51 - Jan van der Beele

1233 Kata
Waktu telah cukup larut, ada sekitar pukul delapan lewat saat Willem yang baru selesai membersihkan diri, telah berpenampilan segar mengenakan pakaian santai, mengetuk pintu. "Ayah… Boleh aku masuk?" ucap Willem. Pasca mengetuk singkat dua kali. "Masuk…!" Menjawab kalimat permintaan ijin Willem, adalah sebuah suara terdengar memiliki intonasi nada berat. Tentu suara dari Jan van der Beele. Assisten Residen Kota Surabaya. Ayah Willem. Tanpa menunda, Willem lekas membuka pintu. Memasuki ruang saat Sang Ayah, memberi ijin. "Kau melewatkan makan malam! Ibumu cemas! Sudah bertemu dia?" Willem baru mengambil beberapa langkah memasuki ruang kerja ketika Jan yang tampak sedang duduk membaca buku, membuka percakapan. "Belum…! Nanti akan kutemui sebelum mengambil waktu istirahat kembali ke kamar!" balas Willem. Menempati kursi dihadapan meja Sang Ayah. "Tak biasa kau pulang terlambat! Keluar dari karaktermu yang selalu disiplin perihal waktu! Apa ada permasalahan tertentu?" tanya Jan sekali lagi. Masih bertahan membaca buku, tak memberi tatapan kepada Sang Putra. "Bukan hal besar! Sekedar gangguan dijalan! Dapat diselesaikan baik oleh Wardiman!" balas Willem. "Wardiman?" Mendengar Willem menyebut nama Wardiman, Jan lekas mengangkat wajah. Tentu harus hal-hal menyangkut kekerasan jika itu perlu diselesaikan oleh Wardiman. Pemikiran yang lekas membuat sosok Asisten Resident Kota Surabaya ini memberi perhatian khusus. "Seperti kusampaikan, bukan masalah besar Ayah! Semua telah selesai tanpa ada hal perlu dicemaskan!" ucap Willem. Menyadari tatapan bertanya dari Jan. "Ohh… Bagus kalau Wardiman menjalankan peran dengan baik!" ucap Jan singkat. Seraya menarik tatapan kepada Willem, untuk kembali ke buku sedang ia pegang. Jan van der Beele, Ayah Willem, memiliki penampilan hampir sangat mirip dengan Putranya. Pembawaan tenang Willem, pastinya juga turunan dari Sang Ayah. Jika saja Willem dan Jan disandingkan ketika berada di umur sama, mungkin orang akan sulit untuk membedakan. Keduanya terlalu mirip. Sekedar kumis Jan, memberi perbedaan mencolok, kumis khas seorang pembesar Belanda. Terawat sangat baik, rapi nan menampilkan pembawaan elegan. Willem sendiri, memutuskan tak memelihara kumis seperti Jan, lebih nyaman dengan wajah bersih. Selain itu, ia juga merasa cukup repot jika harus memelihara kumis. "Ada perlu apa?" tanya Jan. Kembali membuka percakapan saat Willem, berkembang sekedar diam. Memilih koleksi tumpukan buku bacaan di meja kerja Sang Ayah. "Cuma beberapa hal terkait bisnis!" ucap Willem. Baru membuka mulut saat Ayahnya bertanya. Memang sengaja menunggu agar tak menjadi pihak yang mengambil inisiatif percakapan. "Bisnis? Tak biasa kau mengangkat kegemaranmu itu?" tanya Jan sekali lagi. Masih tanpa memberi tatapan kepada Willem. "Bukan sepenuhnya terkait denganku!" tanggap Willem. Memahami Sang Ayah, sebenarnya cukup tak senang dengan pilihannya dalam merintis bisnis di Tanah Hindia. Bagaimanapun juga, tujuan awal Jan memberi intruksi agar Willem datang ke Tanah Hindia setelah menyelesaikan pendidikan, itu adalah untuk meneruskan warisan kedudukan politik. Ingin agar Putranya, meniti karir politik sama seperti dirinya. "Jadi?" tanya Jan. Menampilkan sikap sama tenang dengan Willem. Saat Willem memilih untuk memainkan hal-hal psikologis dalam percakapan dengan menjadi pihak yang sekedar mengikuti arus pembicaraan, Jan bermain tak kalah cerdas. Meski menjadi pihak yang berinisiatif membuka percakapan, itu akan selalu dengan pertanyaan pasif. Memaksa Willem secara tak langsung harus yang menyampaikan tujuan. Jenis percakapan duo pasangan Ayah dan Anak ini, jelas adalah jenis yang akan membuat tiap sosok kebetulan jika itu ikut mendengar, pasti lekas menjadi frustasi sendiri. Tarik ulur seperti sedang coba mempertahankan harga diri masing-masing. Permasalahan tentang berbeda pandangan dalam karir, tampak banyak mempengaruhi hubungan Willem dengan Sang Ayah. "Calon rekan bisnis, memiliki permasalahan tentang modal awal!" ucap Willem. Sedikit mengalah, mundur satu langkah untuk menyampaikan langsung maksud kedatangannya menghadap Jan. "Modal awal?" gumam Jan. "Bisa lebih terperinci? Dan siapa rekan bisnis ini hingga kau merasa itu perlu disampaikan kepadaku?" lanjut Jan. Menyambung pertanyaan, dengan pertanyaan lain. "Bupati Sidoarjo! Raden Mas Adiwangsa!" ucap Willem, tanpa basa-basi langsung pada inti. Menyebut nama. Kalimat balasan Willem, sekedar bersambut anggukan singkat Jan. Masih membaca buku. Menyiratkan agar Willem. Melanjutkan. "Aku dan Hong Kui, Saudagar Tionghoa pemilik cabang usaha Purnama, ingin membuka bisnis baru! Juga melebarkan cakupan wilayah tak hanya di Surabaya! Mencoba Sidoarjo!" ucap Willem. Tanggap segera melanjutkan penjelasan. Memahami gesture Jan tanpa sosok Ayahnya tersebut, perlu mengucap kalimat apapun. "Bisnis baru ini dalam bentuk restoran multikultur! Tepatnya Eropa, Tionghoa, dan Jawa!" "Rekan bisnis Ketiga kami pilih, itu tadi Raden Mas Adiwangsa! Bupati Sidoarjo sekaligus Ningrat Jawa! Memenuhi segala keperluan bisnis restoran multikultur yang masih kurang!" "Ohhh… Ningrat Jawa, sesuai kultur Jawa, sekaligus Bupati Sidoarjo, lokasi kau berniat melebarkan sayap?" tanya Jan. "Tepat!" tanggap Willem. "Menjadi permasalahan, sekedar pada modal! Bupati Sidoarjo ini tak bisa menyediakan modal awal telah disepakati!" lanjut Willem. "Jadi, apa hubungannya antara Bupati Sidoarjo, bisnis barumu, dan juga modal awal ini denganku? Kulihat tak ada keterkaitan apapun spesifik dapat digunakan!" ucap Jan. Bertahan dengan sikap tenang. Intonasi nada berat nan dingin. "Ayah… Kurasa tak perlu kita lanjutkan seperti ini!" balas Willem. Tak kalah tenang. Berkembang cukup santai. "Aku tahu kau memiliki beberapa keperluan dengan wilayah tanah perbatasan Surabaya-Sidoarjo!" lanjut Willem. Mengangkat topik tertentu yang kini, berhasil menarik perhatian Jan. Sosok Ayahnya tersebut, menghentikan aktivitasnya. Menutup buku untuk kemudian meletakkan diatas meja. Menatap kearah Sang Putra. "Hmmm… Memang apa kau tahu?" tanya Jan. "Cukup banyak!" balas Willem singkat. Tak terpancing. Paham Ayahnya, sedang coba mengorek tentang sejauh mana kedalaman informasi ia ketahui. "Satu yang pasti, tanah perbatasan ini lumayan penting, mengingat kau beberapa kali perlu memanggil langsung Bupati Sidoarjo untuk menghadap langsung!" "Pertemuan yang jelas cukup rahasia, tak diketahui Tuan Asisten Resident Kota Sidoarjo!" tutup Willem. Terjun mengikuti arus permainan Jan. "Hmmmm… Sampaikan keperluanmu langsung!" balas Jan. "Ayah, sebenarnya kau jelas tahu ini juga akan membantu keperluanmu!" gumam Willem. "Bupati Sidoarjo, meminta waktu menghadap denganmu, hendak meminta solusi atas persoalan modal awal ini!" "Cukup beri ia sejumlah Gulden yang tak terlalu siginifikan, maka kau bisa memainkan syarat dapat memudahkan urusan terkait tanah wilayah perbatasan!" "Kebutuhan dua pihak, dapat terpenuhi dalam sekali jalan! Kau lebih dekat dengan apapun itu urusan pada tanah wilayah perbatasan, sementara aku, mendapat rekan ketiga bisnis baru hendak kubangun!" lanjut Willem. "Selama semua adalah kesepakatan setara, tentu kau tak mempermasalahkan bukan? Harus Putramu ini yang mengajukan!" tutup Willem. "Hmmm… Memang tampak setara, tapi kurasa semua masih terlalu berat dalam keuntungan disisimu!" balas Jan. "Kenapa cukup bersikeras membantu Bupati Sidoarjo ini? Hingga kau melenturkan harga diri meminta kepadaku? Apa yang spesial? Harus dia menjadi rekan ketiga bisnismu?" "Jangan membahas hal-hal terkait kebutuhan kultur Jawa dan kedudukan Bupati! Itu dapat dipenuhi oleh Ningrat Pribumi manapun!" "Keuntungan apa selain bisnis kau coba dapatkan dari Raden Mas Adiwangsa nan malang ini? Dia sekedar alat bukan?" Jan van der Beele, menutup Kalimat dengan pertanyaan tajam nan sulit dihindari oleh Willem. Tampak sangat memahami jalan pikiran Putranya tersebut. Bagaimanapun juga, itu memang Willem dan Jan begitu mirip satu sama lain. Jan tak perlu susah payah jika ingin membaca Willem, berkembang tinggal coba berfikir seperti dirinya sendiri sebagai awalan topik mengulik informasi. "Ayah… Sepanjang kuingat, aku sama sekali tak pernah meminta apapun padamu! Jadi, apa perlu seperti ini? Kau benar-benar melangkah sejauh ini hanya untuk coba bersenang-senang menekanku?" gumam Willem. Wajah santai, lenyap menjadi serius. "Sekedar pertanyaan sederhana, kenapa begitu membebani hatimu? Justru membuatku malah ingin melangkah lebih jauh!" tanggap Jan. Nyatanya tetap bertahan dengan sikap meski Willem, baru mengucap kalimat serta ekpsresi serius. "Kalian berdua! Ayah-Anak! Sebenarnya ada permasalahan apa?" Suasana tegang antara Willem dan Jan, baru terpecah saat suara seorang wanita, terdengar bersama pintu, terbuka. "Sungguh heran dengan para lelaki dirumah ini! Seolah menganggap dirinya adalah tokoh utama dari perputaran dunia!" "Ibu…!" gumam Willem. Menyambut sosok wanita baru memasuki ruang. "Istriku… Tak perlu melibatkan diri!" ucap Jan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN