ALICE
"Sorry guys, gak ikut lunch bareng lo pada. Bokap nyokap lagi kumat, gak sabar anaknya yang satu nikah." Ujarku memberitahu teman-teman kantorku. Kantor yang kumaksud adalah kantor yang melayani orderan desain interior maupun eksterior. Kami hanya bertujuh. Lola dan Ryan yang menghandel marketing, Karina dan Frieska di bagian accounting, dan sisanya, Danny, Kevin dan gue di bidang design. Sisa bagian lainnya kami urus bersama.
"Kali ini lo mau diapain ama bokap nyokap lo?" tanya Danny.
"Dijodohin."jawabku ogah-ogahan. "Gue harus pergi dulu nih, soal cafe yang baru itu udah gue selesein designnya, kalo orangnya nelpon, tolong bilangin perabotannya lagi dalam proses penyelesaian."
"Tunggu, Alice, lo dijodohin?" tanya Lola gak percaya, "Sama siapa? Keren ga?"
"Yaelah, belum juga ketemu. Mau gue tolak sih. Males." Jawabku, melihat arah jam tangan, setengah dua belas, "Damn, gue telat. Sorry banget guys. Harus pergi sekarang." Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, aku berjalan pergi meninggalkan lantai 7 gedung dimana kantorku berada.
NATHAN
Gue sudah duduk disini selama satu setengah jam dan cewek yang katanya mau dijodohin ke gue belum datang. Damn, kayaknya bakal batal nih perjodohan. Semoga saja begitu.
"Aduh, maaf ya Nathan, kamu jadi harus nunggu lama begini." Ujar om Dirga, teman Dad, tidak enak. Yang sedang ditunggu sekarang adalah anaknya. Yep, Miss late. Belum ketemu saja dia sudah dapet julukan. Dia kira gue ga sibuk apa, nunggu selama ini.
"Gak papa kok, Om, saya gak sibuk." Lie. I'm lying. Hanya sekadar sopan santun.
"Ah! Itu dia, Alicia." Om Dirga berdiri melambai tangannya perlahan. Cewek yang baru masuk pintu resto berbalik. Ok, dia lumayan. Dari jauh dia kelihatannya gak jelek, tapi juga gak cantik. Rambutnya hitam kecoklatan jatuh hingga ke punggung, lurus dan poni menyamping. Dia memakai kacamata berbingkai hitam, kemeja putih bergaris dan celana panjang. Setelah dia mendekat, aku menyadari satu hal. No make up detected, sepertinya. Bahkan bedak ataupun lip gloss. Dia cewek bukan sih?!
"Sorry telat pa, macet, perjalanan dari kantor juga jauh." Ujar cewek itu beralasan saat sudah mencapai meja kami. "Maaf, om Bayu, saya terlambat." Ujarnya sopan pada Dad.
"Tidak apa-apa." Jawab Dad santai. Cewek itu segera duduk di sebelah om Dirga, ayahnya.
"Ok, karena semuanya sudah lengkap, pertama-tama, Alicia, perkenalkan ini putra sulung om, namanya Nathaniel." Kata Dad, memperkenalkanku, "Nate, ini Alicia, anak tunggal Dirga.”
Cewek itu tidak berekspresi, menawarkan untuk bersalaman, kemudian tersenyum dipaksakan, "Christina Alicia Santoso, panggil saja Alice." Ujarnya datar.
"Nathaniel Stephans Prasetya. Panggil aja Nathan or Nate." Jawabku membalas uluran tangannya.
"Nah, karena kalian sudah berkenalan, lebih baik kalian lebih mengenal satu sama lain, biarkan yang tua-tua membicarakan hal lain." Ujar Om Dirga, berdiri dari kursinya, diikuti Dad.
"What?!" protes Alice. Kemudian dia segera menutup mulutnya dengan tangan.
"Ok, Dad." Gumamku.
ALICE
So, gue ditinggal bareng cowok gak jelas asal usulnya ini? Mimpi apa gue semalam. Hmm, kalau diingat-ingat gue gal mimpi sih...
"Lo mau makan apa?" tanya cowok itu santai setelah memanggil salah seorang pelayan.
"Carbonara." Aku memberitahu pelayan yang baru datang itu.
"Spaghetti Bolognese dan Ice Frapucinno." Dia mengatakan pesanannya pada pelayan yang segera mencatat pesanan kami. "Minumnya?"
"Ice lemonade." Ujarku. Pelayan itu pergi setelah memastikan pesanan kami.
"So, sorry gue telat." Gumamku, hanya sekedar sopan santun. Sebenarnya memang sengaja santai dalam perjalanan ke tempat ini. Salah satu usaha membatalkan perjodohan. Membuatnya benci padaku.
"No problem." Ujar Nathan tersenyum. Ok, dia keren. Senyumnya seksi, bisa bikin cewek normal meleleh melihatnya tersenyum. Unfortunately, gue gak normal. Bukan gila, ok? Taste gue beda dengan cewek pada umumnya. Gue belum tertarik sama cowok. Sama cewek juga nggak, sih. Bukan lesbian. Gue lebih milih hidup single seumur hidup. Karena cowok tuh cuma beban hidup. "Gue denger lo interior designer?" tanyanya, mencari topik pembicaraan.
"Eksterior juga." Jawabku singkat, mengambil smartphoneku dari tas dan mulai menyibukkan diri dengan i********:, melihat-lihat foto desain atau foto teman-temanku.
"Oh." Gumam Nathan sebagai jawaban. Tuh kan, langsung bosan kalo di giniin. Pasti dia bakal ngebatalin perjodohan, amin, jadi gue gak harus repot-repot bicara ke papa mama. Pikirku. "Kapan-kapan boleh ngeliat hasil kerja lo?"
"Boleh, dateng aja ke kantor gue," jawabku, masih menancapkan matanya ke layar smartphonenya, hanya menoleh untuk berterima kasih pada pelayan yang membawa pesanan kedua kami.
"Dimana?" tanya Nathan, aku menjawab secara cepat tanpa ada niat mengulang. "Ok, kalo ada waktu gue ke sana deh." Kata Nathan, membuatku kaget, karena angka yang di sebutkan tidak sedikit.
"Lo inget dimana tempatnya?" tanyaku tak percaya.
"Gue punya otak kali. Inget lah." Jawab Nathan santai, "Selamat makan," gumamnya.
AUTHOR’s POV
Nathan sebenarnya malas berurusan dengan miss Late itu, tapi agar orang tuanya tidak menyerangnya dengan berbagai permintaan untuk segera menikah, mengingat dia anak sulung dan adiknya akan segera menikah, Nathan tentu saja bertahan, meladeni cewek keras kepala yang di hadapinya tadi. Nathan berusaha berbaik hati daripada bersikap cool terhadap cewek cuek itu. Cewek cuek itu, Alice, hanya akan membuat semuanya jadi berantakan. Membuat hidupnya hancur, tapi mau bagaimana lagi? Pikir Nathan.
"Hah!" Nathan mendesah berat, "Kenapa banyak sekali dokumen yang harus diurus?!" protesnya pada diri sendiri. "Andai saja Mike mau membantu di perusahaanku!" Mike adalah nama panggilan dari adik Nathan, Michael Sebastian Prasetya. Saat ini sudah punya tunangan, salah satu alasan kenapa orang tua Nathan ingin segera menikahkan Nathan, karena adiknya sudah punya calon. Mike lebih memilih membantu mengurus perusahaan ayahnya yang terbilang sudah tua di banding kakaknya yang masih sehat dan muda.
Tok tok tok
"Permisi pak, meeting dengan klien dari Amerika akan segera dimulai dalam kurun waktu setengah jam." Kata Elena, sekertaris Nathan.
"Terima kasih sudah mengingatkan." Jawab Nathan, bangkit berdiri. Setidaknya, didepan karyawannya dia harus menjaga wibawanya.
***
Alice kembali ke kantornya setelah bertemu salah seorang klien. Lelah.
"Hola, Alice, my love. Gimana perjodohan lo?" tanya Frieska saat melihat Alice melangkahkan kakinya untuk pertama kalinya setelah perjodohan itu berlangsung.
"Buset, sabar men, baru juga masuk." Elak Alice, "Eh, gue ke ruangan gue dulu ya, gue...ngeri amat sih mata lo pada!" protes Alice.
"Lo ngindar lagi? Udah seminggu juga. Sesekali cerita dong." Saat ini semua sedang duduk-duduk mengeliling dua meja bundar berukuran sedang yang masing-masing memiliki empat kursi bulat. Kursi yang disediakan untuk klien mereka sekarang jadi tempat gosip. Alice menggelengkan kepalanya pelan, mau tidak mau dia harus cerita.
"Ok, tanya aja." Alice mengalah, duduk di salah satu kursi bulat.
"Ini pertama kalinya lo dijodohin?" tanya Ryan sambil membaca majalah bisnis, Alice mengangguk.
"Sama siapa?" tanya Danny.
"Cowok." Jawab Alice, ogah-ogahan.
"Yaiyalah, masak ortu lo jodohin lo sama bencong! Namanya siapa bego!" protes Kevin.
"Buset, gak pake bego juga kali." Protes Alice. "Gini-gini gue penerima beasiswa waktu kuliah."
"Kenapa lo pada yang semangat nanya ke Alice?" tanya Lola. "Nafsu lo sama cowok?"
"Gak lah, kalo nafsu sama cowo, gue gak mungkin pacaran sama lo." Protes Kevin.
"Seriously?" tanya Lola, pura-pura tak percaya.
"Seriously, baby." Jawab Kevin.
"Iuh! Get a room, you two." Kompak yang lain protes.
"Ya udah, cari kamar yuk." Canda Kevin.
"Gila lo, belon juga nikah." Protes Lola.
"Back to the topic, namanya siapa?" tuntut Karina.
"Nato? Jonathan? Eh bukan, Steven? Siapalah itu... gak inget." Jawab Alice, cuek.
"Nato? Itu bukannya Aliansi yang di bentuk Amerika pas perang dingin?" tanya Danny.
"Jonathan? Steven? Dua orang?" tanya Frieska.
"Satu orang kok. Namanya aja dobel." Jawab Alice, kebiasaan buruk Alice, selalu lupa nama orang yang baru di temuinya.
"Kebiasaan lo, pertama kali kita ketemu juga gitu, Nama Kevin jadi Calvin." Protes Kevin.
"Sorry, itu gak ada maksud, sumpah deh." Kata Alice.
"Nathaniel Stephans Prasetya." Gumam Ryan, sedang membaca majalah bisnis. "Hebat banget nih orang."
"Eh, itu tau namanya. Kok bisa?" Kata Alice.
"EH?!" kontan semua teman Alice berteriak tidak percaya. Ryan yang sedang membaca pun kaget.
"Budeg gue lama-lama sama kalian." Protes Alice.
"Serius dia orangnya?!" "Lo gak bohong?" "Becanda lo!" cerocos teman-teman Alice.
"Ngapain gue bohong coba? Emang siapa sih, kok lo semua pada tau dia?" tanya Alice.
"Dia itu pengusaha muda yang sudah sukses banget dengan perusahaan yang dia dirikan sendiri dari nol! Orang sehebat itu sama lo? Astaga, beruntung banget lo!" kata Karina.
"Serius ini orangnya?" Ryan menyodorkan majalah yangbaru dibacanya.
"Iya, itu orangnya. Tapi, mau gue tolak kok perjodohannya, ambil aja." Alice beranjak berdiri, "Gue mau ngurus design klien cafe LaRue dulu ya, byeee..." Alice masuk ke ruangannya.