Jalan-Jalan Dengan Pak Arya

795 Kata
Aku bangkit dari kursi yang kududuki, setelah selesai menyantap sarapan seorang diri. Lalu kurapihkan piring dan peralatan makan yang kotor—dan menumpuknya menjadi satu. Hari ini—pak Arya mengajakku untuk berjalan-jalan, entah ke mana, karena ia tidak memberitahuku. Tapi jika boleh jujur, aku sampai lupa, kapan terakhir aku jalan berdua dengan seorang pria, karena setelah putus– lebih tepatnya, aku lah yang memutuskannya, aku sudah tidak pernah lagi jalan dengan seorang pria dan hanya berdua saja. Bukan tidak ada satupun pria yang mendekatiku, tapi karena aku begitu—sulit membuka hati untuk pria lain, banyak pria berdatangan dan mencoba mendekatiku; tapi pada akhirnya, mereka akan menyerah dan menjauh, karena tidak berhasil meluluhkan hatiku—yang seolah menjadi beku, semenjak Arsen pergi dan berkuliah di luar negeri. Aku langsung menoleh, saat mendengar suara ketukan pintu yang berasal dari luar, dan kuyakin itu adalah dirinya. Segera aku menaruh piring berserta dengan peralatan makan yang kotor di atas meja, dan berjalan untuk membukakan pintu. Setelah tiba di dekat pintu, aku langsung membukanya, namun yang kulihat membuatku langsung membeku dan menjadi patung; seorang pria tampan dan bertubuh tinggi, sedang berdiri di depanku—dan menatapku dengan senyuman indah yang terukir di wajahnya, pakaiannya begitu rapih dan terlihat cocok dikenakan olehnya, aroma parfurm yang dipakainya begitu menyeruak indera penciumanku. "Selamat pagi, Della" sapanya, membuatku tersadar dari lamunanku. "S-Selamat pagi juga, pak– Ah, maaf, maksudnya, mas" aku menggangguk dan tersenyum canggung, karena lagi-lagi aku memanggilnya dengan panggilan seperti itu; mungkin karena sudah terbiasa. "Apakah kamu sudah siap untuk pergi bersama dengan saya?" ia menatapku, dan mengangkat satu alisnya. "Sudah" aku menggangguk, dan menundukkan kepala, karena tidak kuat jika terlalu lama beradu pandang dengannya, "Tapi, aku. . . Ingin merapihkan piring, dan peralatan makan yang kotor dulu". "Oh, iya silahkan, saya akan menunggu. Jika kamu ingin mencucinya terlebih dahulu juga tidak apa-apa, saya akan tetap menunggu" ucapnya sambil menggangguk, tanpa melepaskan pandangannya dariku. "Tidak usah, aku bisa mencucinya nanti" aku menggeleng pelan, dan kembali tersenyum canggung, "Oh iya, silahkan masuk" ujarku, yang segera menyingkir dari ambang pintu, dan memberikannya jalan. "Terima kasih, Della" ia menggangguk, dan melangkah memasuki rumahku. Aku menghela nafas sedikit lega, karena ia sudah tidak lagi menatapku; aku tidak kuat jika terlalu lama ditatap oleh pria tampan, membuatku menjadi salah tingkah, apalagi jika harus saling beradu pandang. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang itu yang aku rasakan. *** "Kita sudah sampai" ia mematikan mesin mobilnya, dan menoleh ke arahku. Kuperhatikan sebuah tempat yang berada di luar sana, dan rupanya—ia mengajakku ke sebuah taman, yang berada di kota ini. Padahal, awalnya aku berpikir; kalau ia akan mengajakku untuk menonton di bioskop, atau ke taman hiburan terbesar di negara ini. Tapi ternyata, dugaanku itu salah. "Ayo kita turun" ucapnya, yang menyadarkanku dari lamunan. "Ah, iya" aku menggangguk dan menoleh ke arahnya, sambil tersenyum canggung. Udara pagi yang segar dan menyejukkan, serta pemandangan alam nan hijau—langsung menyambut kami begitu kami memasuki taman ini. "Maaf ya, saya malah mengajak kamu ke tempat seperti ini" ia mulai mengeluarkan suaranya dan membuka obrolan, setelah beberapa menit kami hanya terdiam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. "Enggak apa-apa kok mas, lagipula aku lebih suka diajak ke tempat yang sepi seperti ini, karena aku enggak suka berada dikeramaian" aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Aku baru menyadari, jika diperhatikan—ternyata ia mirip dengan Arsen atau aku hanya sedang terimgat dengannya? Hingga membuatnya terlihat mirip dengan mantan kekasihku itu. "Oh ya?" ia menoleh ke arahku, dan mengangkat satu alisnya, "Kalau saya boleh tahu, kenapa seperti itu?" tanyanya, yang mulai terlihat penasaran. "Enggak tahu mas, tapi aku merasa sedikit enggak nyaman, saat berada di tengah keramaian, bahkan aku juga takut hilang dan tersesat" jawabku sambil menatap ke depan, dan tersenyum. Ia tertawa pelan dan memalingkan pandangannya setelah mendengar jawabanku, "Ternyata kamu lucu juga ya" ucapnya, dan aku hanya tertawa dengan canggung. Kami terus berjalan di jalan setapak yang sepi dan di antara pepohonan teduh. Udara pagi hari di tempat ini benar-benar terasa begitu segar dan membuat siapapun dapat melepaskan diri sejenak—dari hiruk-pikuk kota ini yang dipadati oleh penduduk. "Seharusnya tadi kita sekalian olahraga saja, ya?" ujarnya membuatku menoleh ke arahnya dan menatapnya dari samping. "Kalau olahraga datangnya harus lebih pagi mas, kalau jam segini sepertinya kesiangan" ucapku sambil tertawa pelan. "Benar juga" ia tertawa pelan dan mengganggukkan kepalanya, "Biasanya kalau sedang ingin berolahraga di luar saya pasti datang ke sini, tapi seperti katamu tadi lebih pagi dari ini" sambungnya sambil menoleh ke arahku. "Oh, jadi mas sering datang ke sini?" tanyaku, tanpa melepaskan pandangan darinya, dan mencoba untuk terbiasa menatapnya, saat sedang mengobrol dengannya. "Cukup sering" ia menggangguk, sambil menatap ke depan, "Tapi cuma sendiri, maklum jomblo". Aku hanya tertawa pelan dan menundukkan kepala setelah mendengar yang baru saja ia katakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN