ALICE
Aku hanya bisa duduk diam dengan mulut ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Di hadapanku, orang tuaku duduk serius.
Ok. Jadi begini pembicaraannya beberapa menit yang lalu.
"Alicia, saat ini kamu sudah umur 25 tahun. Dan sama sekali belum memperkenalkan seorang pacar pun. Apakah kamu sudah punya sejak tiga minggu lalu?" tanya papa saat aku datang untuk makan malam Bersama mereka.
"Eh... belum sih." Jawabku ragu, tahu arah pembicaraan ini. "Kenapa memangnya?"
"Jadi, papa dan mama memutuskan untuk menjodohkan kamu." Putus papa sepihak.
"WHAATT?!!" Teriakku tanpa sadar, mulutku menganga lebar selama beberapa detik.
"Ini demi kebaikan kamu, tentu saja laki-laki yang papa mama pilih adalah yang terbaik. Kamu gak akan nyesel deh." Kata mama meyakinkan.
"Hell no! Emang aku bilang kalo aku belum punya pacar, tapi bukan berarti aku mau di jodohin! Mending perawan seumur hidup deh kalo gini caranya!" Ok, marah ke orang tua yang udah ngebesarin lo tuh salah, sangat salah. Salah gue juga sih karena di pertemuan yang lalu dengan mereka, gue kelepasan bicara kalo belum punya pacar. Tapi sekarang udah gak jaman lagi yang namanya jodoh-jodohin anak.
"Hush, Alice, kamu kan anak kami satu-satunya, mama kan juga mau punya cucu." Rayu mama, cucu? What the... gue bahkan belum punya pacar. Kemudian, lanjut mama, "Coba aja kenalan dulu, saling mengenal satu sama lain. Tak kenal maka tak sayang, kan?" Suara mama yang memelas seperti itu adalah kelemahanku. Yap, gue nyerah.
"Kalo gak cocok perjodohannya batal kan? Aku gak mau nikah sama orang yang gak aku suka." Ujarku mengalah, tapi tetap dengan pengecualian.
"Tentu saja." Jawab kedua orang tuaku senang, tanpa memikirkan baik-baik ancamanku.
"Well, kalo gitu aku balik dulu deh." Aku beranjak dari kursi ruang makan.
"Eits, besok luangkan waktu makan siang, kita ketemu sama calon kamu." Kata papa, membuat mataku membelalak kaget.
"Secepat itu?! Besok hari kerja pa, aku sibuk!" protesku.
"Pokoknya besok, di resto langganan papa mama." Papa tetap kokoh sama kemauannya.
Aku meniup poniku kesal, "Fine. See you tomorrow." aku meninggalkan mereka yang terlihat senang karena gue menerima perjodohan ini. Wait, menerima? Hell no! Pokoknya perjodohan ini harus batal. Bagaimanapun caranya.
NATHAN
"Hi, Dad! Tumben ke kantorku, kenapa gak telpon aja, biar aku yang ke kantor Dad?" tanyaku yang kaget dengan kedatangan Dad yang tiba-tiba. Aku berdiri dari kursiku dan menuju ke arah sofa yang sudah diduduki Dad beberapa detik sebelumnya.
"Ada hal penting yang mau Dad bicarakan, Nate." Ujar Dad, menegakkan tubuhnya. Walau usianya sudah pertengahan lima puluh, Dad masih memiliki karisma yang selalu kukagumi.
"What's wrong? Any problem?" tanyaku khawatir, tidak pernah Dad mendatangiku seperti ini.
"Ini soal, ehem, perjodohan." Jawab Dad. Wait! Jodoh? Dad menjodohkanku?
"What? Dengan siapa?" tanyaku bersiaga.
"Teman Dad sejak SMA punya anak perempuan, usianya lebih muda setahun darimu, mungkin dua tahun. Masih lajang. Lulusan sekolah design di Singapura, sekarang jadi Interior designer yang cukup populer. Cantik. Bagaimana menurutmu?" jelas Dad.
"I don't know, Dad. Saat ini aku mau fokus dengan perusahaanku dulu. Masih mau ngembangin perusahaan ini." Elakku, tidak mau berurusan dengan makhluk pembawa masalah yang suka berpura-pura lemah.
"Coba dulu temui dia. Ok?" Dad meyakinkan, seolah aku belum mengatakan apapun tadi.
"Well, if that makes you happy, I will. But, I won’t promise anything." Gumamku.
"Kalo gitu, besok jam 12 siang di Sonata Resto, on time." Kata Dad menekankan kata on time.
"I'm always on time, Dad." Keluhku, malas diberitahu hal yang sudah jelas tidak akan terjadi.