Part. 12 Marchell

1741 Kata
Lain Marsha lain Marchell, jika Marsha menghabiskan waktu dengan giat bekerja agar bisa mengenyahkan Kevin dari otaknya. Marchell lebih memilih menghabiskan waktu dengan tidur. Sudah beberapa hari ini kerjanya hanya tidur saja, bahkan dia tak pernah melihat bisnis restaurannya. Sesekali bangun hanya untuk menuntaskan BAB atau BAK dan makan sedikit, agar tidak mati pikirnya. Lalu dia akan terbaring di kasurnya. Thea, mamanya pun lelah bolak-balik membangunkan anaknya itu, mengecek apakah nadinya masih berdenyut? Apakah nafasnya masih berhembus? “Bon! James Bond bangun!” Shane menendang tungkai kaki supir kesayangannya itu yang asik tidur di kursi dekat kolam renang. “Apa sih pap bro? Lagi mimpi enak nih!” sungut Bono sambil menguap dan menggaruk perutnya yang membuncit. Panggilannya yang dulu ‘Mas Bro’ ke Shane sudah beralih menjadi Papbro semenjak diprotes Marsha dan Marchell remaja. “Bantuin angkat Marchell, cepet!” Shane menarik baju Bono agar mengikutinya ke kamar Marchell, melihat putranya masih tidur telungkup di ranjang yang sepertinya nyaman sekali. Sementara waktu sudah menunjukkan tengah hari, matahari bahkan sedang menyengatnya. “Kita apain nih papbro?” Bono bertolak pinggang memperhatikan anak majikannya yang terlihat sangat pulas. “Ceburin ke kolam renang, ayo!” Shane membalik tubuh Marchell dan memegang bagian tangannya, sementara Bono dengan cekatan memegang kedua kakinya. Meski agak kesusahan mereka berdua bisa melewati pintu kamar Marchell menuju ruang tengah, dimana terlihat Thea yang baru pulang berbelanja. Wanita itu menganga dan membanting belanjaannya karena khawatir terjadi sesuatu dengan putranya. “Ya ampun ada apa? Marchell kenapa?” Thea membantu mengangkat tubuh Marchell “Cuma mau mandiin dia aja, udah beberapa hari gak mandi, cium aja baunya iirrgghhh.” Shane terus menghela tubuh Marchell menuju kolam renang. “Kamu hati-hati lho inget jahitan.” Thea melepaskan tangannya dari tubuh Marchell tidak mau ikut-ikutan mengerjai anaknya itu, meskipun dia sangat khawatir dengan Marchell. Shane memberi aba-aba ke Bono untuk melemparkan Marchell setelah hitungan ke tiga, “Satu... dua.. Tiga!” “Byurrrr!!” tubuh Marchell terhempas ke air. Lalu tangan dan kakinya secara naluri langsung bergerak demi menyelamatkan tubuhnya sendiri. Terdengar suara cekikikan papanya dari atas sana, membuat Marchell kesal setengah mati. Kalau saja yang melemparkan dia orang lain, dia pasti sudah membalas orang itu dan memastikan bahwa orang itu tidak bisa keluar lagi dari kolam. Tapi ini adalah papanya! Pria yang harus di hormati dan disayanginya. Marchell masih berdiri di tengah kolam dengan tubuh yang menggigil, dia bahkan memiringkan kepalanya dan menepuk telinganya, karena ada air yang masuk ke telinganya. Dengan kesal Marchell naik ke atas, dilihat mamanya berlari membawa handuk dan menutupi punggung Marchell, sementara Shane hanya mengangkat bahu melihat anaknya yang kini berjalan ke arahnya, dengan baju basah dan celana boxer yang mencetak alat vital di baliknya. Shane yakin Pria itu tidur tanpa mengenakan celana dalam. “Puas pah!” Marchell menghentakkan kakinya dengan kasar dan mengacak rambutnya disamping Shane, sehingga air dari rambutnya itu terpercik ke wajah ayahnya. Shane masih terkekeh, kini dia melipat tangannya. “Mandi sana terus ke Restaurant lihat kekacauan apa yang terjadi disana!” teriak Shane karena Marchell sudah meninggalkannya. “Bodo amat!” Sungut Marchell yang masih marah sambil berjalan cepat ke dalam kamarnya. Lalu Amina, istri Bono yang usianya terpaut jauh dibawah suaminya itu berjalan tergopoh sambil membawa kain pel dan membersihkan sisa air yang berceceran di lantai. *** Setelah mandi, Marchell duduk diranjang, ingin meneruskan tidurnya lagi. Tapi getaran handphone di kasur membuatnya urung. Diapun berbaring dan dengan enggan mengecek ratusan notif di handphonenya. Yang kebanyakan dikirim oleh manager restaurannya. Dia bilang bahwa bahan persediaan makanan sudah habis, sementara omset setiap hari sudah di transfer ke rekeningnya, sehingga mau tak mau Marchell harus mengirimkan uang ke rekening manajer itu, atau menyerahkannya langsung. Marchell merutuki kebodohan manajernya, apa sih yang mereka pikirkan hingga seperti ini. Seharusnya mereka kan bisa menghandle hal sekecil ini. Lalu dengan malas Marchell berjalan ke meja dan menarik lacinya, mengambil token internet banking. Tapi berkali-kali dia menekannya token itu tak juga mau menyala, dengan kasar diapun membanting benda kecil berwarna biru itu. Tangannya kembali menekan aplikasi mobile banking di handphone, karena tidak konsentrasi dia salah memasukkan pin tiga kali. Sehingga rekeningnya terblokir. “Ahhh sialll banget sih hari ini!” Marchell merengut, di acaknya rambut yang masih basah dan diapun melangkahkan kaki keluar kamar, tempat ternyamannya saat ini. Baru sampai ruang televisi dia melihat kedua orangtuanya tengah menonton TV sambil berpelukan. Membuatnya geram. Maklum jomblo ngenes seperti dia tidak bisa diperlihatkan hal-hal yang romantis karena bisa membuat moodnya berantakan. “Mau kemana kamu?” Tanya Shane ketika melihat anaknya mengambil kunci mobil di nakas samping televisi. “Mau..... tau aja!” Marchell menggantung suaranya dan pergi dari situ dengan cepat. Kalau saja papahnya itu tidak menceburkan dirinya ke dalam kolam, mungkin dia masih asik tidur di kamar bermimpi apa saja, yang penting bisa mengenyahkan Kinara dari dalam otaknya. Selama ini dia tak pernah memikirkan kalau Kinara akan meminta menikahinya. Dan diapun tidak berfikir kalau ternyata cintanya pada wanita itu terlampau besar sekarang. Memang benar hubungan mereka tidak terlarang toh mereka tak ada ikatan darah. Tapi membayangkan dirinya bersanding dengan Kinara dan Marsha dengan Kevin membuatnya bergidik. Apa tanggapan orang-orang diluaran sana? Lagipula dia sudah berjanji dengan Marsha sejak dulu kalau mereka tidak akan menikahi orang dari keluarga yang sama, karena ingin memperluas hubungan kekeluargaan. Menjadikan keluarga besar. Hal itu seolah menjadi prinsip yang tidak bisa dipisahkan dari sepasang anak kembar itu. Mengingat tentang Marsha, Marchell bahkan tidak tahu dimana adiknya saat ini? Dan apa yang dilakukannya. Dia pasti tengah tertekan sekarang. Apakah mereka harus melanggar prinsip yang sudah mereka buat dan jaga selama ini? *** Marchell duduk di meja kerja di lantai paling atas restaurant miliknya. Sementara manajernya yang seorang wanita muda itu duduk dihadapannya dengan tampang bersalah. Kalau saja Shane tidak meneleponnya hanya untuk membuat kegaduhan agar Marchell keluar dari sarangnya, dia tentu tak ingin melakukan hal ini. Sudah beberapa tahun belakangan ini dia mengelola restaurant Marchell, dan baru kali ini melihat mata nyalang dari pria itu. “Nih uang buat belanja kebutuhan pokok! Dan pastikan jangan ada yang terlupa.” Machell memberikan tatapan dingin pada wanita di depannya, yang membuat dia salah tingkah. Pesona Marchell memang tak pelak membuat wanita-wanita yang memandangnya terpana. “Oiya Shal,” Marchell memanggil Shaly, manajernya yang sudah berjalan beberapa langkah dari tempatnya berada, sehingga wanita itu menoleh ke arah Marchell. “Ada apa Mas?” jawab Shaly, ya sudah biasa karyawan restaurannya memanggil “Mas,” atas perintah Marchell sendiri. “Ayo aku antar.” Marchell menyambar kunci mobil di meja dan berjalan mendahulu Shaly menuju pusat perbelanjaan. Shaly mengekornya dengan patuh, meskipun ini baru pertama kali terjadi. Seorang bos ikut berbelanja kebutuhan pokok. Namun hal itu justru membuat bibirnya menorehkan senyum. Kapan lagi kan bisa jalan bareng sama cowok ganteng idaman wanita-wanita. Tak seperti biasanya, Marchell yang sekarang lebih banyak diam, bahkan tugas mengambil belanjaan pun dilakukan Shaly, dia hanya mendorong troly yang hampir penuh itu menuju rak-rak lain. Kini mereka berada di sebuah rak bumbu dapur. Shaly masih memilih beberapa bumbu, sementara Marchell iseng menghirup aroma rempah-rempah tersebut. Beberapa ibu-ibu menatapnya dengan pandangan tergiur, layaknya singa yang melihat daging di hadapannya, hingga Marchell pun beringsut meninggalkan Shaly. Melihat beberapa karyawan yang sepertinya sedang menyaksikan televisi di bagian elektronik. Pandangan Marchell beralih ke acara TV yang tengah digandrungi karyawan SPM tersebut, bahkan dia melihat beberapa pengunjung ikut menyaksikan acara itu. Hingga Marchell tertarik dan berjalan mendekat. Namun pandangannya mengabur ketika layar dihadapannya men –zoom in sebuah wajah yang dikenalnya. Wajah yang selama ini selalu ditepisnya. Kinara! Sedang berbicara pada acara talk show, dengan senyum yang Marchell yakini tidak keluar dari hati, dengan sorot mata yang memancarkan kesedihan mendalam. Marchell memasukkan tangannya ke saku celana dan dengan cepat berbalik arah. Kembali ke Shaly dan mendorong troly itu ke kasir, karena memang belanjaannya sudah lengkap. “Habis ke restaurant saya langsung pulang ya, mau tidur lagi.” Ucap Marchell ketika Shaly sudah duduk di kursi mobil sampingnya. Manajer itu hanya mengangguk dan menatap jalanan di depannya. Sementara Marchell merasa pikirannya kalut lagi, susah-susah berusaha move on beberapa hari ini, tapi langsung rusak karena melihat acara itu. *** Keysha celingukan mencari Thea di rumahnya, dia sudah biasa main kerumah keluarga itu semenjak kecil. Dan karena pasangan Shane dan Thea yang sudah menganggapnya anak sendiri. Harum aroma masakan menyeruak ke hidungnya dan diapun tahu kalau wanita yang sedang dicarinya kini sedang berada di dapur. “Tanteeeee... masak apa?” Keysha berlari kecil menghampiri Thea yang asik menumis masakan. “Ini bikin tumisan, kamu sama siapa?” “Sendiri tan, dirumah sepi. Mama sama Papa lagi jagain ka Kevin dirumah sakit. Ka Kinara lagi syuting talkshow.” Keysha mencomot cemilan di meja dapur dan duduk di kursi sambil menyilangkan kakinya. “Sakit apa Kevin? Tante baru tahu lho,” “Infeksi lambung Tan, kebanyakan minum alkohol karena frustasi sama ka Marsha,” Keysha menceritakan hal itu dengan ringan seolah bukan sebuah masalah besar. Sementara Thea menghembuskan nafasnya kasar. “Tan, kalau disuruh milih nih, tante mau milih pasangan Kevin - Marsha atau Kinara-Marchell?” Thea mematikan kompor dan meletakkan hasil masakannya ke piring. Lalu mengambil air dingin dan meminum langsung dari botolnya. “Tante gak bisa milih sayang, mereka anak Tante. Kalau kamu pilih siapa?” Keysha pun menggeleng perih, dia sangat menyayangi kedua kakaknya dan tidak pernah menyangka mereka akan senaif ini dalam menentukan pasangan hidup. Thea memotong bawang merah dan mengeluarkan air mata dari matanya, air yang semakin membanjir karena mengingat masalah anak-anaknya. Keysha tahu Thea menangis bukan karena bawang, melainkan karena sedih dengan konflik yang terjadi ini. Mungkin disinilah titik kesabaran wanita itu, sehingga dia melampiaskannya dengan menangis. Keysha memeluk Thea dari belakang dan meletakkan dagunya di bahu Thea. “Udah tante jangan nangis, aku juga sedih.” “Gimana bisa gak nangis Key? Sejak dalam perut mereka selalu bersama, tante gak pernah terfikir kalau mereka akan mencintai seseorang dari keluarga yang sama pula.” Thea mengelap air mata dengan punggung tangannya. “Tan...” Thea terdiam “Tante...” Keysha Merengut karena tak mendapat jawaban dari Thea atas kediamannya. “Apaan sih Key?” “Tante bau ketek.” Keysha tergelak dan menjauhi Thea, sementara wanita paruh baya itu mengendus ketiaknya, dia yakin tidak ada bau aneh dari situ. “Aku bercanda tante....” Keysha tak bisa menahan tertawanya karena berhasil mengerjai sosok wanita yang dihormati setelah ibunya itu. “Argghhh Sabrina... anak kamu nyebelin!” Rutuk Thea sambil menjawil pipi Keysha yang masih terus tertawa. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN