Bab 7 [Ada apa ini?]

1657 Kata
Ningsih menengok kanan-kiri, berharap ada seseorang yang lewat. Cuaca sudah gelap. Bahkan mungkin sudah akan memasuki waktu isya'. Ia mulai berjalan memasuki kawasan yang banyak pepohonan menggunakan senter dari ponselnya. Lagi-lagi ia terjebak pada peristiwa seperti ini. Suara pohon yang diterpa angin begitu kental terdengar. Seakan tak melupakan cuaca mendung. Aura mencekam semakin tampak. Harus 2 km lagi untuk menuju perumahan warga. Ia menghela nafas lelah. Tak ada kendaraan yang lewat, tak ada penerangan, benar-benar gelap dan sepi. Ia mengusap tangannya yang terbalut sweater itu. Memeluk tubuhnya pelan, berusaha menguatkan untuk tetap semangat melanjutkan perjalanan. Ia harus segera sampai sebelum waktu semakin malam. Udara yang dingin membuatnya ingin membuang air kecil. Sampai kapan ia akan tiba di rumah kos? Selama perjalanan menuju rumah kos ia selalu menggumamkan sholawat. Ia memang menyukai hal berbau mistis dan horror. Tetapi untuk melihatnya secara langsung sama sekali tak ada dalam bayangannya. Terlebih kejadian kemarin malam membuatnya merinding mengingatnya. Entah itu manusia atau makhluk dunia lain? Tatapannya benar-benar menakutkan. Seakan mengancam dirinya. Ningsih dengan tenang masih melanjutkan langkah kakinya. Ia tak sedikitpun menoleh kebelakang. Tetapi ada yang berbeda. Ia mendengar suara sesuatu di belakangnya. Seperti suara langkah kaki seseorang. Bukan hanya satu, tetapi puluhan. Tangannya gemetar memegang senter ponselnya. Hingga ia tak sengaja menjatuhkan ponselnya di tanah dan akhirnya gelap tanpa ada penerangan sama sekali. Ponselnya bahkan sudah terkena air sisa becek air hujan yang bercampur tanah. Ia ingin menangis saat ini. Kenapa untuk menuju impian harus melalui rintangan seberat ini? Suara langkah kaki itu masih terdengar di telinganya. Bersamaan suara gemuruh yang memancarkan kilatnya. Tampaknya akan turun hujan. Harus dimana ia berteduh? Sedangkan untuk melanjutkan jalan ia tak bisa. Ia tak dapat melihat apapun kecuali langit. Ia hanya mampu meringkuk dan meletakkan kepalanya dilipatan kaki. "Tolong aku," lirihnya dengan air mata yang mulai turun. *** Ningsih membuka kedua matanya pelan. Kedua matanya langsung menatap langit-langit kamar kosnya. Ia memegang kepala pelan. Pusing sekali. Hari ini hari apa? Ah, ia melupakan jadwal mengajarnya. Menengok dinding menunjukkan pukul 06:50. Ningsih segera bangkit dari ranjang dan memutuskan mandi cepat. Kata orang namanya mandi bebek. Ketika sedang mengajar, pikirannya menjadi tak fokus. Entah kenapa ia masih memikirkan kejadian tadi pagi dan mengkaitaknnya dengan tadi malam. Hal yang masih membingungkan dan teka-teki. Ia menggelengkan kepala pelan. Berusaha mengusir bayangan tersebut. Ia harus profesional. Jangan sampai masalah pribadi dicampurkannya ke masalah pekerjaan. Ningsih meminta ketua kelas untuk mengecek teman-temannya siapa saja yang tidak membawa perlengkapan menggambar. Kali ini ia mengajari siswanya untuk menggambar batik yang bagus. Lalu akan dilanjutkan untuk melukis dengan cat lukis minggu depan. Ningsih berkeliling dari satu meja ke meja yang lain. Menengok gambaran siswa-siswanya. Ada yang masih menopang tangan sebelah dengan masih berfikir apa yang akan digambar. Ada yang sedang membolak-balik bukunya mencari gambar batik untuk dicontoh.  Ningsih tersenyum, "Anak-anak, kalian boleh menggambar batik apa saja. Asalkan menggambarnya tulus dari hati. Jika kalian menggambar dengan tulus dan ikhlas, pasti gambar yang kalian buat akan bagus. Pelan-pelan yang penting jadi." Semua siswanya mendongak menatap Ningsih. "Menggambar itu perlu perasaan, bukan masalah perasaan cinta saja, ya," gurau Ningsih yang membuat beberapa siswa tertawa. Ningsih berbalik dan duduk di mejanya. Mengawasi siswa-siswinya dari meja. Dari sini ia dapat melihat beberapa ekspresi siswa-siswinya. Ia menopangkan kedua tangannya pada dagu. Pikirannya kembali kepada kejadian tadi malam. Ia masih ingat bahwa tadi malam ia meringkuk di bawah pepohonan besar dengan kegelapan. Suara langkah kaki itu tak lagi terdengar. Entah suara langkah kaki siapa? Ia benar-benar takut. Bagaimanapun ia wanita. Hal yang masih ia bingungkan, bagaimana ia bisa sampai di kamar kosnya? Siapa yang membawanya? Ia hanya mengingat bahwa ia ketiduran dibawah pohon tersebut. Lalu paginya ia terbangun di ranjang kamar kosnya. Benar-benar aneh. Apakah benar-benar ada yang menolongnya? "Bu, saya menggambar begini," ucap seoarang siswi berkacamata yang membuyarkan lamunan Ningsih. Ningsih mengerjapkan kedua matanya, ia menatap gambaran batik tersebut yang begitu bagus. "Kamu pandai menggambar," puji Ningsih. Lalu ia menjelaskan warna apa yang cocok untuk gambaran batik tersebut dan ia memberitahu bagian mana yang masih kurang sempurna agar siswinya tersebut membenarkan gambarannya. "Terima kasih, Bu." Ningsih mengangguk. Ia baru seminggu mengajar di SMP Manggis ini. Kemarin ketika ia menemui Pak Supri, tak ada seorangpun di rumah. Ia pun berniat untuk berhutang saja, tetapi Mbok Nah menyarankan untuk menjual perhiasan Mbok Nah semasa muda yang masih tersimpan rapi. Awet sekali. Lumayan selali ketika dijual dapat membayar biaya rumah sakit Mbok Nah. Sekarang Mbok Nah masih di rumah sakit. Ia hanya bisa mendo'akan semoga Mbok Nah segera sembuh. Ia bisa pulang kembali dua minggu lagi. *** Sepulang dari mengajar, Ningsih mendatangai rumah Bu Dien. Bu Dien memintanya untuk langsung masuk ke dalam rumahnya. Ningsih pun memutuskan menunggu di ruang tamu. Kedua matanya menatap dinding-dinding rumah Bu Dien. Cat tembok yang sudah pudar, dan satu hal yang membuatnya tak percaya. Banyak keris-keris yang terpampang di dinding dekat dapur. Dalam ruang tamu ini ia bisa melihat ruang dapur sekaligus. Bu Dien sedang memasak. Sedangkan Aira pasti berada di kamar. "Sudah kembali mengajar, Ning?" tanya Bu Dien sembari meletakkan segelas teh hangat sebagai jamuan. Ia tersenyum kikuk menatap Bu Dien. "Repot-repot, Bu," ujarnya pelan. "Gak apa-apa, Ning." "Saya lanjut masak dulu, ya. Silahkan diminum tehnya," lanjut Bu Dien dengan senyuman. Ningsih mengangguk saja. Ia masih menikmati menatap keris-keris itu. Jika dilihat ada lima keris jumlahnya. Sebanyak itu untuk apa ya, pikirnya. Sudah lima belas menit Ningsih menunggu Bu Dien memasak. Ia ingin pamit pulang saja dan memutuskan lain kali saja kesini. Sebelum sempat berpamitan, Bu Dien sudah kembali duduk di sampingnya. "Ada apa, Ning?" tanya Bu Dien. Ningsih menatap Bu Dien dengan kikuk. "Begini, Bu. Saya mau bertanya. Kalau boleh tahu yang membawa saya ke rumah kos siapa ya?" tanya Ningsih. Bu Dien mengernyitkan dahinya. "Memangnya ada apa, Ning?" Ningsih menggenggam kedua tangannya. Meremasnya pelan. Ada apa ini? Mungkinkah Bu Dien benar-benar tak tahu perihal apa yang dialaminya. "Memangnya ada apa, Ning?" tanya Bu Dien lagi. "Begini, Bu. Saya tadi malam tertidur di bawah pohon di depan sana, Bu." Kedua mata Bu Dien membulat kaget. "Astaga, Ning. Yang benar?" "Iya, Bu. Tetapi pagi tadi saya sudah ada di dalam kamar." "Mungkin hanya perasaan Ning saja. Atau gak Ning bisa tanya sama Pak Somad. Karena memang biasanya Pak Somad yang malam-malam selalu ada di depan sana," jelas Bu Dien. Ningsih tampak terdiam. Ia harus bertanya kepada Pak Somad. Ia masih begitu penasaran. Terlebih masalah ini bukan masalah sepele. Menyangkut dirinya sendiri. "Kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu," ujar Ningsih dengan sopan. "Iya, Ning. Mending tanya sama Pak Somad. Pak Somad ini juru kunci kuburan yang ada di depan sana." Ningsih mengangguk berterima kasih. Tangan kanannya menjabat tangan Bu Dien. Ia berharap segera mendapatkan jawabannya hari ini. Ningsih pun memutuskan untuk ke rumahnya Pak Somad. Ningsih menatap gerbang mewah yang terbuka itu. Ia memberanikan diri untuk masuk ke halaman rumah besar nan mewah itu. Diketuknya pelan pintu, tak lama kemudian ada seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai pembantu di rumah itu. "Ada apa, mbak?" "Mau cari Pak Somad, Bu. Ada di rumah?" tanya Ningsih sopan. "Ohh, maaf. Pak Somad lagi ada didepan. Dari semalam belum pulang, mbak. Ada keperluan apa ya, mbak? Nanti biar saya sampaikan." "Nanti saya akan kesini lagi, Bu," ujar Ningsih dengan senyuman lembut. Pak Somad belum pulang sejak semalam. Haruskah ia menghampiri Pak Somad ke kuburan itu? Ia pun juga tak tahu dimana tempatnya. Pasti diantara rimbuan pepohonan itu. Ia memutuskan datang kembali malam nanti. Ia harus mengistirahatkan tubuhnya. Malamnya, setelah sholat isya' Ningsih datang kembali ke rumah Pak Somad. Benar saja, Pak Somad ada di rumah sedang duduk di depan rumahnya sembari menyeruput kopinya. Ningsih menjabat tangan Pak Somad pelan. Ia dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. "Saya sengaja menunggu kamu malam ini," ujar Pak Somad. Ningsih tersenyum kikuk. "Pasti kamu menanyakan perihal kejadian tadi malam, ya?" "Iya, pak. Kalau boleh tahu apa yang terjadi? Dan siapa yang membawa saya?" Pak Somad mengangguk. "Saya yang membawa kamu ke rumah kos. Karena hanya saya yang memiliki kunci cadangan. Saat itu juga beberapa rumah sudah tutup," jelas Pak Somad. "Tenang, saya menemukan kamu di depan sana. Kamu tertidur dengan bekas air mata yang masih menempel. Saat itu saya sedang jaga malam di depan. Memang jadwalnya saya di hari itu selalu jaga malam disana," ujar Pak Somad ketika melihat Ningsih yang tampak gelisah. "Kenapa kamu bisa pulang malam? Dan darimana?" "Saya habis pulang menjenguk nenek saya, pak." "Lain kali jangan diulangi. Jika saat itu saya tidak menemukan kamu, kita tak akan tahu apa yang terjadi padamu nantinya. Saya tahu mungkin kamu belum tahu. Apa yang kamu dengar tadi malam memang banyak orang yang lewat. Tetapi, bukan manusia." Ningsih masih mendengarkan perkataan Pak Somad. Ia mencerna dengan pelan. Ia berharap apa yang dikatakan Pak Somad tak benar. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Ia pusing sekali jika terus memikirkannya. Terlebih masalah hidupnya yang belum kelar juga. "Lalu siapa, pak?" tanya Ningsih penasaran. "Ingonan orang." Dahi Ningsih mengeryit. Ia tak paham apa yang dimaksud pak Somad. Ingonan? "Ingonan, kamu pasti bisa menerjemahkannya." "Jika kamu belum tahu. Pasti kamu tahu maksudnya ini. Beberapa hari yang lalu sebelum kamu datang ke desa ini. Banyak para warga yang mengeluh karena uangnya hilang, hilang tiba-tiba. Padahal mereka selalu menyimpannya rapat-rapat. Tidak ada maling yang masuk, karena saya lihat pintu rumahnya masih dalam keadaan baik. Benda-benda berharga di rumahnya juga tidak hilang. Hanya uang," jelas Pak Somad. Ningsih mengangguk mengerti. Tetapi bagaimana bisa ini terjadi? Siapa yang sedang mengingoni makhluk kecil itu? "Saat malam tadi, yang sedang berjalan juga para ingonan itu. Kamu dapat merasakan kehadirannya, tetapi kamu tidak dapat melihatnya secara langsung. Saya bisa memperklihatkannya kepadamu, tetapi saya sayik kamu tak akan kuat." "Tidak, pak. Saya akan pulang dulu. Ini sudah malam. Besok saya akan kembali setelah pulang dari mengajar," ujar Ningsih sambil menyalimi tangan Pak Somad. Ia berpamitan. Bayang-bayang perkataan Pak Somad tak hilang dari pikirannya bahkan ketika ia ingin tidur. Membuatnya sulit untuk memejamkan mata walau sejenak. Hingga pada pukul 03:00 ia baru bisa memejamkan mata dengan nyenyak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN