ALICE
Untunglah acara yang berlangsung siang hari, pemberkatan nikah di gereja tidak mengharuskanku memakai high-heels. Dan aku tidak perlu repot-repot ke salon pagi ini, karena Sophie lah yang mendandaniku untuk acara siang itu.
Yang masalah adalah acara pada malam hari. Aku harus duduk diam di salon selama dua jam. Dan selama itu pula Nathan menungguku tanpa perlu repot. Enak sekali jadi laki-laki, hanya perlu memakai kemeja, jas dan celana. Merapikan rambut mereka dan selesai! Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki sih?!
Tapi untuk apa dia menungguiku?
Setelah selesai di dandani dan telah mengenakan gaun yang serasi dengan setelan milik Nathan, juga high heels super itu, UGH! Kami segera menuju tempat acara. Memang sengaja datang cepat, karena Nathan harus memastikan semua sudah siap sebelum tamu undangan berdatangan.
Acara yang diadakan di hotel bintang lima milik keluarga Prasetya ini memiliki dua konsep, yaitu indoor dan outdoor. Ballroom yang digunakan sebagai indoor memiliki akses langsung ke area swimming pool yang adalah bagian outdoor acara itu. Ballroom berukuran besar itu dihiasi dengan sangat indah. Kain putih dan merah – kombinasi warna kesukaan Akiko dan Mike – menghiasi dinding dan jendela di ruangan itu. Juga terdapat rangkaian bunga mawar segar berwarna merah, pink dan putih di setiap sudut ruangan. Meja-meja di tata dengan rapi dan dipenuhi dengan berbagai jenis makanan dan minuman. Kursi-kursi di jajarkan di sudut-sudut ruangan. Oh! Dan jangan lupa dengan panggungnya, panggung itu memang bergaya simple tapi masih memberi kesan elegan.
Beralih ke area outdoor, lilin-lilin kecil sengaja dihanyutkan di atas kolam renang, memberi kesan romantis. Meja-meja pun tertata rapi di luar sini. Untunglah hari ini tidak hujan, sehingga acara ini dapat dilaksanakan. Dan serius, ini pesta termegah yang pernah kuhadiri!
"Hei, tunggu disini sebentar, ya?" kata Nathan, setelah memastikan semuanya terorganisir dengan baik. Dia melepas rangkulan tangan kanannya dipinggangku, satu-satunya pengamanku agar tidak jatuh dan pergi sebelum aku sempat protes. Dia menghilang di balik salah satu pintu yang entah menuju kemana.
Memang selama beberapa minggu terakhir ini aku berlatih dengan heels, tapi entah kenapa, antara aku yang tidak cocok atau memang heels ini bermasalah, aku tetap serasa mau jatuh berkali-kali. Itulah alasan kenapa Nathan memeluk pinggangku tadi. Terlihat mesra memang, tapi ada alasan dibaliknya.
Di tinggal di tengah ruangan. Seorang diri, yah tidak sendiri. Banyak karyawan hotel yang masih melakukan persiapan akhir. Belum apa-apa kakiku sudah pegal. Aish! Kenapa Nathan lama sekali?!
Karena sudah tidak tahan dan kesal, aku melepas sepatuku dan bertelanjang kaki berjalan ke pinggir ruangan, tidak peduli dengar pandangan aneh para karyawan hotel, dimana beberapa kursi sudah di tata. Kursi-kursi tersebut diperuntukkan untuk lansia karena ini adalah standing party. Sedangkan tidak mungkin membiarkan orang-orang tua berdiri terlalu lama kan?
"Kak Alice! Kenapa sepatunya dilepas?!" protes Sophie yang muncul, entah dari mana. Ugh, dia mendapatiku sedang bertelanjang kaki dan berjalan menuju kursi.
"Persiapan untuk nanti malam." Elakku. "Lebih baik gak pakai dulu, soalnya nanti pasti lama banget."
"Heeh, kak Nathan mana?" tanyanya celingukan.
"Gak tau, tadi di tinggal di tengah ruangan." Jawabku dengan nada kesal, mengingat perlakuan Nathan.
"Eh, itu kak Nathan. Dari mana aja kak? Tega banget ninggalin kak Alice." sindir Sophie, berjalan dengan sangat santai, memakai high heels 7 cm. Kapan aku bisa seperti itu?!
"Ngambil plester luka." Jawab Nathan, kemudian berlutut di hadapanku.
"Lo ngapain?!" tanyaku, dia tidak menjawab. Menarik kakiku perlahan, mengusap kapas yang sudah di beri antiseptik kemudian membuka plester luka yang dibawanya dan merekatkannya di balik tumitku yang tidak ku sadari sudah memerah dengan kulit yang terkupas serta sedikit darah menetes keluar. Kenapa aku baru sadar? Astaga, ini sakit!
"Okay, done." ujar Nathan. "Ayo," dia mengulurkan tangannya.
"Gue duduk aja deh," tolakku.
"Lo umur berapa? Kursi itu diperuntukkan untuk lansia." sindir Nathan, sekarang menarik tanganku yang tanpa sadar meraih tangannya tadi.
"Biar, dari pada ditinggal di tengah ruangan!" gumamku, sangat kesal dengan kelakuannya.
"Good luck kak Alice, aku pergi dulu ya. Udah ada tamu yang datang tuh." Kata Sophie, meninggalkan kami berdua. "Eits, kak Nathan, kacamata kak Alice dilepas dong, jadinya percuma pakai make-up kalo ketutup gitu."
"Gue ga bisa liat kalo gak pake kacamata!" protesku.
"Kalo dalam jarak dekat, masih kan?" tanya Nathan, melepas kacamataku, lalu menyimpannya di saku dalam jasnya, yang pasti secara sengaja disimpannya disana karena aku tidak mungkin berani mengambilnya.
"Nah, begitukan lebih cantik!" puji Sophie, mengacungkan kedua jempolnya.
"Tuh, sudah ada orang. Pakai sepatunya sekarang." Kata Nathan kembali berlutut dihadapanku, setengah memaksa kakiku – yang dengan keras kepala menolak – untuk memakai high heels itu. "Kali ini gak bakal di tinggal deh, janji." Kata Nathan.
Acara dimulai setengah jam kemudian. Akiko dan Mike masuk beriringan ke dalam ruangan. Mereka naik ke atas panggung yang sudah disediakan, memberi ucapan terima kasih atas kehadiran seluruh tamu undangan. Kemudian mereka turun dari panggung, membaur dengan tamu undangan. Mereka segera dikelilingi untuk diberi ucapan selamat secara langsung.
"Nathan!" terdengar sebuah suara memanggil Nathan, berasal dari pria bertubuh jangkung, tapi tidak lebih tinggi dari Nathan. Rambutnya tersisir rapi. Dia mengenakan kemeja abu-abu dan jas hitam. Siapa?
"Hei Dan, lo baru muncul?" tanya Nathan santai.
Teman Nathan kah? Pikirku.
"Iyalah, siapa lagi yang bisa bikin gue lembur kecuali elo?" ujar laki-laki yang dipanggil Nathan dengan sebuah Dan itu.
"Well, bukan salah gue lah. Salah Mike karena milih hari jumat buat weddingnya." Balas Nathan. "Kerjaan udah beres, kan?"
"Udah lah. Lo tenang aja, kalo di tangan gue, semua beres. Walau gak se rapi kerjaan lo sih." Kata orang itu, kemudian dia menyadari keberadaanku. "Eh, Nate, ini siapa? Alice ya? Pacar lo?"
"Oh ya, kenalin nih Alice. Alice, ini sepupu gue, Daniel." Ujar Nathan kemudian.
Aku bersalaman dengannya, "Salam kenal." Ujarku.
"Salam kenal juga." Kata Daniel tersenyum, memamerkan giginya yang rapi.
"Jangan lama-lama salamannya." Celetuk Nathan, terdengar kesal…?
"Eh, iya, gue lupa. Ada pasangannya disini." Daniel melepaskan genggaman tangannya. "Cantik banget sih, jadi lupa. Hehehe." Puji Daniel kemudian. "Mesra banget lagi sama Nathan." Melirik tangan Nathan yang bertengger di pinggangku.
Ini karena heels tau! Pikirku.
"Yang lain mana?" tanya Nathan, mengganti topik pembicaraan.
"Fandy sama Wandy udah ada tadi, cuma gak tau dimana sekarang, cari cewek kali. Terus Ivan lagi bicara tuh sama Mike disana." Daniel menunjuk ke arah Mike dan Akiko yang sedang berbincang dengan seorang pria, jelas terlihat bahwa orang itu adalah orang Jawa asli. Orang itu mengenakan batik lengan panjang dan celana hitam.
"Oh, ok. Gue ke Mike dulu deh. Lo mau ikutan?" tanya Nathan.
"Gak deh, nanti aja gue kasih selamat ke dia, gak mau jadi obat nyamuk lo. See ya!" Jawab Daniel, kemudian meninggalkan kami.
"Dan itu sepupu gue, tapi dia juga sahabat gue. Semacam teman geng gue." Jelas Nathan tanpa diminta. Karena tidak tahu mau bilang apa, aku hanya mengangguk. "Ke Mike yuk. Sekalian gue kenalin ke Ivan, temen ngumpul gue juga." Dia kemudian menuntunku ke arah ketiga orang itu.
"Alice! Nathan!" Akikolah yang pertama menyadari kehadiran kami.
"Hei, kamu cantik banget, selamat ya!" ujarku pada Akiko, memeluknya, yang otomatis membuat Nathan melepaskanku. Akiko memang sangat cantik saat ini, dan biasanyapun juga cantik, tentu saja. Tapi hari ini dia sangat cantik, apalagi hari ini hari istimewa baginya. Gaun pengantin Akikopun sangat sempurna, dress ballgown putih yang dihiasi batu-batu swarowski berukuran kecil, modelnya dibuat campuran antara western dan jepang, membuat dress itu memiliki ciri khas sendiri.
"Makasih! Kamu juga cantik!" Kata Akiko. Kamipun melepas pelukan.
"Hei, Van." Sapa Nathan pada termannya yang bernama Ivan itu.
"Yo, hati-hati lo ketukar kalo dekat-dekat sama Mike." Canda Ivan, terdapat sedikit aksen jawa dalam suaranya.
Bagaimanapun, Nathan dan Mike memang kembar identik, yang membedakan mereka saat ini cuma pakaian mereka yang berbeda. Mike mengenakan kemeja hitam dibalik jas dan vest putihnya, bow tie putih, celana putih dan bahkan oxford shoes berwarna putih. Terdapat mawar merah segar yang disematkan di dadanya. Sedangkan Nathan mengenakan kemeja biru berwarna sama dengan dressku, jas hitam dengan kerah biru tua, dasi bermotif garis biru tua dan biru muda, celana hitam dan oxford shoes berwarna hitam.
"Gak lah." Balas Nathan. Tangan Nathan kembali bertengger dipinggangku, padahal dia sedang asyik bercanda dengan temannya itu.
"Gue lebih keren dari Nathan, mana mungkin ketuker." Canda Mike.
"Gak banget, lo over pede Mike." Balas Nathan. Keempat orang didekatku itu tertawa.
"Eh, ini yang namanya Alice ya?" tanya Ivan, menatapku.
"Iya, kenalin nih. Van, ini Alice. Alice, ini Ivan." Kata Nathan.
"Alice, salam kenal." Ujarku sambil bersalaman tangan.
"Ivan. Salam kenal juga." Balasnya.
"There. Udah saling kenal kan. Sama yang lain juga udah?" tanya Mike.
"Baru sama Dan." Jawab Nathan.
"Ok guys, gue sama Aki masih harus keliling. See you later guys!" kata Mike, kemudian meninggalkan kami.
"Lo tau gak dimana Wandy sana Fandy?" tanya Nathan pada Ivan.
Kenapa Nathan terus-terusan mencari teman-temannya? Pikirku.
"Tadi mereka bareng sih, di dekat kolam renang deh kayaknya." Kata Ivan. "Coba aja cari disana. Gue keliling dulu ya, ketemu teman-teman yang lain. Kalo ketemu gue bilang mereka deh kalo lo cari."
"Oke, thanks ya." Kata Nathan. Kami kembali berdua di tengah keramaian. "Kenapa?" tanya Nathan tiba-tiba.
"Hah?" aku menatapnya, "Gak ada apa-apa. Ada apa?"
"Lo ngelamun." Kata Nathan menatapku tepat dimata. Oh, mata birunya itu...
"Gak ngelamun kok. Bingung aja." Balasku, Nathan memberiku tatapan bertanya. "Lo ngenalin gue ke temen-temen lo?"
"Ya. Terus?" jawabnya.
"Gak. Gak napa-napa."gumamku. Untuk apa? Sebenarnya itulah yang mau kutanyakan. Dia kembali menuntunku berjalan.
Sejam berlalu sejak saat itu. Nathan memperkenalkanku pada dua orang teman lagi. Wandy, dengan tubuh tingginya yang cukup berotot. Dan Fandy yang bertubuh pendek kurus. Kedua orang itu sedang asyik bercanda sambil menyantap makanan yang tersedia. Keduanya, seperti dua orang yang lain, terlihat baik.
Saat ini aku sedang di dalam toilet wanita, yang tentu saja tidak mungkin dimasuki Nathan. Nathan menungguku tidak jauh dari tempat ini. Aku mencuci tanganku dan mengeringkannya. Saat aku berjalan keluar, aku tidak dapat menemukan Nathan.
Ck. Kemana orang itu? Pikirku kesal.
Ah! Itu dia. Aku melihatnya sedang berbincang dengan seorang wanita cantik dengan dress merah yang terlihat sangat mewah. Bimbang antara mendatanginya atau masuk ke ballroom tanpanya, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke taman hotel, jauh dari meriahnya pesta penikahan itu untuk mencari udara segar dan beristirahat.
Aku menemukan kursi taman panjang dan memutuskan untuk duduk disana.
"Well, kenapa dingin gini sih malam ini." Gumamku kesal.
NATHAN
Aku melihat Alice keluar dari toilet.
Tapi wanita di depanku sedang asyik berbicara, Catherine.
"Nathan! Hei, udah lama gak ketemu, apa kabar?" sapanya tadi saat aku sedang menunggu Alice yang baru saja masuk ke toilet.
"Cath. Hai. Gue baik. Lo apa kabar?" balasku, tersenyum.
Catherine terdiam sejenak, "Aku baik. Dengar-dengar sekarang kamu punya perusahaan sendiri, kan?" aku mengangguk. Dia masih menggunakan aku-kamu padaku. "Gak nerusin perusahaan papamu?" tanyanya lagi.
"Gak, Mike yang nerusin. Gue memang niat buka usaha gue sendiri dari dulu." Jawabku, menolak mengikuti caranya berbicara menggunakan aku-kamu.
"Oh, Nate..." panggilnya. Namun kupotong.
"Sorry, gue harus pergi dulu nih." Potongku saat melihat Alice malah melangkah menjauh dari posisiku berdiri.
Dia mau kemana sih? Perasaan tadi dia udah liat gue deh. Pikirku.
"Nanti baru lanjut deh. Ada orang yang harus gue temuin dulu. Bye." Ucapku tanpa menunggu jawaban darinya.
Alice tidak sadar kalau aku mengikutinya. Dia berjalan menjauhi kolam renang, ke tempat yang lebih sepi. Diluar area pesta. Kemudian dia duduk di sebuah bangku taman. Alice menghela napas berat. Apakah dia lelah dengan seluruh hiruk-pikuk pesta ini?
"Well, kenapa dingin gini sih malam ini." Kudengar gumaman kesalnya.
"Makanya dari tadi gue nggak ngajak lo keluar." Ujarku sambil melepaskan kancing jasku. Bermaksud memberikan jas itu pada Alice untuk memberinya sedikit kehangatan. Alice terlihat kaget saat melihatku sudah berdiri dibelakangnya. "Udah tau pakai baju kebuka gitu, masih juga keluar."
"Di dalam juga dingin kok." Gumamnya, terdengar kesal. Aku menyampirkan jasku di bahunya.
"Semoga kalo gini gak terlalu dingin." Kemudian aku duduk di sebelahnya. Dia merapatkan jasku ke tubuhnya, menghirup napas dalam-dalam. Sadar atau tidak, aku tersenyum melihat tingkahnya.
"Kenapa tadi gak nyamperin gue?" tanyaku, kembali merangkulkan tanganku di punggungnya. Entah kenapa itulah yang ingin kulakukan, memeluknya. Memperlihatkan pada orang-orang bahwa dia milikku. Apalagi setelah mendapati banyak pria mata keranjang yang menatap tubuh Alice sejak tadi.
Alice, entah mengapa, tiba-tiba menjauh, melepaskan rangkulan tanganku. Aku mengerutkan dahiku, kaget. "Gak mau ganggu lo." Dia mendongakkan kepalanya, menatap langit malam tanpa bintang.
"Gak ganggu kok." Balasku, masih menatapnya. Kami diam sangat lama.
"Masuk yuk. Gue haus." Kata Alice kemudian.
"Ehm, lo tunggu aja deh disini." Ujarku, "Gue yang ambilin minuman. Sekalian istirahatin kaki lo. Malam masih panjang. Setelah ini masih ada acara khusus keluarga dan lo harus ikut."
"Oh. Ok. Thanks." Gumamnya. Aku beranjak pergi dari tempat itu.
Aku berjalan ke area swimming pool. Di sana juga disediakan meja-meja yang dipenuhi makanan dan minuman seperti yang tersedia di dalam ballroom dan area ini lebih dekat dengan tempat kami duduk tadi, tidak ingin meninggalkan Alice yang menungguku terlalu lama.
"Nath. Udah ketemu saja orang yang tadi?" Catherine muncul entah dari mana.
"Ehm, udah." Jawabku, memang aku sudah ketemu sama Alice, tapi dia masih menungguku sekarang. Aku terus berjalan ke arah meja minuman. Catherine mengikutiku.
"Nath," panggil Catherine lagi, aku menoleh ke arahnya. "Pesta ini meriah banget ya. Jadi iri deh, hehehe. Aku juga pengen deh kalo nikah dirayain semeriah ini." Lanjutnya.
"Well. Orang tua gue semangat banget karena Mike anak mereka yang pertama nikah. Jadinya meriah banget." Ujarku. Aku mengambil dua gelas minuman yang tersedia di atas meja.
"Kalo kamu nikah bakal semeriah ini?" tanya Catherine lagi.
"Maybe. Gak tau, orang tua gue yang ngurus semua acara ini, jadi kalo gue nikah, mungkin mereka juga mau ikut ngurus." Jawabku.
Seperti apa pesta pernikahan gue sama Alice nanti ya? Pikirku.
"Minumannya buat aku? Makasih ya." tanya Catherine, meraih satu gelas minuman di tanganku.
"Sorry, Cath. Gue lagi ditungguin." Ujarku, sambil mengambil sebuah gelas baru, menganti gelas yang baru saja diambil Catherine. Kemudian meninggalkannya tanpa menunggu jawaban darinya.
Apa gue udah keterlaluan sama Cath? Ninggalin dia sampe dua kali kayak gitu. Bagaimanapun, dia baik banget sama gue. And she's my first love.