Aku mendudukkan tubuhku di sofa dan menghela nafas lega setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri.
Hari ini aku tidak berniat untuk pergi ke mana-mana dan memilih untuk menikmati hari libur ini dengan bersantai di rumah; mungkin nanti siang atau sore aku akan mengunjungi cafe tempat temanku bekerja. Karena sudah beberapa hari aku tidak ke sana dan ku yakin ia pasti akan marah padaku, sebab aku tidak menepati janjiku. Dan semoga saja nanti rasa malas yang menyelimutiku sudah hilang.
Kemarin aku dan pak Arya hanya berjalan-jalan di taman saja. Sebenarnya ia sempat menawarkanku untuk mengunjungi tempat lainnya, tapi aku menolak, karena aku merasa begitu canggung padanya. Bagaimana tidak? Aku jalan berdua dengan seorang pria yang merupakan atasanku di kantor belum lagi kami yang juga baru mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya ia langsung mengantarku pulang setelah kami puas berjalan-jalan dan menyelusuri taman tersebut.
***
"Sombong banget yang udah punya pekerjaan baru. Bilangnya setiap hari mau datang ke sini tapi kenyataannya enggak" Ava mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi yang berada di depanku dan mengerucutkan bibirnya. Seolah menunjukkan kalau ia sedang merajuk padaku.
Saat ini aku memang sedang berada di sebuah cafe tempat temanku bekerja. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke sini; karena ada beberapa hal yang ingin kuceritakan padanya.
"Maaf deh, niatnya juga begitu" aku menundukkan kepala dan menatap secangkir matcha latte yang kupesan, "Tapi..."
"Tapi apa?" ia langsung menoleh ke arahku dan terlihat penasaran.
"Ciye ada yang penasaran" aku beralih menatapnya dan menahan tawa.
Ia memutar matanya dan memalingkan pandangan ke sekitar cafe yang tidak terlalu ramai, "Abisnya lo kebiasaan sih suka bikin orang penasaran" ucapnya.
"Iya iya, maaf deh gue kan cuma bercanda" aku mendorong-dorong tangannya dengan pelan yang berada di atas meja.
"Ya udah, lanjut!" ia menggangguk dan beralih menatapku.
"Tapi setiap hari gue selalu diantar pulang oleh HRD gue" aku melanjutkan ucapanku dan menundukkan kepala.
"APA? Setiap hari lo diantar pulang sama HRD lo?"
Aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku karena ia berbicara dengan sedikit keras dan membuat orang-orang yang berada di sini menoleh ke arah kami.
"Ish! Pelan-pelan ngomongnya entar yang lain dengar" protesku sambil menatapnya.
"Iya iya, maaf, habisnya gue kaget" ia menganggukkan kepalanya dan menyingkirkan telapak tanganku, "Tapi gimana ceritanya? Kok lo bisa diantar sama HRD lo?" tanyanya yang terlihat mulai penasaran.
"Awalnya gara-gara dia ngeliat gue yang belum pulang dan masih berdiri di depan kantor sambil menunggu ojek online yang belum juga mengambil orderan gue, padahal saat itu gue enggak sendirian, ada teman se-profesi yang lagi mengobrol sama gue dan menawarkan untuk pulang bersama dengannya, tapi gue menolak karena enggak mau ngerepotin dia. Dan tiba-tiba, HRD gue datang dan nanya kenapa gue pulang, terus dia menawarkan gue untuk pulang dengannya, tapi gue juga menolak, dan lo tahu? Dia malah bilang, kalau dia enggak terima penolakan, hingga akhirnya gue terpaksa menerima tawarannya, dan pulang bersama dengannya. Besoknya, ia kembali mengajak gue untuk pulang bersama dengannya, dan lagi-lagi dia bilang, enggak terima penolakan" jelasku yang cukup panjang, dengan kepala yang aku tundukkan.
"Tapi HRD lo itu masih muda atau udah bapak-bapak?" tanyanya kembali dan masih setia menatapku yang duduk di depannya.
"Masih muda umurnya cuma beda beberapa tahun di atas gue. Ditambah dia juga masih single, belum punya pacar" aku menjawab dengan kepala yang tetap tertunduk sambil memainkan jari telunjukku pada bibir cangkir.
"Kalau gitu sikat aja!" ucapnya dengan begitu bersemangat.
"Apanya yang disikat?" aku mengangkat kepala dan menatapnya.
"HRD lo itu" jawabnya.
"Lo kira lantai pakai disikat segala" aku menangkup wajah dengan satu tangan dan kembali memainkan jari telunjuk pada bibir cangkir.
"Enggak gitu maksud gue" ia menghela nafas dan memalingkan pandangannya, "Maksudnya udah lo deketin aja mumpung dia masih single. Kapan lagi bisa deket dan punya pacar seorang HRD, di perusahaan yang besar, kalau perlu lo minta dinikahin sama dia".
"Heh!" aku refleks memukul tangannya, dan menatapnya dengan tajam. Terkadang Ava memang seperti itu, kalau berbicara suka ceplas-ceplos.
"Lho, kenapa? Emangnya lo enggak mau, punya suami yang jabatannya tinggi?" tanyanya, sambil mengerutkan dahinya.
"Enggak gitu, Va" aku menghela nafas dan menundukkan kepala.
"Oh. . . Atau lo maunya sama Arsen? Kan jabatannya jauh lebih tinggi tuh"
Aku langsung terdiam dan mendadak jadi patung, setelah mendengar Ava yang—entah sengaja atau tidak, menyebut namanya.
"Atau lo kembali sama Arsen aja" ucapnya, yang membuatku tersadar dari lamunan.
"Enggak bisa" aku menghela nafas, dan kembali menundukkan kepala, memperhatikan secangkir matcha latte, yang sama sekali belum kusentuh.
"Enggak bisa? Emang kenapa? Dia udah enggak cinta lagi sama lo?"
"Bukan begitu, tapi dia udah punya kekasih baru" jawabku dengan tidak bersemangat, karena sebenarnya aku agak malas untuk membahas hal tersebut.
"Apa?! Kekasih baru? Serius? Lo tau dari mana?" Ava menyerbuku dengan beberapa pertanyaan, yang keluar begitu saja dari bibirnya.
"Gue baru menduga aja sih, soalnya beberapa hari yang lalu, saat dia sedang ke meja kerja gue, tiba-tiba aja ada seorang wanita yang datang menghampirinya dan langsung memeluk lengannya, bahkan wanita itu memanggilnya sayang, dan wanita itu juga bekerja di sana, tapi gue enggak tahu sebagai apa"
"Terus terus gimana?" tanyanya, yang terlihat begitu penasaran.
"Kok lo jadi kayak tukang parkir sih" aku beralih menatapnya, dan mengerutkan dahiku.
"Habisnya lo kebiasaan, kalau cerita suka setengah-tengah, bikin orang penasaran" ia menghela nafasnya, dan memperhatikan ke arah pintu masuk cafe.
Aku mengulum bibirku dan menahan tawa, karena untuk yang kesekian kalinya—aku berhasil membuatnya menjadi penasaran.
"Udah buruan lanjut, entar keburu ada pelanggan yang datang" ujarnya, yang beralih menatapku.
"Tapi anehnya, dia malah bersikap begitu acuh pada wanita itu, bahkan ia berbicara dengan nada bicara yang tinggi saat berbicara dengannya, padahal saat itu wanita tersebut mengatakan padanya kalau ia masih merasa enggak enak badan, tapi ia tidak memperdulikannya sama sekali, dan pergi begitu saja. Hingga membuat wanita itu menjadi kesal dan berkata, kalau ia tidak pernah sedikitpun perhatian padanya" tuturku, yang kembali melanjutkan ceritaku.
"Aneh, kok bisa begitu? Padahal waktu masih pacaran sama lo, dia kan super duper perhatian banget, dan dia sama sekali enggak pernah membentak lo" ujarnya, yang terlihat begitu heran, dengan dahinya yang ia kerutkan.
"Nah, itu dia! Gue juga merasa heran" aku menggangguk, dan mengambil secangkir matcha latte di atas meja, lalu meniup-niupkannya dengan perlahan.
"Atau jangan-jangan, orang tuanya menjodohkannya dengan wanita itu? Makanya dia bersikap begitu pada wanita tersebut"
Aku langsung terdiam dan beralih menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dan rupanya—yang Ava katakan sama seperti yang aku duga.
"Entahlah" aku menghela nafas dan mengangkat kedua bahuku.