15 - Tamu Tambahan

1256 Kata
"Wahh… Sepertinya ada yang tertarik dengan kabar kusebar!" Melihat Hong Kui terburu kembali menuju pintu masuk, Willem menggumam kalimat sembari tersenyum tipis. Tampak tahu tentang apa yang membuat Saudagar Tionghoa itu terlihat cukup kaget. "Apalagi masalah kau bawa?" tanya Belinda. Kebetulan mendengar gumam lirih Willem. Juga menyadari perubahan raut wajahnya. "Masalah? Seperti aku biang masalah saja. Bukankah itu kau? Sedari kecil suka membuat keributan!" balas Willem. Tanpa memberi wajah untuk Belinda yang duduk tepat disebelahnya. Sempat menatap punggung Hong Kui yang berlari tergesa, Willem melanjutkan dengan memandang sekitar. Menatap sosok-sosok undangan menghadiri pesta. Tatapan Willem sendiri, bersambut tiap orang yang kebetulan sedang ia lihat, lekas menarik tatapan mereka. Bagaimanapun juga, sejak awal memasuki ruang, memang Willem serta Belinda, lekas menjadi pusat perhatian. Merebut kehebohan sempat terjadi dari kedatangan Kirana sebelumnya. "Kirana! Dia Tuan Willem! Putra dari Tuan Jan van der Beele. Pembesar yang kapan hari Ayah ajak kunjungi kediamannya!" ucap Raden Mas Adiwangsa. Sedikit berbisik kepada Kirana yang duduk disebelahnya. "Ohh… Perjalanan ke Surabaya waktu itu Ayahanda?" tanya Kirana. "Benar…." balas Raden Mas Adiwangsa. Terdengar bangga. "Ehh… Dia melihat kita!" gumam Kirana. Saat tatapan Willem yang sedari tadi bertahan menyapu sekitar, sampai juga pada mejanya. Raden Mas Adiwangsa sendiri, lekas menarik pandangan. "Kirana…" Menyisakan Kirana yang tampak tak paham. Sempat saling tatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya diingatkan oleh Ayahnya. "Ahhh… Kenapa tak boleh?" tanya Kirana polos, dengan intonasi nada lirih sedikit berbisik. "Tak etis!" balas Raden Mas Adiwangsa. "Tapi, dia masih melihat kearah sini!" ucap Kirana. Nyatanya masih menyempatkan melirik. "Biarkan saja! Jangan dilihat balik!" gumam Raden Mas Adiwangsa. Memberi intruksi pada Kirana, untuk tetap menundukkan wajah. Tak lagi coba menatap balik kearah tatapan pihak lain walau dengan sekedar lirikan. "Dimana?" Sementara itu, Willem sendiri kini tampak mengerutkan kening. Bergumam lirih saat merasa seperti pernah melihat wajah Kirana. "Kenal?" tanya Belinda. Mendengar gumam lirih Willem. Seraya mulai melirik tajam sosok Kirana. 'Hanya gadis Pribumi udik!' gumam Belinda. Melanjutkan dalam hati. "Ohhh… Sekarang aku ingat! Pertama kali sampai di Surabaya, sempat berpapasan dengan gadis ini!" ucap Willem. Tampak mengabaikan pertanyaan Belinda. Kata-kata Willem, jelas merujuk pada momen pertama ia sampai dijalanan sekitar perumahan Totok Eropa ketika baru dijemput oleh Aldert dari pelabuhan Surabaya. Sudah lewat lebih satu tahun, namun wajah Kirana, entah kenapa begitu melekat di ingatan Willem. Pandangan sekilas dari momen antar kereta kuda berpapasan, masih membekas dibenak Putra Asisten Resident Kota Surabaya ini. "Tuan… Dia gadis yang sedang cukup sering dibicarakan!!" Coba membantu, Aldert yang sejak awal menemani berdiri dibelakang kursi Willem, mulai membagi informasi. "Ohhh… Gadis itu?" tanya Willem. "Benar! Anak Gadis Bupati Sidoarjo! Raden Mas Adiwangsa! Kirana!" "Tepatnya Raden Rara Kirana!" balas Aldert. "Wahhh… Sekarang aku bisa memahami kenapa banyak orang menyamakan dia dengan Dewi Shinta!" gumam Willem. "Dewi Shinta?" Terus diabaikan, Belinda tampak tak menyerah untuk kembali melempar pertanyaan. Terlihat ingin dilibatkan dalam percakapan. "Istri dari Rama dalam cerita pewayangan Ramayana!" balas Willem. Akhirnya menanggapi pertanyaan Belinda. Meski tetap, tanpa memberi tatapan. Menjawab dengan mata bertahan melihat sosok Kirana pada meja disudut lain ruang. "Pewayangan Ramayana? Apalagi itu?" tanya Belinda. "Sudahlah! Kau tak akan tahu! Jadi percuma menjelaskan lebih jauh!" tanggap Willem. Sejak awal pertama kali berpapasan secara kebetulan melihat wajah Kirana, Willem memang sudah cukup terpukau, kini mendapat kesempatan untuk menatap lekat lebih jelas dan lebih lama, Pemilik Perusahaan Pertanian der Beele ini, berkembang semakin menaruh minat tertentu pada sosok Kirana. Situasi yang dapat dilihat dari sorot matanya tampak tak henti bergetar. Seperti memang sengaja menampilkan bahwa ia sedang kagum. 'Bagai Dewi Shinta ya?' gumam Willem dalam hati. Memasang senyum tipis sederhana penuh maksud tertentu. 'Sekedar gadis Pribumi udik! Apa yang begitu menarik hingga ia menatap sedemikian rupa?' dengus Belinda. Terlihat tak senang dengan bagaimana cara Willem menatap. Cepat mempertajam sorot dingin ikut memandang sosok Kirana. Willem sendiri, baru menarik tatapan kepada Kirana saat Hong Kui yang sebelumnya berjalan keluar, kini kembali memasuki ruangan. Tampak tak sendiri, membawa serta sosok beberapa tamu kaum Totok Eropa. Berperan sebagai pengantar, Hong Kui mempersilahkan beberapa Totok Eropa yang tampak adalah para pejabat dibawah naungan ayah Willem, Tuan Jan van der Beele, untuk menempati meja sama dengan Willem. Cepat tanggap memerintahkan beberapa pekerja menyiapkan kursi tambahan. Hong Kui sendiri, tak henti menatap kearah Willem dengan sorot mata seolah sangat berterima kasih. Sosok-sosok penting Totok Eropa baru hadir, tentu adalah mereka yang diundang oleh Willem. Satu hal memang sempat dijanjikan ketika menyelesaikan kesepakatan Bisnis kemarin sore. "Kalian memutuskan datang?" tanya Willem. "Kau bilang akan ada acara Lelang, cukup penasaran!" balas salah satu Totok Belanda yang kini telah mengambil tempat duduk dimeja sama dengan Willem. "Ya… Cukup jarang acara seperti ini! Jadi sangat menarik memang!" sahut salah satu Totok Belanda lain. Secara total, ada lima Totok Belanda hadir menempati meja. Empat dikenali oleh Willem karena memang bekerja untuk Ayahnya di kantor Residen Kota Surabaya. Sementara satu lain, tampak asing dimata Willem. "Ohhh… Perkenalkan! Ini Laurens Both! Keponakan jauhku!" Menyadari tatapan Willem pada sosok pemuda tak ia kenal, salah satu bawahan Jan van der Beele, Ayah Willem, memperkenalkan. "Both?" gumam Willem. Seperti pernah mendengar sebelumnya. "Dia anak dari Asisten Resident Kota Gresik! Tuan Gerard Both!" "Ohh… Pantas!" balas Willem singkat. Lain sisi, menyadari pandangan tak terlalu suka pemuda seumuran bernama Laurens ini kepadanya. Sekedar dengan sekali lihat, Willem dapat menduga bahwa Laurens, adalah jenis anak pejabat besar yang manja dan sombong. Sifat umum dimiliki anak-anak Totok Eropa yang lahir dan besar di Tanah Hindia. Bagaimanapun juga, mereka memang mendapat kemawahan berlebih sepanjang hidup. Meski menyadari bagaimana cara Laurens menatapnya, Willem sekedar mengabaikan. Asal tak sampai melewati batas tertentu mengganggu kenyamanan, ia tak peduli. Sementara itu, saat tiap pasang mata kini fokus pada meja Willem, dimana mendapat beberapa sosok Totok Eropa tambahan yang jelas semakin menarik perhatian, membuat Hong Kui semakin terlihat bunga, naik lebih tinggi lagi pamornya, Kirana yang ada dimeja Raden Mas Adiwangsa, tampak tak menaruh minat sama. Lebih tertarik memandangi meja-meja lain. Khususnya Kelompok pelajar HBS. "Ehh… Bukankah itu Emma? Ayahanda! Emma juga hadir ternyata!" ucap Kirana. Tampak menjadi antusias saat dapat mengenali satu wajah berada dikerumunan meja Pelajar HBS Surabaya golongan Indo. "Ohhh… Tentu dia turut diundang, bagaimanapun juga, ia pelajar HBS!" balas Raden Mas Adiwangsa. Kirana, terlihat mengabaikan kalimat Raden Mas Adiwangsa. Tersenyum cerah saat sosok sedang ia pandangi, menatap balik. Melambaikan tangan kearahnya. Emma sendiri, adalah anak gadis golongan Indo tetangga Kirana. Ibunya yang mantan Gundik salah satu pejabat Totok Belanda, sering mengajak Emma saat dipanggil untuk bekerja sebagai pelayan di kediaman Raden Mas Adiwangsa. Kirana dan Emma, bisa dikatakan merupakan sahabat dekat sedari kecil. "Ayahanda… Raden Mas Bagus juga hadir!" ucap Kirana. Menatap satu sosok lain tampak ia kenali. Kali ini pada kelompok pelajar HBS Ningrat Jawa. "Yahh… Tak perlu memberi tahu! Ayahanda sudah memperhatikan sejak awal!" tanggap Raden Mas Adiwangsa. Sibuk menatap meja Willem. Raden Mas Bagus, merupakan pelajar HBS yang tiap hari jumat, diberi upah oleh Raden Mas Adiwangsa untuk datang memberi pengajaran baca tulis kepada Kirana. Anak Bupati Solo ini, seperti kebanyakan pemuda lain, menaruh minat kepada Kirana. Yang membedakan tentu ia cukup beruntung bisa berjumpa rutin dengan pujaan banyak pemuda seusianya tersebut tiap hari jumat. Perjumpaan rutin yang kemudian membuatnya berkembang jatuh semakin terpesona oleh kecantikan Kirana. Raden Mas Bagus, menyimpan perasaan besar tak tertahankan. Sudah berniat akan meminta Sang Ayah, datang melamar ketika nanti lulus dari HBS. "Hei Adiwangsa! Bagaimana yang sempat kutanyakan tempo hari?" Menjadi pembeda suasana, Raden Adipati Soeryo, Gubernur Tuban yang sedari awal duduk satu meja dengan Raden Mas Adiwangsa, melempar pertanyaan. "Hahh? Yang mana?" tanya Raden Mas Adiwangsa. "Pura-pura lupa? Tentu tawaran Kirana dan Putraku ini, Cahyo, menikah setelah ia lulus HBS!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN