52 - Senyum Santai

1222 Kata
"Diam!" dengus Ibu Willem. Jeny van der Beele. Menanggapi kalimat baru disampaikan oleh suaminya. Dimana meminta dirinya, untuk tak ikut campur. "Bagaimana aku tak ikut campur saat melihat pada satu sisi, itu adalah suamiku, sementara sisi lain, Putraku, saling tatap dengan sorot tak menyenangkan satu sama lain!" lanjut Jeny. "Ibu… Disampaikan oleh Ayah benar! Kali ini aku cukup sepakat! Lebih baik tak ikut urusan dulu!" ucap Willem. "Ohhh… Kau juga berfikir begitu? Bagus… Bagus…!" tanggap Jeny. Memasang wajah merengut kesal. "Jadi, saat itu coba mengenyahkanku, kalian bisa sepaham satu sama lain! Sementara untuk urusan lain, berkembang seperti bukan pasangan Ayah-Anak! Terus bersitegang! Berperang dingin!" "Dengan sikap itu, kau yang disana! Masih mau memanggilku Istri?" lanjut Jeny, mulai menunjuk jari kepada Jan. Melihat Sang Istri berkembang marah, paham segala omelan panjang akan lekas hadir. Jan sekedar bisa mengambil nafas panjang. Segala ekpsresi terhormat nan elegan sedari tadi ia tampilkan, cepat berubah malas. Kembali mengambil buku sempat ia letakkan untuk baca lagi. "Dan kau, masih memanggilku Ibu?" Meski kesal melihat sikap Sang Suami, Jeny memutuskan untuk perhitungan nanti. Melanjutkan kini ganti menunjuk jari kepada Willem. "Ibu… Bukan begitu maksduku…" Jika Jan menampilkan sikap seolah malas, sudah bosan dan tak berminat dengan segala hal macam omelan tak jelas. Willem menanggapi kata-kata Sang Ibu dengan ekspresi raut wajah cemas. "Bukan begitu? Lalu apa? Jelas sudah sangat terang! Kalian selalu bersikap dingin! Tak sepaham! Berkonflik terus! Giliran ingin memintaku pergi, cuma butuh detik singkat lekas sepaham! Sungguh membuat sakit hati saja!" dengus Jeny. Masih dengan wajah bersungut. Merasa itu akan percuma, tak ada ruang atau kesempatan dapat ia lihat untuk coba menyela ucapan Sang Ibu yang sangat jeli memilih topik pembahasan sangat menyudutkan diangkat, Willem memutuskan untuk menjadi diam. Melirik kearah Sang Ayah yang justru kembali membaca buku. Willem, kini mulai dapat memahami sikap Sang Ayah yang akan selalu sekedar diam saat Ibunya, mulai mengomel. Mengucap kalimat balasan apapun, itu seperti justru memukul kepala sendiri. Dapat digunakan oleh Sang Ibu, diolah dengan sangat cerdas menjadi bumbu penyedap semakin mempertajam kalimat omelan. Puluhan tahun hidup berumah tangga menjadi pasangan suami-istri, tak terbayang bagaimana Ayahnya mampu begitu teguh dalam menghadapi badai seperti ini kerap menerjang. Sebagai sesama lelaki, Willem lekas mendapat sensasi perasaan simpati. Terkesan serta kagum pada Jan. Memahami alasan ia selalu diam, pasti karena sudah cukup sangat bosan. Tak ingin lagi membuang tenaga dan pikiran untuk hal-hal macam ini mengingat usianya yang telah berkembang mulai lanjut. Diam, adalah opsi paling bijak dapat diambil. Menghemat energi. "Jan… Turuti saja permintaan Willem! Tak perlu bersikap terlalu keras! Bagaimanapun juga, dia ini Putramu satu-satunya! Memang kemana kau akan pergi ketika nanti sudah tua renta? Siapa mau kau andalkan untuk merawat?" ucap Jeny. Kembali mengarahkan deras omelan, untuk Sang Suami. "Ya… Terserah…!" balas Jan singkat. Masih membaca buku. Tanpa mengangkat wajah menatap balik Istrinya. "Dua hari lagi aku cukup banyak waktu luang! Suruh Bupati Sidoarjo menghadap!" lanjut Jan. Tentu kali ini melempar kalimat untuk Willem. "Baik!" balas Willem singkat. Mendengar balasan serta ekpsresi datar Willem pasca ayahnya telah mengambil sikap sedikit mundur, Jeny lekas mengerutkan kening. "Kau juga Willem! Tanggapi dengan benar Ayahmu! Beri penghormatan dengan benar! Setidaknya berterima kasih telah membantu apapun itu urusanmu!" dengus Jeny. "Ya… Ayah…! Putramu yang tak siginifikan ini, mengucap terimakasih atas segala kemurahan hati telah sudi membantu urusan!" ucap Willem. Lekas menurut meski dengan kalimat serta intonasi nada seperti Sarkasme. "Sama-sama! Kedepan coba lebih kompeten lagi!" balas Jan. Melempar kalimat Sarkasme balik. "Kalian ini…." Jeny, tentu malah semakin kesal. Sikap Ayah-anak dihadapannya, seolah malah seperti bentuk ejekan untuk dirinya. "Jen…! Bukankah kau tadi cukup cemas Willem pulang terlambat?" Lekas memotong sebelum Sang Istri kembali melempar kalimat mengomel lanjutan, Jan mengangkat tentang keterlambatan Willem pulang kerumah. "Ohh… Itu benar! Kenapa kau terlambat? Sampai melewatkan makan malam!" Inisiatif Jan, tampak sukses karena Sang Istri, cepat teralih untuk kini mengganti topik. Bertanya menatap kearah Willem. "Itu hanya sekedar…." "Willem bilang ada halangan dijalan! Halangan yang sampai perlu Wardiman turun tangan!" Hendak menjawab pertanyaan Sang Ibu, kalimat Willem terpotong oleh Jan. Mendahului membuka menggantikan Sang Putra. "Wardiman?" Jika itu tadi Jan bahkan sempat teralih fokus bacanya ketika Willem menyebut nama Wardiman, Sang Ibu, Jeny, dimana juga cukup paham bagaimana reputasi Wardiman yang merupakan mantan Boss rampok tersohor, tentu kini berkembang pucat raut wajahnya. Memasang ekspresi cemas saat mulai bergumam sembari lekas melangkah mendekati sosok Willem. "Halangan apa sampai perlu Wardiman yang menyelesaikan! Katakan pada Ibu! Cepat!" tanya Jen. Menggenggam pundak Putranya untuk kemudian menggoncang tubuh Willem beberapa kali. Mulai menatapi serta memeriksa bagian tubuh Willem dengan pandangan sangat cemas. "Kau terluka?" tanya Sang Ibu sekali lagi. Cepat menyambung pertanyaan dengan pertanyaan lain saat bahkan Willem belum sempat menjawab yang pertama. 'Ayah… Dia pasti sengaja!' gumam Willem dalam hati. Melirik kearah sosok Jan yang masih bertahan membaca dengan ekpsresi tenang. Willem lekas menyadari bahwa Ayahnya, memang sengaja melempar topik. Sengaja menyebut nama Wardiman agar terhindar dari omelan Sang Ibu. Melempar semua kepada dirinya. "Jika Wardiman, kemungkinan Putramu itu sempat berurusan dengan rampok atau sejenisnya!" Sempat juga melirik Willem, bertukar lirikan, Jan lekas menambah bumbu dengan terang-terangan menyebut tentang rampok. "Rampok? Willem! Kau baru bertemu kawanan rampok? Dihadang waktu mau pulang?" tanya Jeny. Berkembang semakin panik. 'Dia benar-benar sengaja! Tak salah lagi! Ayah sialan!" dengus Willem. Memaki dalam hati. Sekedar bisa melirik kesal kearah Sang Ayah. Lirikan kesal yang mana bersambut senyum simpul tipis, hadir diwajah Jan untuk beberapa detik singkat. "Apa ada luka? Cepat katakan pada Ibu! Jangan diam saja seperti orang dungu!" sergah Jeny. "Tidak ada Ibu! Semua benar-benar terkendali! Tak ada perlu dicemaskan! Wardiman bisa mengurus dengan baik!" balas Willem. Coba mulai menenangkan Sang Ibu agar tak terus panik. "Selamat malam, Tuan Willem, anda disini?" Situasi masih cukup kacau dengan kepanikan Jeny saat suara Aldert, terdengar dari arah belakang. Tampak sedang mencari Willem. Melihat kedatangan Aldert, Willem lekas memasang sorot mata lega. Menemukan alasan dapat digunakan untuk pergi dari lokasi. "Ohhh… Aldert…! Kebetulan kau datang!" Hanya saja, sorot lega Willem, lekas kembali tak tenang saat lagi-lagi, Sang Ayah mendahului mengucap kalimat. "Ya, Tuan Besar Jan!" balas Aldert. Bersikap sangat sopan saat mendengar Tuan Asisten Resident Kota Surabaya, menyebut namanya. "Willem bilang ada halangan tadi dijalan! Bisa jelaskan apa terjadi?" tanya Jan. "Hadangan Tuan, kami tak sengaja terlibat dengan Bandit Parang Jalanan! Mantan kelompok Wardiman!" balas Aldert. Tentu tak berani berbohong atau menutupi meski sebenarnya sadar tatapan tak biasa Willem kepadanya. "Bandit Parang Jalanan yang terkenal keji itu?" pekik Jeny. Menjadi semakin panik. "Apa ada yang terluka?" Sementara Jan, melanjutkan bertanya kepada Aldert. "Tuan Willem sepenuhnya aman! Tapi Wardiman sempat terlibat duel dengan enam anggota rampok! Mendapat luka tebasan cukup parah dilengan kanan!" ucap Aldert. "Luka tebasan? Enam rampok?" Ekspresi Jeny, tak bisa terlukiskan lagi. "Willem! Tadi kau bilang sepenuhnya terkendali? Lalu apa itu? Wardiman bahkan sampai terluka? Jelas situasi sangat serius!" ucap Jan. Lekas menggenggam erat peluang datang dengan sendirinya. Berkembang semakin menempatkan Willem pada situasi serba salah dengan kalimat-kalimatnya. "Ayah…!" ucap Willem. "Diam…! Kau…! Ikut aku keruang pengobatan sekarang!" Tak sempat mengucap kalimat apapun, Willem kembali didahului. Kali ini oleh bentakan Sang Ibu. "Aldert! Panggil tabib! Dokter perumahan jika perlu! Suruh datang kesini sekarang juga!" Melanjutkan, Jeny memberi intruksi kepada Aldert sembari mulai menarik lengan Willem. Pada sisi lain, Jan yang kini menjadi satu-satunya tinggal dilokasi pasca tiga sosok telah meninggalkan ruang, memasang senyum tipis. Berhasil mengenyahkan segala keributan untuk kembali mendapat ketenangan. Melanjutkan santai membaca buku.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN