[Queen Pov]
Beberapa hari telah berlalu setelah kejadian memalukan itu. Aku merasa hidupku hancur dan tidak berguna. Aku sakit, jatuh, malu, dan perasaan buruk lainnya pun telah aku rasakan. Sepertinya, akulah yang paling menderita di sini.
Secercah kehidupan bahagia tak bertahan lama, padahal saat itu pernikahanku ada di ambang mata. Namun, semua itu hancur berantakan karena perbuatan memalukan Liam. Bagaimana bisa? Padahal dia yang berbuat salah, tapi mengapa ku juga harus merasakan dampaknya?
Rasanya, aku tidak ingin lagi menyebut namanya. Bagaimana tidak? Bahkan sampai saat ini aksi kotornya masih lekat dalam ingatanku. Layar itu begitu besar untuk diabaikan olehku.
“Hai, sendirian?”
Aku tersentak saat tiba-tiba mendengar suara Kak Al yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Aku mendongak menatap wajahnya, lalu aku kembali menarik pandanganku.
“Sudah dari tadi kamu di sini? Kenapa tidak masuk? Padahal hari makin larut.” Lagi-lagi Kak Al kembali mengajakku berbicara.
Aku menghela napas panjang gusar, berusaha mengusir rasa sesak di d**a. “Aku lebih suka seperti ini, Kak. Senyap, kosong, dan menenangkan. Dari dulu aku sebenarnya berharap bahwa kehidupanku sedamai ini," ucapku membalas perkataan dari Kak Al. Hingga tak berselang lama, Kak Al lekas mengambil posisi duduk di sampingku.
“Tapi kenyataannya?” Aku mengulas senyum tipis saat mendengar pertanyaan yang dilontar dari bibirnya.
“Semua di luar ekspektasi. Aku harus dihadapkan dengan hal-hal yang membuatku terus terjatuh. Hingga hampir kehilangan mental dan diri sendiri pada saat itu.”
Aku menoleh dan menatap wajah tampan dari kakakku. Dan aku pun melihatnya mulai menarik napas pelan lalu menghembuskannya begitu saja.
“Kau pernah berjanji sama Kakak untuk jadi wanita kuat, bukan? Tapi kenapa sekarang kau jadi lemah dan puitis hanya karena laki-laki seperti itu?” hibur Kak Al.
Aku diam dan terus memperhatikan wajahnya. Aku kembali berusaha membuka kedua bibirku agar bisa menjawab pertanyaannya.
"Hanya saja perlakuan Liam terlalu kejam, Kak. Aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi …." Ucapanku terhenti karena Kak Al yang menyelaku cepat.
“Bukankah kau bisa belajar jadi pengalaman? Tuhan tidak mungkin memberikan sesuatu yang kita hadapi tanpa alasan. Seharusnya kamu bisa bersyukur karena kenyataannya kamu berhasil lepas dari orang yang salah.”
Kak Al menangkup kedua pipiku. Aku tahu jika lelaki ini juga sangat terluka hatinya ketika melihatku hancur seperti ini. Tidak mungkin ada kakak yang senang melihat adiknya sedih. Jika iya, maka itu mungkin dia bukan saudara yang sesungguhnya.
Entah kenapa, di tengah pembahasan ini, tiba-tiba aku kembali mengingat kalimat yang pernah diucapkan oleh Liam saat itu.
'Aku dijebak, Queen. Tolong percaya padaku!'
Aku menarik wajahku dari hadapan kak Al. Kalimat itu seperti cukup mengganggu pikiranku. Memang betul, perbuatan Liam waktu itu tidak akan pernah bisa aku maafkan. Namun, yang menjadi pertanyaanku, apakah benar jika Liam dijebak? Lalu siapa yang menjebaknya? Memangnya apa tujuan dan manfaat jika Liam sampai dijebak seperti itu?
Oh sungguh, aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Yang aku tahu jika selama ini Liam begitu baik denganku. Liam begitu sangat menghargaiku. Dia selalu mengucapkan kata-kata yang membuatku terenyuh. Tidak jarang dia mengucapkan kata-kata yang menunjukkan seberapa besar dia mencintaiku.
Dan tiba-tiba dia malah merusak hari bahagia kami begitu saja. Rasanya aku sedikit sulit percaya. Seolah-olah itu bukan Liam yang aku kenal. Hingga tak berselang lama, aku kembali memikirkan satu tempat yang sepertinya perlu aku selidiki.
"Kak, kita sudahi saja pembahasan ini. Aku ingin masuk ke kamar," ucapku pada kak Al.
Mungkin karena sudah tidak melihatku bersedih lagi, dia hanya menanggapiku dengan anggukan singkat dan sedikit rasa bingung di wajahnya. Setelah itu, aku lekas beranjak dari sana dan melangkah masuk ke dalam mansion.
Aku tidak langsung ke kamarku, tetapi aku melangkah menuju ruang keluarga. Aku sengaja kemari hanya untuk mengecek apakah Mama sama Papa masih duduk di sini atau tidak. Ternyata, ruangan ini sudah kosong dan sepertinya mereka sudah masuk kemar.
Aku kembali memutar tubuhku menuju satu ruangan lainnya. Hingga tak membutuhkan waktu yang lama, aku tiba di sana dan melihat ada satu penjaga di ruangan tersebut.
"Nona Queen?" Pria paruh baya itu memanggilku. Dia adalah pria yang saat ini menjaga ruangan khusus CCTV di mansion ini.
Yah, aku berada di sini. Setelah ucapan Liam yang berkali-kali mengganggu pikiranku, aku pun memutuskan untuk datang ke ruang khusus CCTV. Aku ingin mengecek sesuatu dan mungkin saja bisa membuatku menemukan petunjuk dari sini.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Bapak itu kembali bertanya sehingga sedikit membuatku tersentak.
"Yeah, saya boleh minta tolong, Pak? Tolong periksa rekaman CCTV waktu acara pernikahan saya kemarin," ucapku pada bapak itu.
Dan syukurnya, bapak itu tidak banyak bertanya dan lekas melakukan tugasnya.
"Baik, Nona," ucapnya. Aku mulai melihat ia mendekat ke arah monitor itu dan mulai memeriksa rekaman yang aku maksud.
Di tengah-tengah itu, aku melihat bapak ini seperti duduk gelisah di atas kursi karena heran, aku pun bertanya.
"Kenapa, Pak?" tanyaku.
"Sebenarnya saya mau ke toilet sebentar, Nona," jawabnya sambil menatap tidak enak hati ke arahku.
"Oh, ya sudah. Biar saya saja yang lanjutkan. Bapak ke toilet saja," ucapku.
"Maaf, Nona."
"Tidak apa-apa."
Bapak itu mulai beranjak dari atas kursi dan lekas melangkah keluar dari ruangan. Kini hanya aku seorang diri di sini. Dengan perlahan, aku memberanikan diri untuk melanjutkannya. Aku memutar pelan beberapa rekaman di sana.
Menit pertama terlihat biasa. Tamu dari keluargaku sudah lebih dulu memenuhi lokasi dengan susunan yang sangat lengkap. Menit keenam, ada kedatangan keluarga Liam yang membuat semuanya turut merasa lega.
Namun, selama beberapa puluh menit berlalu, kekosongan mulai dirasakan oleh para tamu, lekat membuat semuanya berubah. Tepat di menit ketiga puluh, aku melihat mobil milik Liam mulai memasuki area mansion.
"Tidak ada yang aneh atau mencurigakan." Aku bergumam pelan.
Keningku berkerut dan kembali memutar ulang rekaman itu. Aku memutarnya dengan sangat pelan. Dan ternyata aku memang benar telah melewati suatu direkaman tersebut. Di Menit dua belas, aku melihat sosok misterius dengan pakaian serba hitam.
Pria itu juga memakai topi dan masker sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun aku tidak menyerah, meskipun aku tidak dapat mengenali wajahnya. Mungkin aku bisa menandainya di tempat lain, aku tidak ingin menyerah.
Aku memperhatikan dengan saksama pada pria itu, mulai dari cara berjalan hingga detail pakaiannya. Aku tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan pria itu.
"Jam tangan? Sepertinya aku pernah melihat jam itu. Tapi di mana?" Aku berusaha mengingatnya. Namun ,tetap saja aku gagal dan lupa di mana aku melihat jam tangan yang sedang dipakai oleh sosok misterius itu.
"Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah bisa mengamati apa yang sedang dia kenakan," gumamku lagi sembari mengingat-ingat seluruh postur tubuh pria itu dari atas hingga bawah.
Setelah itu, aku pun memutuskan untuk menghapus rekaman itu. Aku tidak ingin Papa atau Kak Al melihatnya. Cukup aku saja yang tahu jika ternyata memang ada seseorang yang telah mengacaukan pernikahanku dengan Liam yang gagal.