ALICE
"ALICE! LO LAMA BANGET SIH BUKA PINTUNYA! GUE CAPEK TAU BERDIRI NUNGGU LO BUKA PINTU! TANGGUNG JAWAB KALO KAKI GUE PEGEL!!!" Semprot Tasya saat kubukakan pintu. Aku menutupnya lagi sebelum Tasya berhenti mengoceh karena iseng.
"WOIII!! BUKA!" teriak Tasya lagi.
"Ishh! Lo gila, ingat ini apartemen. Kalo tetangga gue marah, gue ngorbanin lo!" ujarku kesal. Kemudian mempersilahkannya masuk.
"Ya maaf. Lo juga tega banget sih, gue nunggu setengah jam tau! Temen macam apa lo?!" protesnya.
"Gue baru selesai mandi." Aku memberitahunya.
"Lo mandi malam-malam?" tanya Tasya. Aku mengangguk, kemudian teringat bahwa Tasya selalu memarahiku karena mandi malam. Oops! "Udah berapa kali sih gue bilang kalo mandi malam itu gak bagus buat kesehatan." Dan bla bla bla.
"Iya iya, soalnya gue baru pulang oke? Gak sengaja. Emang lo mau tidur sama gue saat gue keringatan?" tanyaku padanya. "Baru juga jam 7, Tasyaku yang cantik dan baik hati."
"Emang lo dari mana?" tanya Tasya. Saat ini dia duduk di sofa depan TV, meletakkan tasnya di lantai dengan sembarangan.
"Jogging, udah lama gak olahraga, tadi gak ada kerjaan soalnya." Jawabku sambil berjalan ke arah dapur, untuk memasak makan malam kami.
"Hooo~ ngebakar lemak ya? Iya juga ya, gue juga udah lama gak olahraga, gak pernah sempat waktu di Paris. Hmmmm... besok pagi jogging bareng yuk?"
"Serah lo deh, gue ngikut aja kalo jogging, kalo ngegym gue gak ikut." Gumamku, jogging memang olahraga favoritku. Tidak seperti kebanyakan orang yang memilih olahraga di gym, aku lebih suka jogging di taman dekat apartemenku, sambil menikmati view taman dengan pepohonan.
"Oh ya, lo masak apaan?" tanya Tasya mendatangiku yang sedang sibuk membersihkan daging ayam yang akan ku masak.
"Sup ayam special buatan gue." Jawabku, sengaja membuat sup ini karena tahu Tasya sangat suka sup buatanku ini.
"Tau aja lo kalo gue kangen sup buatan lo. Sampai-sampai gue coba buat sendiri, tapi rasanya jauh beda. Gue emang gak bakat masak." Tasya tergelak.
"Iya, lo cuma bakat nyuntikin orang, gue ngerti kok, dari dulu lo suka pura-pura nyutik gue pake pensil mekanik." Aku mengingatkannya masa-masa kami duduk di bangku sekolah. Kemudian kami berdua tertawa. "Sana deh, nonton atau apa gitu, gue masak dulu. Nanti makan sambil nonton saja ya."
"Okay! Sip nyanyo besar! Eh Nyonya besar maksud gue." Kata Tasya, bercanda.
"Lo kelamaan di Paris sampe lupa bahasa Indonesia ya?" sindirku. Kemudian berkata, "Nyonya besar apaan, kalo nyonya besar itu bukan masak tau, tapi disuguhin masakan."
"Hehe, iya, gue cuma bisa bahasa Prancis sekarang." Canda Tasya. "Dan maafin gue. Gue kan gak bisa masak, bisa-bisa gue ngeracunin elo." Setelah itu dia kembali ke posisinya di sofa, meneletangkan kaki di sepanjang sofa.
Setelah selesai memasak, aku meminta Tasya membantuku merapikan meja, karena kami akan makan sambil menonton, di meja pendek di depan TV yang saat ini penuh majalah Interior. Lima belas menit kemudian, kami sudah menyantap makanan kami sambil menonton Divergent, film favorit Tasya.
Kami makan dalam diam. Eh, bukan kami sih, tapi aku. Tasya dengan asyiknya ber ah-oh ria saat melihat Theo James, Ansel Elgort dan Miles Teller. Aku sudah kebal dengan Tasya yang jatuh cinta pada karakter fiksi dari n****+-n****+ yang di bacanya serta aktor-aktor bule berwajah tampan. Bahkan dia sering membicarakannya denganku, yang sebenarnya tidak begitu tertarik dengan n****+ terjemahan.
"OMG! My Theodore Peter James Kinnaird Taptiklis!! Keren banget asli. Aksennya itu lho!!" Yah, Tasya masuk dalam mode fangirlingnya pada Theo James.
"Panjang amat namanya," gumamku.
"Biarin, dia keren tau, aktingnya juga bagus banget, coba gue bisa ketemu dia. Saya gue cuma di Paris, coba gue ke New York atau Los Angeles!!" gumam Tasya, asyik dengan dunianya sendiri. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepalaku.
Setelah selesai menonton Divergent, yang sebenarnya sudah pernah ku tonton berkali-kali dengan Tasya, kami beralih ke topik yang menjadi tujuan Tasya menginap. Tasya masuk dalam mode investigasinya. Kami duduk di atas tempat tidurku.
"Lo beneran di jodohin nih?" tanya Tasya, memeluk satu bantalku. Aku yang sedang bersandar di kepala tempat tidurku sambil menatap langit-langit mengangguk. "Gak bisa nolak gitu? Wajib?"
"Gak. Orang tua gue nyuekin gue kalau bicara soal ngebatalin perjodohan." Gumamku, mengingat saat percobaan pertama dan keduaku untuk membatalkan perjodohan ini.
"Yah, sebenarnya bagus juga sih, daripada lo jomblo seumur hidup." Ejeknya. Aku mendelik kesal ke arahnya.
"You know why." Ucapku kesal, sesaat tubuhku merinding mengingat hal itu.
"Alice, itu kan udah lama banget. Lupain lah. Nathan juga kelihatannya baik kok, walau cepet banget kesalnya." Kata Tasya. Bukannya dia gak suka sama Nathan?
"He-eh. Gak tau deh. Gue masih gak tertarik sama relationship dalam bentuk apapun." Gumamku, kembali menatap langit-langit kamarku.
Tasya menghela napas pelan. "Oke, but lo gak bisa kabur lagi. Ceritain tentang Nathan ke gue, dari awal pertemuan lo."
"Okay," gumamku setengah hati. "Jadi, gue ketemu dia kira-kira seminggu setelah lo berangkat, anaknya temen SMA bokap gue. Nathan. Gue memang setengah hati buat kenalan dengan dia. Iya, dia keren dan sukses, tapi... gue belum siap buat mulai lagi." Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Pertama ketemu gue udah nunjukin sikap gak suka. Lo tau kan cara gue? Datang terlambat, nunjukin kalo gue gak tertarik sama dia. Setelah itu kita sempat lost contact hampir sebulan. Terus dia tiba-tiba nongol gitu, jadi... uhm, bisa dibilang perhatian ke gue."
"Sejauh ini kayaknya dia baik deh, bisa nahan sama kelakuan palsu lo yang sebenarnya suka banget yang namanya on time." Mata Tasya menatapku.
"Well, gue ketahuan kalo gue ngeliatin wallpaper buat nyuekin dia." Ujarku masam.
Tasya tergelak, "Serius? Terus? Dia bilang apa?" tanyanya di sela-sela tawanya.
"Lupa, yang pasti dia ngejek gue." Jawabku.
"Lanjutin," ujar Tasya.
"Setelah itu, yah, gak banyak hal penting. Cuma dia yang selalu nganter jemput gue ke kantor, kadang lunch atau dinner bareng. Itu aja." Jawabku, kemudian mengingat. "Oh, baru-baru ini habis fitting baju buat acara nikahan Mike, kembarannya itu, dua minggu lagi acaranya."
"So, that's why you're wearing heels?" tanya Tasya, "Sesuatu yang gak lo banget?"
"Yeah," jawabku, "Gue emang jaga jarak sama Nathan, tapi saudaranya baik banget, gue jadi akrab sama sodaranya waktu gue pertama kali ke rumahnya."
"Lo pernah kerumahnya?" tanya Tasya.
"Yup. Lunch bareng. Gue udah bilang kan kalo orang tuanya temenan sama orang tua gue?" tanyaku.
"Lo gak cerita nih apa aja yang lo bikin di rumahnya." Goda Tasya.
Saat itulah aku teringat soal insiden jatuh ke kolam dan tenggelam itu. Setengah hati aku menceritakannya ke Tasya. Pasti dia akan menertawakanku karena tenggelam.
Jelas saja, dia terbahak-bahak karena aku tenggelam dengan konyolnya. Salahku juga sih, selalu bolos pas pelajaran berenang waktu masih SD.
"Nathan yang nolong lo kan?" tanya Tasya, masih tertawa tapi berusaha mengontrol dirinya.
"Iya. Tapi gue gak inget. Pingsan." Jawabku kesal, "Waktu sadar gue udah baringan di kamarnya. Terus, yah gitulah."
"Tunggu! Di kamarnya? Lo masuk kamarnya??" tanya Tasya terlihat antusias sekaligus menyernyit.
"Gak. Gue di bawa masuk, bukan gue yang masuk." Jawabku.
"Dia gak apa-apain lo kan?" tanya Tasya.
Aku terdiam, jujur saja, aku nggak tau. Aku menggeleng, "Gak tau, gue udah bilang gue gak sadar kan? Tapi, gak tau ah. Lagipula dia juga gak punya perasaan apa-apa ke gue kok." Aku terdiam sejenak, pikiranku melayang ke waktu itu, "Dan dia gak akan berani, orang tua gue ada di sana." Kemudian, kami terdiam.
"Al, I love you." Gumam Tasya, tiba-tiba. Memelukku.
Aku kaget, memang kami sering memeluk satu sama lain tapi yah, tentu saja aku terkejut dengan perkataannya. "Ih! Gue normal Sya!" kemudian mendorong kepalanya menjauh.
Tasya terlihat kesal, "Bukan itu Alice!! Lo tau gue juga normal, kalo gak Ryan mau gue apain." Protesnya, "Maksud gue, gue sayang sama lo sebagai sahabat dan gue janji gak bakal ninggalin lo apapun yang terjadi. Gue pasti ada buat lo. Dan lo bisa ceritain semua masalah lo ke gue. Bukan bisa, tapi harus wajib kudu cerita." Celotehnya.
Aku tersenyum, "Thank you Sya, Love you too." Kali ini, aku yang memeluknya. Setelah beberapa detik berlalu, aku melepaskan pelukan.
"Sya, gue takut." Gumamku kemudian.
"Gue ada kok buat lo."
Aku menggeleng. "Gimana kalo kejadian dulu terulang lagi? Entahlah, gue trauma kayaknya."
Tasya hanya diam, tapi malah itu yang kuperlukan, hanya keberadaannya.
"Lo tau apa yang terjadi dulu kan. Dan sejak itu gue jadi gak bisa menghadapi cowok."
"Temen lo banyak yang cowok tuh," gumam Tasya, bercanda.
"Ih! Serius tau! Mereka itu beda, mereka cuma temen kerja dan gak ada tertarik-tertariknya sama gue. Yah, kecuali Ryan yang udah terlanjur gue percaya sebagai sahabat." Ujarku.
"Ada gue sama Ryan yang bakal ngejaga elo dan selalu ada buat lo. Itu yang terpenting, oke?"
Aku mengangguk. Kemudian terdiam, "Gimana kalo dia tau?"
"Kalo dia beneran cinta sama lo, dia gak bakal peduli." Ujar Tasya.
"Tapi kita cuma dijodohin Sya, gak ada rasa antara gue sama dia." Gumamku.
"Jujur nih Al, gue rasa dia udah punya rasa ke elo. Kalo gak dia gak mungkin ngajak lo dinner romantis yang gue sama Ryan ancurin kan?" tanya Tasya, setengah bercanda.
Itu hal terakhir yang dia bicarakan. Aku tak tahu harus menjawab apa. Apa benar Nathan punya perasaan special ke gue? Pikirku.
Tasya terlelap dalam diam. Karena merasa lelah, aku ikut mengambil posisi tidur yang nyaman. Tapi mataku tidak bisa tertutup, pikiran itu menggangguku. Akhirnya, aku hanya menatap langit-langit, hingga kantuk menghampiriku.
NATHAN
Aku dan Mike masuk ke ruang VIP sebuah bar elit di Jakarta. Disana, sudah menunggu Fandy dan Ivan. Daniel dan Wandy belum kelihatan yang artinya mereka belum sampai.
"Yo! Si kembar udah datang." Sambut Fandy.
"Mana Dan sama Wandy?" tanya Mike, langsung duduk di sofa yang masih kosong.
"Gak tau tuh, pasti ngaret mereka. Kebiasaan." Jawab Ivan.
"Lo minum apaan?" tanyaku pada Fandy.
"Vodka." Jawab Fandy.
"Woii, masih jam setengah tujuh lo udah minum aja." Tegur Mike.
"Vodka mah gak ada apa-apanya." Gumam Fandy. Memang diantara kami berenam, Fandy adalah yang paling alkoholic. Wandy dan Daniel juga minum, tapi tidak separah Fandy. Sedangkan aku dan Mike, biasa kami hanya minum Wine. Ivan, taat pada agamanya, menganggap alkohol adalah minuman haram.
"Kalo lo mabuk, kita tinggalin lo disini ya." Gumam Ivan, menyeruput orange juicenya.
"Tega amat lo, Van. Gue udah sengaja nebeng di lo buat dianter pulang, malah mau ditinggal." Protes Fandy.
"Yaiyalah, kalo lo mabuk kan bawaannya muntah terus. Enak aja mobil gue jadi korban." Kata Ivan. Disaat bersamaan pintu terbuka, menampakkan Daniel.
"Sorry guys! Gue telat, ada kerjaan mendadak dari bos gue yang super gak tau apa yang di maksud hari libur." Kata Daniel, jelas menyindirku. Ya, Daniel adalah salah satu karyawan di perusahaanku. Asisten pribadi sebenarnya, orang kepercayaan, apapun itu. Karena selain kami berteman baik, Dan adalah sepupuku juga, tentu saja aku percaya padanya, yang sudah seperti adikku sendiri.
"Bos lo itu ada disini." Sindirku.
"Eh! Maaf, lupa bos." Candanya. "Wandy mana?" tanya Daniel kemudian.
"Gue kira sama lo? Nggak?" tanya Mike.
"Dia gak minta bareng tuh, lagipula tadi gue kesini langsung dari kantor." Jawab Daniel, melirikku kesal.
"Sorry ya Dan, lo serem tau kalo lagi kesel gitu. Tapi itu resiko kerja sama gue." Ujarku, santai sambil meraih minumanku.
"Ok, lo traktir gue ya." Jawab Daniel.
"Wiets, gak dong." Balasku, "Kita ngumpul malam ini kan buat Mike. Yang udah mau nikah. Kok jadi gue yang traktir elo."
"Lo kan kakaknya." Cengir Fandy.
"Nath, lo kan juga udah mau nikah." Gumam Mike, meloloskan diri.
Seketika itu juga, semua temanku menatapku. "Apaan?" tantangku pada mereka.
"Lo udah mau nikah?", "Sama siapa?", "Emang lo udah punya pacar?", "Lo bercanda kan?" itu yang di tanyakan sahabat-sahabatku ini.
Yang dapat kulakukan hanyalah memutar mataku, kesal. "Mike, serius nih, gue mau tabok lo sekarang juga." Ujarku kesal.
Mike hanya tertawa. "Ya iyalah dia udah punya, emang mau nikah sama bantal. Ceweknya cantik loh."
"Ketemu dimana tuh? Kalo ada temennya yang cantik kenalin dong." Kata Fandy.
"Gak bakal." Jawabku. "Gak ada cewek normal yang suka sama cowok alkoholic kayak lo." Ejekku.
"Sialan lo. Punya cewek ajak-ajak napa." Balas Fandy.
"Fan, mana ada orang ngajak-ngajak temennya kalo punya pacar." Ejek Ivan.
"Berarti yang jomblo tinggal Fandy doang nih?" kata Wandy.
"Woi, lo juga belom punya kalee!" teriak Daniel pada Wandy.
"Eh, oh iya, gue lupa. Jangan ngingetin napa." Protes Wandy.
"Alice, apa kabar?" tanya Mike padaku saat yang lain sedang asyik saling ejek.
"Terakhir ketemu dia baik." Jawabku sambil mengedik bahu.
"Kok terakhir ketemu? Lo gak tanya gitu, kabarnya hari ini." Tanya Mike.
"Gak. Hari ini dia lagi sama temennya, sleepover. Gak mau gue ganggu." Jawabku, tentu saja tidak ingin menganggu acara Alice.
"Weits, tau banget lo." Goda Mike.
"Mau lo apaan sih? Gak tau kabarnya salah, giliran tau apa rencananya hari ini malah lo bilang gitu." Ujarku kesal.
"Nama pacar lo Alice?" tanya Daniel, tiba-tiba. Aku mengangguk. Emang gue sama Alice pacaran ya? Kita kan dijodohin, gak secara langsung gue ngajak dia pacaran. Tau ah! Pikirku.
"Alice in Wonderland." Celetuk Fandy, jelas mulai mabuk.
"Terus Nathan apaan?" tanya Wandy pada Fandy. Aku memberinya tatapan mengancam, yang tidak berpengaruh karena Fandy sudah mabuk.
"Mad hatter gila." Jawab Fandy.
"Sialan lo!" aku melemparinya dengan bantal di sofa. Yang lain malah tertawa.
Kami menghabiskan malam itu berbincang, mengingat masa SMA dulu.
Mendekati jam 10 malam, aku meninggalkan ruangan. Sejak sadar bahwa aku suka pada Alice, yang belum mau kuakui padanya, aku terus-menerus ingin bertemu dengannya, atau sekedar mendengar suaranya.
Apa akan mengganggu kalau ku telepon sekarang? Pikirku. Bodo' ah!
Setelah berpikir begitu, aku langsung menekan nomor handphone Alice. Aku ingin mendengar suaranya walau hanya sebentar. Sayangnya, handphonenya tidak diangkat. Mungkin dia sudah tidur.
Oh man, you're in so much trouble. Sebelumnya gue gak pernah kayak gini deh, waktu sama Catherine aja nggak gini. Pikirku, kemudian berjalan kembali ke ruangan.