"Pertanyaan paling sulit dijawab itu bukan dari sang kekasih yang meminta kejelasan hubungan, tapi sosok malaikat kecil yang bertanya. Dia ke mana? Sedangkan diri sendiri pula masih tak tahu jawabannya."
Tak seperti biasanya, di dapur milik Acha sekarang ramai dipenuhi kue khusus ulang tahun Devit. Siapa lagi yang membuatnya jika bukan Dinda? Acha sendiri mulai menghiasi beberapa kue mini dengan ceri kecil, tidak lupa krim cokelat menambah kesan menggemaskan. Selesai dengan kue yang akan dibawa ke sekolah dasar anaknya, ia segera memasuki kamar. Masih terbaring manja dengan selimut tebal melilit tubuhnya. Lembut membangunkan, membuat Devit terjaga lalu mencium pipi Acha gemas.
Sudah kebiasaan Devit saat bangun pagi mendapati sosok ibu tercintanya. Sayang, ia tak pernah mendapati sang ayah pula. Acha pun membalas ciuman hangat di kening anaknya, memberikan ucapan selamat ulang tahun. Devit berteriak kegirangan lalu memeluk Acha. Mendengar riuh bahagia di dalam kamar, Dinda enggan melewati pagi di hari ulang tahun cucunya. Ia masuk sambil menyodorkan kotak besar. Sebagai hadiah ulang tahun.
"Oma, kasih hadiah paling bagus buat kamu! Jangan sampai rusak, ok?"
Devit mengangguk. "Siap! Makasih, Oma!"
Dinda memeluk cucu tersayangnya itu. "Ya udah sekarang siap-siap, kita ke sekolah bareng, ok?"
"SIAP!" Devit berlarian keluar, sudah biasa ia mandi sendiri tanpa Acha temani.
Mereka berdua kembali ke luar, membereskan alat kue dan memasukkan kuenya ke dalam kotak. Siap untuk dibawa ke sekolah Devit. Meskipun bukan anak taman kanak-kanak lagi, sudah terbiasa di sekolah dasar Devit khusus kelas satu sampai kelas tiga bisa dirayakan, tepat jam istirahat. Jadi, Acha akan menunggu sekitar satu jam di luar untuk merayakan ulang tahun anaknya. Namun, kehadiran Dinda ke apartemen untuk membuatkan kue, membuatnya tidak bisa pergi ke sekolah juga.
Alasannya ada banyak kerjaan di kantor, terpaksa Acha kembali sendirian, tapi ia tetap yakin anaknya takkan kecewa. Devit ke luar hanya memakai handuk sepinggang. Kulitnya tidak jauh seperti Devid. Putih bersih, perawakannya pula dipastikan akan cepat tubuh tinggi. Ah, Acha langsung tersadar ia segera membawa seragam anaknya itu untuk dipakai. Tidak lama, setelah membersihkan peralatan dapur, Dinda pun pamit pulang. Menatap kepergian omanya, Devit sedikit murung.
"Cuma, Mama, doang?"
Acha mendongak, melepas tangannya yang sedang mengancingi baju Devit. "Hm? Mama, apa?"
Devit mengerucutkan bibirnya kesal. "Oma, gak ikut rayakan ulang tahun aku? Cuma, Mama aja?"
"Kenapa? Oma 'kan harus kerja, mama selalu ada buat kamu, Sayang."
Mulai, Devit sangat kesal jika hanya bersama Acha saja. Ia ingin ada banyak anggota keluarganya seperti teman lain saat ulang tahun. Sebelum protes lagi, bel terdengar bergema. Acha segera beranjak pergi, mendapati Bram tersenyum hangat kepadanya sambil membawa sebuah kado di tangan.
"Dirayain di sekolah?" tanya Bram.
Acha mengangguk. "Padahal, lo gak usah dateng, Bram."
"Ken—"
"Om Bram!" Devit berteriak lalu memeluk Bram dengan cepat.
"Aduh ... siapa sih yang ulang tahun?" Bram seperti biasanya, memanjakan Devit dengan mainan yang akan diberikan.
Devit mengedipkan sebelah matanya. "Mana robot! Devit maunya itu," balasnya manja.
"Masuk, yuk jangan di sini," ajak Acha, dari raut wajahnya ia mulai tidak suka, tapi bagaimana lagi? Bram memang sangat dekat dengan anaknya.
Kadang Acha selalu menyesal, dulu waktu ia kembali kuliah setelah satu tahun berdiam diri di rumah dan mengurus Devit kecil. Bram adalah lelaki yang selalu menjaga anaknya, bahkan kerap orang-orang menganggap mereka adalah keluarga kecil bahagia. Sekarang, Acha baru sadar membiarkan anaknya bersama lelaki yang memilki rasa kepadanya itu salah. Di balik penyesalan pula, ia bersyukur bisa mengajar di sebuah sekolah menengah pertama berkat melanjutkan pendidikannya, pula menghidupi anaknya.
Sangat mustahil ia bertahan hidup dari uang ibunya atau Dinda. Antara menyesal dan bersyukur saat berdekatan dengan Bram, membuat Acha semakin menjaga jarak. Apalagi sekarang, Bram berniat ikut ke sekolah merayakan ulang tahun Devit. Terpaksa Acha mengizinkan. Toh, salahnya di mana? Kecuali jika ada seseorang bertanya, apakah itu papanya? Sangat cocok, tapi tak ada satu pun kemiripan! Acha sangat bersyukur, Devit sangat mirip dengan papa kandungnya, bukan lelaki yang mengasuhnya.
"Naik mobil gua aja, ya?" tawar Bram, membuat Acha tersentak kaget sadar dari lamunan.
"H—ha? Mobil? Ok," gagapnya lalu memilih masuk ke dalam kamar.
Bram tersenyum kecil, Devit sudah membuka kado dari omnya itu. Ia berteriak senang karena mainan yang diinginkan sudah berada di tangan.
"Nanti di sekolah kamu, om kasih satu kado lagi!"
Bola mata hitam Devit semakin bersinar. "Serius?" Devit mendekat, kembali memeluk leher Bram seerat mungkin. "Devit, sayang ... sama Om Bram!"
Di balik pintu yang tertutup rapat, Acha dapat mendengar jelas ucapan anaknya itu. Siapa lagi selain Bram yang dapat mengubah mood buruk Devit? Apalagi anaknya itu tak pernah mendapatkan perhatian dari seorang lelaki selain Bram. Setelah memberikan polesan bedak dan lipstik, Acha keluar seraya membawa kue ke dapur. Bram mengikuti, lalu menawarkan diri untuk membawa salah satu kue.
"Dev, tolong tutup pintu, ok?"
Devit segera menyambar ranselnya. "Siap, kita berangkat!"
Bram tersenyum senang, mereka bertiga mendekati mobil hitam yang Bram kemudikan. Seperti biasa, Devit akan duduk di depan, sedangkan Acha selalu memilih duduk di bangku belakang. Menghindari dugaan bahwa mereka suami istri atau berpacaran. Sepanjang jalan tidak lelahnya Devit bercerita soal teman-temannya, begitupula Bram selalu membalas dengan lelucon yang ajaibnya hampir membuat dinginnya hati Acha untuknya mencair.
Sesampainya di depan sekolah, Bram memarkirkan mobilnya lalu mereka semua keluar. Devit menyapa teman-temannya dengan senang, mengetahui ia ulang tahun temannya langsung memberikan ucapan selamat. Acha yang sudah meminta izin kepada pihak sekolah, dipersilakan menunggu di ruang sebelah kantor kepala sekolah. Tentunya bersama Bram yang dipandang beberapa guru, ia adalah suami dari Acha.
"Gimana ngajar? Masih aman?"
"Aman, lo sendiri masih nge-guide?"
Bram mengangguk. "Kebanyakan guide, sih, kalo jasa fotografer udah banyak sekarang."
Percakapam mereka berdua hanya berbasa-basi lalu menghabiskan waktu dengan ponsel masing-masing. Hingga suara bel pertanda istirahat terdengar. Acha dan Bram dipersilakan masuk ke kelas Devit yang sudah ramai riuh tepuk tangan. Pertama pembukaan doa bersama atas umur panjang Devit kepada Tuhan, dipimpin langsung oleh guru agama di sekolah sana. Selesai membacakan doa-doa, kue yang dibawa Acha dan Bram pun segera dibuka. Api dari korek api, sudah menghiasi. Sesak penuh tawa bahagia, riuh tepuk tangan saat sebuah lilin berangka lima tersisa asap mengepul terbawa angin siang.
Segala ucapan diterima senang oleh bocah dengan bulu mata lentik, sebuah lesung pipi menghiasi di sebelah kanan membuat senyumnya semakin menggemaskan. Bola matanya hitam legam, bak malam tanpa purnama ataupun gemintang di atas langit gelap. Kadang, orang lain akan memanggilnya si mata elang, memiliki sudut mata tajam. Tidak lupa hidung runcing tegaknya, menjadi daya tarik untuk ditarik. Penampilan yang ditata oleh ibunya nampak rapi, warnanya selalu monokrom.
Tidak terlalu kekanak-kanakan, tapi bak model majalah anak kecil pintar bergaya. Tawa ceria sambil berlarian membawa balon udara, tatapan Acha masih terpaku pada sosok bocah itu. Ia tersenyum lagi, bersyukur bisa menjaga dan tumbuh besar dalam dekapannya. Lamunan Acha terhenti, kala Bram mengajaknya ke luar. Pembagian kue menjadi tugas wali kelas Devit. Mereka berdua duduk di atas bangku kayu, menatap tawa bahagia anak-anak sekolah bermain di lapang upacara.
"Ma!" Devit berlarian menghampiri Acha, lalu memelukmya erat.
"Selamat ulang tahun ...." Acha mengeluarkan kado dari dalam tas kecilnya.
"Apa isinya?" tanya Devit sambil menimang-nimang beratnya.
"Coba tebak!"
Bukannya menjawab, Devit malah menarik tangan Acha untuk pergi menjauhi Bram. Acha hanya menurut saja, walaupun ia masih bingung. Merasa sudah jauh dari jangkauan Bram, Devit berkata, "Temen, Dev ... tanya kalo om Bram, papa Devit, Ma?"
Pertanyaan yang tak pernah diharapkan, apalagi usia Devit baru lima tahun dan tak tahu apa-apa soal masalah rumah tangga.
"Siapa yang tanya gitu?" Acha jongkok, merapikan rambut penuh keringat Devit. "Papa, Devit ... lagi kerja, 'kan mama udah bilang, hm? Om Bram, cuma teman kerja mama, ok?"
Devit mengangguk kecil, di belakangnya Bram menghampiri dengan raut wajah penuh tanya. Acha berdiri. "Kamu mau pulang atau belajar? Nanti biar mama yang minta izin ke guru."
Gelengan lemah menjadi pertanda Devit menolak, ia berbalik mendapati Bram memberikan senyum menenangkan. "Kenapa? Kok murung gitu?"
Acha menyela, "Bram, Devit mau masuk kelas. Kita pulang aja, ya."
Bram mengerutkan keningnya dalam, lalu hanya mengiyakan saja. Sampai sosok mungil Devit hilang masuk ke dalam kelas.