerimanya. Dia akan segera menikahi perempuan yang sangat dia inginkan ini.
Yah … akhirnya Queen memutuskan untuk membuat keputusan tersebut. Perempuan itu siap jika harus dinikahi oleh Liam. Queen ingin bangkit, dia lelah dengan hidupnya sama sekali tidak ada perubahan positif di dalamnya.
Bahkan sudah tiga tahun telah berlalu, namun kenangan buruk itu belum mampu dia lupakan. Dimana, saat dirinya merayakan pesta ulang tahunnya. Pesta yang seharusnya membuat dirinya bahagia, malah berbalik membuatnya terluka. Queen hancur, bahkan sampai saat ini. Luka di hatinya belum juga sembuh. Dan dia membenci fakta, jika hatinya masih mencintai.
***