01. Masih Bertahan Meyakinkan

1273 Kata
"Menunggu tanpa kepastian, diserang dua lelaki yang memaksa untuk dicinta. Melupakan bagaimana menahan rindu, luka dan kecewa." Suara musik mengalun merdu menenangkan hati, raga yang lama menanti pelukan hangat dari sang kekasih. Doa dan harapan senantiasa dipanjatkan, takkan pernah sekali pun melupakan di setiap sujud pengharaoan. Bulir air mata menjadi teman dalam kesunyian. Kapan semua berakhir? Kapan semua kembali seperti awal? Awal yang terasa membahagiakan. Masih bersama hujan dan getaran halus jendela kamar, sosok mungil berselimut tebal terlihat nyaman di atas ranjang khususnya. Mengembuskan napas kasar, mengepalkan kedua tangan mencoba menahan erangan rasa sakit memilukan. Tak ada suara lain, selain iringan lagu yang setiap harinya menemani. Bingkai hitam menempel di dinding pula masih terpajang aman. Terukir senyum nyata tanpa beban, walaupun kedua orang tua tidak menghadiri akad pernikahan yang katanya sangat sakral. Kecuali lelaki itu, lelaki yang jauh di ujung sana. Sudah berkeluarga dan pastinya bahagia. Baju siap jemur segera diselesaikan, sebelum rengekan bak pinang dibelah dua dengan lelaki yang hilang belum kembali. Namanya Devit Prabu Androno. Sengaja tidak disamakan dengan lelaki yang dulu berjanji menemaninya waktu persalinan, mengapa? Hanya menambah luka saat memanggil nama anaknya. Acha tersenyum getir menatap kelopak mata terpejam damai di sana. Hidungnya tegap menantang dunia, seolah menyemangati bahwa lelaki bernama Devid masih hidup dan pasti kembali. Waktu lalu membuktikan, mengurung diri seminggu di kamar setelah persalinan membuatnya berpikir ulang. Identifikasi jenazah hanya sebatas cincin tersemat, menandakan jasad Devid sebenarnya. Namun, apakah ada berkas dan penemuan DNA bahwa itu suaminya? Tentu saja belum, dengan cepat Acha meneriaki semua penghuni rumah. Dirasa ada yang tidak beres karena stres, permintaan Acha untuk membongkar makam bernamakan Devid ditunda beberapa hari. Dinda yang sudah bisa ikhlas melepas bayangan anak tunggalnya itu sekarang goyah. Kegilaan Acha membuatnya kembali terpuruk hingga meneriaki menantunya itu. "Kamu gila, Acha sama saja mengganggu Devid di alam sana!" sentak Dinda, dia tak kuasa menahan air matanya kala beberapa rambut, gigi, dan tulang belulang diambil oleh tim medis. "Katanya ada satu penumpang dari Bandung, sampai sekarang jenazahnya tidak ditemukan," ucap salah satu tim medis yang diminta Acha membongkar makam untuk tes DNA. Benar saja semaunya salah total, sebuah t**i lalat berada di d**a mayat, di mana Devid sama sekali tidak memiliki. Dari gigi dan rambut apalagi, DNA. Dia bukan Devid, dia orang lain, tapi dia WNI dari Bandung yang katanya jenazahnya tak ditemukan. Seketika keluarga dari Alm. Wisnu berterima kasih kepada Acha. Di balik sikap egois, ada sisi baik mengungkit kebenaran. Berakhir, pertanyaan di mana Devid? Apakah dia sosok yang tidak ditemukan jenazahnya? Antara percaya atau tidak, Acha kembali ke dalam kamarnya, mengurung diri. Sinta pula terpaksa resign dari pekerjaannya demi mengurus keluarga kecil anaknya. Devit kecil selalu menangis menjerit, seperti Acha diam memojokkan diri termenung lalu menangis. Hingga penantian sosok yang diharapkan lenyap dalam waktu lama. Sekarang Devit berlarian bergelayut manja, memeluk ibunya dengan erat. Esok, adalah hari ulang tahunnya ke lima tahun. Sama, seperti lelaki yang tak kunjung kembali. "Mama, melamun mulu! Devit kesel liatnya," gerutu Devit, bibir mungilnya mengerucut tak suka. Acha terkekeh, direngkuhnya tubuh mungil, sedangkan wajah bak pinang dibelah dua dengan sosok ayah yang tak pernah ditemuinya. "Gak papa, kamu mau dirayain apa besok ulang tahun?" Acha mengalihkan pembicaraan. Devit mendongak, tersenyum lebar gigi mungil berjejer rapi menyembul keluar. "Di sekolah! Kalo di rumah nanti, Mama capek beresin sampah sama piring cuciannya." Entah memang sudah merasakan hanya mereka berdua yang tetap tinggal di sebuah apartemen itu, sosok Devit memang sangat peka akan kelemahan dan sangat sayang kepada Acha. Bulir air mata lolos dari sudut matanya, memeluk erat anaknya itu menjadi kekuatan agar tidak lagi merasa lemah. Acha mengiyakan permintaan Devit. Besok adalah hari yang dinantikan, tapi hari di mana Devid tak kembali dalam lima tahun ini. Seperti biasa hari libur dihabiskan Acha untuk membersihkan ruangan apartemennya. Jika, selesai ia akan mengajak Devit ke luar dan berjalan-jalan ke taman. Beruntungnya hari ini cuaca sangat bersahabat, balon air menjadi pilihan anaknya bermain meniup balonnya semangat. Saat Acha memutuskan duduk di salah satu bangku kayu di taman, Devit terdiam menatap kosong sebuah keluarga yang lengkap tertawa ria sambil memainkan balon airnya juga. Acha tahu dan Devit dijanjikan olehnya, bahwa sang ayah sedang kerja dan sangat lama bisa kembali kepada mereka. Meskipun Dinda sudah meyakinkan cucunya itu, bahwa ayahnya sudah meninggal dunia. Devit berjalan lemah menghampiri Acha, duduk lalu menatap sendu ibunya. "Ma, ayah kapan pulangnya?" Devit iri dengan kebahagiaan orang lain. Ada ibu dan ayah menemani, mungkin esok pula ia hanya ditemani Acha saja di hari ulang tahunnya. Tidak bisa memberikan suapan kue ke mulut manusia yang sangat didambakan datang. Dipanggik ayah, merindu tak pernah nampak jelas tubuhnya. Hanya potret pernikahan dan bingkai waktu pacaran terpajang. Bukan jiwa dan tubuh yang dapat dipeluk erat oleh Devit. "Ayah, di sana banyak kerjaan. Kamu harus percaya, pasti ayah pulang, ya?" Entah untuk keberapa kalinya Acha meyakinkan Devit seperti itu. Devit yang masih polos hanya mengiyakan, walaupun entah kapan datangnya. Mereka pun kembali memutuskan pulang. Di depan pintu yang tertutup rapat, langkah Acha dan Devit terhenti menatap sosok yang kerap datang untuk memberi senyum hangat dan bahagia sementara. "Om Bram!" seru Devit lalu berlarian, Bram sendiri langsung berjongkok membuka lebar kedua tangannya siap memeluk Devit. Acha memalingkan pandangannya. Percuma, kedatangan Bram takkan mengalihkan penantiannya untuk Devid. Namun, ia tetap menghargai perjuangan Bram sampai ke titik, di mana seharusnya ia sudah berumah tangga, tapi? Alasan yang membuat Acha menyudutkan diri merasa bersalah. "Lo itu dikagumi banyak cewek, Bram. Buat apa ngarepin gua?" "Dan gua tanya, buat apa lu ngarepin yang gak pasti kembali?" Acha menggeleng tegas. "Dia bakal balik, kok! Please, jauhi gua." Bram tersenyum miris. "Menjauh karena kembali menerima penolakan?" Ia menjeda. "Gua bakal nunggu, sampai sosok Devid memang datang buat lo." Percakapan bulan lalu. Acha kembali melanjutkan langkah kakinya, tersenyum kecil lalu mempersilakan masuk ke dalam. Devit yang sejak kecil mengenal Bram, bahkan sampai ada dugaan bahwa Bram adalah ayahnya. Namun, ternyata bukan, terbukti tak pernah menginap sehari pun. Meskipun Acha dalam keadaan sakit parah, lelaki itu tak pernah menjadikan kesempatan untuk menarik Acha paksa ke dalam hatinya. Ikhlas memberikan tawa bagi Devit yang diam-diam terluka, juga agar mencairkan suasana dari kekakuan yang mencekam. Duduk beralaskan karpet beludru, mainan milik Devit langsung keluar dari lemari. Bram paling suka mengajaknya bermain perang-perangan dengan robot mainan, sedangkan senjata yang tersedia membuat Devit siap siaga akan lawannya. Acha menoleh, anaknya itu memang tak pernah menolak kedatangan Bram. Lagian, siapa pula selain Bram? Dulu Arga pula pernah, tapi ia sangat sibuk mengajar mahasiswa. Kadang pula, malam adalah waktu Arga datang terpaksa demi menemui Acha. "Jangan serang, Devit! Om Bram, udah tua harus ngalah," oceh Devit, kedua alisnya menaut mulai mencari cara menghindari serangan Bram yang licik. "Siapa suruh masih bocah, hayoh?" godanya. Devit meleletkan ladahnya. "Besok aku ulang tahun! Pengin kado, ya, ya?" "Yee ... lagi perang kok minta kado," kekeh Bram lalu mengacak rambut bocah di depannya, berasa anak sendiri yang bermain dengan ayahnya. Kan, Devit paling tidak suka rambutnya diacak oleh Bram. Acara ribut bergulat di lantai pun dimulai. Serangan anak kecil mencoba melumpuhkan Bram karena gemas. Sebuah senyum tertahan menyadarkan Acha, Bram menganggap Devit sebagai ponakannya, bukan sosok anak yang nanti akan memanggilnya ayah. Takkan pernah terjadi, Acha memutuskan menggoreng cemilan hangat untuk mereka. Teriakan geli tertahan menggema, tawa Bram pula memenuhi ruang yang biasanya sepi membisu. Kembali, Acha menoleh dan tepat mendapati Bram melempar senyum untuknya. Acha membalas senyum hangat sang teman. Perantara menemukan Devid yang hilang. Namun, sekarang rasanya terasa canggung memaksa harus berjauhan. Walaupun Bram tidak menampakkan rasa kecewa, tapi tetap ingin memperjuangkan rasa. Setelah tiga kali ungkapan rasa diutarakan, mendapati jawaban sama pula. Sebuah penolakan. Note : Ada yang nunggu kelanjutan cerita DECHA gak? Hayoo pada kangen? Komen, dong! Pengin tahu seberapa banyak pembaca Cinta Segi Empat sampe periode 3 ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN