Sepuluh

1617 Kata
"Mama bilang apa sama Rayyan barusan?" tanyaku dengan ponsel yang menempel di telingaku, sembari berjalan pelan ke arah lift karena melihat Rayyan yang masih berdiri di sana menunggu lift terbuka. Tidak mau berdua saja dengannya di dalam lift. "Kepo," sahut mama di seberang sana diiringin kekehan kecil. Aku tadi menelepon mama dan mengatakan kalau Rayyan tak perlu mengawasiku segitunya. Kala sedang bicara dengan mama, Rayyan bersuara sehingga mamaku meminta berbicara dengan lelaki itu. Entah apa yang mereka bicarakan, Rayyan hanya sesekali menyahut singkat. Lalu, lelaki itu sedikit menjauh beberapa saat. Rayyan mengangkat tangannya agar aku tidak mendekat ke arahnya. Usai berbicara dengan mamaku, Rayyan mengembalikan ponselku dan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Ma... " panggilku dengan nada cemberut. "Jangan bilang yang aneh-aneh sama Rayyan. Aku tuh sama dia udah nggak ada hubungan apa-apa lagi saat ini. Sekarang kita berdua bisa bareng karena satu kerjaan aja, nggak lebih dari itu." "Nggak bilang yang aneh-aneh, kok." "Bener?" "Kamu ini, nggak percayaan banget sama mama." "Habisnya mama kayak masih berharap banget aku bisa balikan lagi sama dia. Ma, tolong jangan gitu dong! Aku kan udah punya Eros dan Rayyan juga pasti udah ada pasangan juga." "Mama tahu," balas mama terdengar santai. "Rayyan bilang apa aja tadi sama mama emangnya?" "Dia bilang kalau takut kamu diganggu laki-laki yang nggak bener aja. Cuma itu." "Terus?" "Dia cuma khawatir sama kamu, Van. Nggak ada maksud lain." Aku mencibir. Dari mana Rayyan tahu jika lelaki yang ingin mengajakku kenalan tadi adalah tipe lelaki yang tidak benar? Lalu, Rayyan khawatir padaku? Mana ada. Mama tidak tahu saja bagaimana pedasnya mulut lelaki itu yang mengatakan kalau diriku tidak bisa setia hanya dengan satu lelaki saja. Dia yang kembali terpengaruh dengan perkataan Dilla yang menyebut jika diriku tidak bisa menjalin hubungan LDR. "Aku udah dewasa, Ma. Aku bisa jaga diri. Mama nggak perlu nitipin aku ke Rayyan minta dia buat jagain aku. Toh sebelum ketemu lagi sama dia, aku nggak ada masalah sama sekali selama menjadi pramugari terbang ke mana aja, 'kan? Aku selalu inget pesan papa dan mama. Walau pun punya beberapa orang teman yang pergaulannya cukup bebas, aku bisa membatasi diri untuk nggak terjerumus ke dalam hal yang bisa membuat orang tuaku kecewa nantinya. Aku juga tahu mana laki-laki yang pantas buat aku." "Iya, Sayang. Mama tahu kalau kamu nggak akan ngecewain kami sebagai orang tua." Aku memilih untuk duduk di sofa yang tak jauh dari meja resepsionis karena melihat Rayyan yang masih berdiri di depan lift. Kenapa lift-nya lama sekali? "Ya udah kalau gitu. Lain kali, Mama enggak usah pake bilang titip aku segala sama dia kalau semisal ketemu lagi. Emangnya aku anak kecil?" Mama tertawa. "Namanya juga orang tua, Sayang. Wajar kalau khawatir sama anaknya walau si anak udah dewasa juga. Apalagi kamu ini anak perempuan papa dan mama satu-satunya. Tapi Van, mama yakin, semisal mama nggak bilang juga, Rayyan bakalan jagain kamu." "Mama kok kayaknya ada di pihak Rayyan, sih?" protesku tidak setuju dengan ucapan mama. "Bukannya gitu, Vania. Mama bukannya baru hari ini aja kenal sama Rayyan itu. Mama bisa menilai gimana dia. Dini hari tadi aja, dia bela-belain jemput kamu dulu walau jarak rumah kita sama orang tuanya lumayan jauh. Berarti, dia masih care sama kamu meski kalian bukan sepasang kekasih lagi, bukan?" Aku memutar bola mata. Mama tidak tahu saja bagaimana Rayyan sesungguhnya. "Nggak tahu ah, Ma. Aku malas ngomongin dia sebenarnya." *** "Mau jalan-jalan nggak, Run? Sekalian cari makan, yuk!" ajakku pada Seruni di mana perempuan itu sedang sibuk dengan ponsel di tangannya sambil rebahan di kasur. Sesekali dia tampak senyum-senyum sendiri melihat layar ponselnya. Seruni menoleh sekilas. "Sumpah, gue mager banget rasanya, Van. Besok pagi aja, ya? Lihat sunrise terus jalan ke mana gitu. Gue besok sekalian pengen berenang juga." Besok kami mulai ada flight lagi pada siang hari. Jadi, ada cukup waktu untuk menikmati momen pada pagi hari di Pulau Dewata ini. "Makan di restoran bawah aja kalau gitu, mau nggak?" Seruni menggeleng. "Nggak mau juga. Umm... boleh nitip makanan sama lo aja nggak?" tanyanya menyengir. Aku mendengkus. Kalau tidak jalan keluar area hotel, tadinya aku ingin mengajak Seruni makan di restoran bagian outdoor saja yang letaknya di dekat kolam renang serta menghadap ke arah pantai. Sepertinya, malam ini aku akan makan malam sendirian saja. Pasalnya, aku kalau sedang ada flight ke Bali pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati pulau itu hanya dengan menghabiskan waktu di kamar saja. Akhirnya aku turun menuju restoran sendirian dengan memakai atasan hoodie dan hot pants. Aku memilih tempat duduk di bagian outdoor restoran di mana pandangan mataku tertuju ke arah pantai di depan sana. Di sekitarku di d******i oleh bule. Ada yang tengah berenang di kolam atau sekedar duduk di pinggirnya saja. Ada juga yang sedang menikmati makan malam sepertiku atau sekedar duduk-duduk saja menghadap ke pantai menikmati keindahan malam. Selesai makan, aku masih duduk di sana sambil bermain ponsel. Namun, tiba-tiba saja suara yang kukenal terdengar sedang berdebat kecil tak jauh dariku. Suara yang sepertinya milik Rayyan dan Dilla. Aku tidak menoleh ke belakang atau kanan kiri untuk memastikan posisi mereka di dalam cahaya lampu yang tidak terlalu terang di tempat sini.. Mereka juga mungkin tidak melihatku yang menutup bagian kepalaku dengan hoodie. Aku menyimak obrolan kedua orang itu, ah lebih tepatnya memang terpaksa mendengar karena jaraknya dekat walau sebenarnya enggan. "Mau ke mana lagi, Dilla? Kalau mau ke pantai, besok pagi aja. Ajak Seruni atau Vania." "Nggak... nggak mau! Malesin banget ngajakin mereka. Apalagi kalau sama Vania. Dia kelihatan banget suka caper, tebar pesona sana-sini." "Ya udah, pergi sendirian aja kalau gitu." "Kamu nggak mau nemenin? Sumpah, ya... kamu berubah sekarang." Hening. "Berubah apanya sih, Dil?" "Sejak ketemu Vania lagi, sikap kamu berubah sama aku. Kamu beda banget sekarang, nggak kayak dulu. Bahkan, waktu itu kamu ngebentak aku." "Nggak ada hubungannya sama Vania. Lagi juga aku udah minta maaf soal waktu itu. Aku udah bilang kalau nggak bermaksud— " "Kamu bukan kayak Ian yang aku kenal dulu." "Dil, astaga... kenapa jadi kekanakan begini, sih? Ayo balik ke kamar aja deh!" "Nggak! Aku mau ke pantai pokoknya." Aku akhirnya menoleh ke arah belakang karena tidak mendengar suara mereka lagi dan mendapati Rayyan yang merangkul Dilla berjalan menjauhi area restoran. Sepertinya mereka menuju kamar. Sepuluh menit kemudian, aku kembali menuju kamar. Pesanan makanan Seruni telah di antar dari tadi oleh waitress, jadi kemungkinan sekarang teman kamarku itu sudah tertidur. Aku bisa teleponan dengan Eros nanti di dalam sana. Saat di restoran tadi Eros mengirimkan pesan dan katanya ada sedikit lembur. Dia baru akan tiba di rumah kira-kira 2 jam lagi sejak aku mulai makan tadi. Ketika berbelok dari arah lift menuju lorong kamarku, aku melihat di bagian ujung lorong ada Dilla dan Rayyan yang berdiri di depan pintu kamar. Dari kejauhan, bisa kulihat Rayyan yang mengusap wajahnya tampak fruastasi dan Dilla yang sepertinya sedang kesal dengan terus berbicara. Aku berjalan dengan langkah pelan menuju kamarku yang jaraknya cukup dekat dari posisi kedua orang itu berada. Sesaat sebelum aku tiba di depan kamarku dan Seruni, langkah kakiku terhenti melihat kedua orang itu berpelukan. Rayyan itu menyebalkan dan aku tidak menyukai sikapnya saat ini dan juga dulu yang meninggalkanku ketika aku sedang sayang-sayangnya kepada lelaki itu. Hingga saat ini, walau sudah memiliki seorang kekasih, aku tak memungkiri jika masih tersisa sedikit rasa dibalik kekesalanku atas sikapnya. Bodohnya, mataku tetap tertuju lurus ke depan sana dan melihat Rayyan melepas pelukan mereka, lalu mengusap air mata Dilla. Aku bisa mendengar isak tangis perempuan itu saking kencangnya. "Udah, jangan nangis lagi." Di saat itu, Rayyan menoleh dan tatapan mata kami beradu. Dia menatapku dengan ekspresi datar dan aku segera membuang pandangan ke arah lain. "Ayo masuk, jangan nangis lagi." Aku menghela napas kasar, lalu kembali melangkahkan kaki dan menangkap sosok Rayyan yang menuntun Dilla memasuki kamar di depan mereka. Baru saja memasuki kamar, Eros meneleponku. "Hallo?" "Sayang, maaf. Aku enggak jadi pulang dan sekarang masih di kantor. Belum selesai kerjaan aku. Besok aja aku teleponnya, oke? Kabarin aku kalau kamu lagi free besok malam. Aku pengen video call." "Iya. Besok aku kabarin. Kamu yang semangat kerjanya, ya?" "Siap! Aku akan kerja keras demi masa depan kita." "Emm." "Kok jawabnya gitu doang? Ya udah, Sayang, aku cuma bisa nelepon bentar doang nih, biar kerjaan aku cepat selesai." Aku sedikit merasa aneh dengan sikap Eros beberapa hari ini. Sejak malam itu aku lagi dan lagi menolak dicium olehnya, apakah dia marah padaku hingga tidak mau datang acara makan malam bersama orang tuaku juga, lalu semakin sulit dihubungi? Tapi itu bukan pertama kalinya aku menolak dan dia sama sekali tidak mempermasalahkannya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Eros mungkin saja memang sedang banyak pekerjaan mengingat dirinya adalah seorang IT hebat yang cukup diandalkan di kantornya. Setelah sambungan telepon dengan Eros terputus, aku menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Begitu usai dengan kegiatan di kamar mandi dan melangkahkan kaki ke arah tempat tidur, pintu kamarku diketuk. Aku sempat berpikir jika Dilla lah yang mengetuk pintu, ingin mengajakku berbicara karena sewaktu di pesawat dia berkata begitu. Aku sudah berada di depan pintu hendak meraih gagang pintu, namun kuurungkan niatku. Ngapain juga gue harus ngeladenin orang kayak gitu? Saat akan berbalik badan, terdengar suara laki-laki dari luar dengan kembali mengetuk pintu kamarku. "Buka pintu kamarnya, Vania!" Suara Rayyan. Aku memijit keningku. Astaga, mau apa lagi lelaki itu? Rayyan terus menggedor pintu. Dari pada Seruni bangun, aku akhirnya segera membuka pintu. "Mau apa anda malam-malam gedor-gedor kamar saya, hah?!" semburku sambil berkacak pinggang di hadapan lelaki itu. "Ikut saya sekarang!" Rayyan menarik pergelangan tanganku keluar kamar. "Nggak mau!" Aku menghempas kasar cekalan tangannya, namun dengan cepat tangannya yang satu lagi meraih tanganku kembali. "Mau ikut atau saya cium kamu di sini. Mau pilih yang mana, hmm?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN