Sembilan

1697 Kata
Hidung mancung, alis tebal, bibir kiss-able, semua yang ada pada wajah Rayyan memang terlihat sempurna tanpa cela. Aku tak menampik, jika pesona lelaki itu semakin bertambah di usianya sekarang. Melihat dia yang baru saja keluar dari mobil di depan hendak memasuki lobi dengan memakai kacamata hitam, membuat beberapa pasang mata kaum hawa yang berada di sekitar sini tertuju padanya. Tak terkecuali diriku yang juga terpana akan paras tampannya, dibalik sikapnya yang menyebalkan itu. "Gue akuin, Captain Tama emang sekeren itu. Gantengnya kebangetan!" seru Seruni dengan mata berbinar-binar ke arah pintu masuk lobi. "Hmmm." Aku dan Seruni tiba lebih dulu di hotel setelah penerbangan terakhir kami hari ini di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Kami langsung berganti pakaian ke kamar, hendak menikmati momen sunset di pinggir pantai. Kami turun lift di dekat lobi hendak melewati resepsionis ke arah belakang menuju pantai. "Lo mah gitu doang responnya," decak Seruni dengan bibir mengerucut. "Lah, emang gue harus gimana? Iya, dia ganteng. Terus apa?" "Nggak gimana-gimana, sih. Huffft… kadang suka iri aja sama Kak Dilla, dia beruntung banget bisa bersanding sama Captain Tama yang se-perfect itu. Eh, sama-sama beruntung juga. Kak Dilla kan juga cantik banget kayak model atau artis begitu." "Ya, mereka cocok,” jawabku singkat biar Seruni tidak mengoceh panjang lebar lagi. Di saat kami akan melewati resepsionis, Rayyan dan Dilla juga tiba di dekat meja resepsionis tersebut. "Mau ke mana?" tanya Rayyan sembari membuka kacamata hitam dari matanya. Langkah kakiku dan Seruni sontak terhenti. "Kita mau ke pantai. Captain Tama mau ikutan?" Pastinya bukan aku yang bersuara, melainkan Seruni. Rayyan melirikku, namun aku mengalihkan pandangan ke arah lain. "Mau lihat sunset sekaligus cuci mata!" balas Seruni diikuti kekehan kecil setelah mengatakan itu. "Siapa tahu nemu jodoh di sini." Aku menoleh pada sosok Dilla dan mendapati dirinya yang terlihat tidak suka melihat Rayyan yang mengajak kami berbicara. Dia berada di depan meja resepsionis persis saat ini seorang diri, namun sesekali melihat ke arah belakang di mana kami bertiga berdiri. Aku yakin kalau dia tengah mengawasi gerak-gerikku. Rayyan berdehem, kemudian berkata, "Saya dan Dilla nanti akan menyusul, sekalian bisa jagain kalian semua di sana semisal ada laki-laki buaya." "Kita bisa jaga diri, Captain," ucapku sambil memaksakan senyumku. "No need to worry. Permisi... kami jalan dulu." Aku menarik tangan Seruni yang masih terdiam melongo, tanpa mempedulikan Rayyan yang menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. "Itu barusan yang ngajakin kita ngobrol, seriusan si Captain Tama? Gue lagi nggak berhalusinasi, 'kan?" "Umm... kenapa emangnya?" tanyaku pada Seruni yang terlihat seperti orang bengong. "Seorang Captain Tama gitu loh, yang bisasanya terkenal cuek dan dingin kecuali sama Kak Dilla, mau ikut-ikutan kita ke pantai bareng. Kan aneh." "Serius sebelumnya kalau dia sama sekali nggak pernah gabung ramean gitu bareng cabin crew lain ke pantai?" Seruni mengangguk, dia mengimbangi langkah kakiku yang cepat karena hendak segera berlalu dari hadapan Rayyan dan Dilla. "Boro-boro. Mana pernah dia nongol kalau kita-kita lagi kumpul ke pantai atau makan bareng gitu. Tapi kalau Kak Dilla, pernah sih. Kak Dilla doang, tanpa si Captain itu." "Ooh, gitu." Tak lama, kami pun tiba di pinggir pantai yang letaknya tidak jauh dari restoran serta kolam renang hotel. "Eh, Van, ada cowok sebelah sana ngeliatin mulu ke sini," ujar Seruni menjerit kecil, ketika kami sudah 10 menit duduk di sun lounger pinggir pantai. "Ganteng juga, gilakkk!!" Aku memutar bola mata malas. "Biarin, dia punya mata ini." Aku geleng-geleng kepala. "Lo kayaknya nggak bisa ngeliat cowok ganteng dikit aja. Langsung heboh." "Eww, nggak selalu kali! Kalau nemu yang benar-benar bibir unggul doang, yang gantengnya di atas rata-rata. Kayak Captain Tama atau cowok yang duduk di sebelah sana itu." "Dia jalan ke arah sini, Van!" Seruni semakin heboh dengan mengguncang-guncang lenganku. Aku melepas kacamata dan beralih padanya. "Nggak usah ge-er dulu, siapa tahu dia ke arah sana," mataku menunjuk ke arah lain, di mana ada minibar kecil di pinggir pantai yang letak tidak jauh dari aku dan Seruni duduk. Lalu, ternyata benar jika lelaki yang dimaksud Seruni menghampiri kami berdua. “Hey, Ladies, boleh gabung di sini?” tanyanya menatapku dan Seruni bergantian. Lelaki itu sepertinya blasteran, namun terdengar fasih berbahasa Indonesia. “Nggak boleh, sorry ya, Bro. Kita di sini lagi nggak pengen gabung sama orang yang baru.” Aku memutar kepala seketika mendengar suara seorang lelaki yang tak lain adalah Rayyan yang sudah berdiri di belakangku duduk. Dan ada Dilla yang berjalan mendekat ke arah kami juga dengan wajah cemberut. “Owh. Kirain mereka ini cuma berdua aja.” Entah perasaanku saja atau gimana, tatapan lelaki blasteran itu tertuju padaku sembari tersenyum. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya. “Oke. Gue nggak akan ganggu waktu kalian. Tapi, sebelum pergi, boleh kenalan sama si cantik ini?” “Sayangnya dia udah punya pacar.” Lagi dan lagi, Rayyan yang menjawab. Aku kembali menoleh pada Rayyan dengan tatapan heran. Sedangkan lelaki blasteran tadi, beranjak pergi begitu saja. Tampak tidak nyaman, entah dengan jawaban yang dilontarkan Rayyan atau tidak suka akan tatapan yang ditujukan Rayyan kepadanya. “Memang kamu udah punya pacar, ‘kan?” Rayyan balas menatapku intens. “Kok Captain tahu si Vania udah punya pacar?” sela Seruni. “Waktu itu mau pulang ketemu pas pacar gue jemput,” ucapku menyahut. Seruni manggut-manggut. “Kamu nggak seharusnya ikut campur loh,” ucap Dilla lembut kepada Rayyan. “Itu urusannya Vania, terserah dia mau terima kenalan sama siapa aja walau udah punya pacar. Itu hak dia, semisal mau dekat sama laki-laki selain pacarnya. LDR itu nggak mudah, apalagi profesi pramugari yang pasti jarang ketemu pacarnya. Nggak salah, kalau semisal Vania sekali-kali mungkin pengen having fun juga sama yang lain.” Aku mendengus di dalam hati. Dilla seolah-olah mengingatkan Rayyan akan apa yang pernah dikatakannya pada lelaki itu dulu. Tentang aku yang ternyata tidak bisa setia hanya dengan satu orang lelaki saja. Aku yang katanya punya hubungan spesial dengan Rafli karena tidak kuat menjalin hubungan LDR terus-terusan dengan Rayyan. Kak Dilla tersenyum padaku yang aku tahu pasti senyuman manis, terkesan ramah, namun penuh kepalsuan. “Lain kali kalau ada yang ngajak kenalan, nggak apa-apa, Van. Enggak usah merasa nggak enakan sama kita-kita.” *** "Udah puas tebar pesonanya? Aku terkejut ketika baru saja keluar dari toilet di dekat kolam renang, ada Rayyan yang berdiri bersandar di dekat sana dengan tangan bersidekap. Seruni sudah aku suruh duluan ke kamar, sementara aku mendadak harus ke toilet. “Maksud anda?” tanyaku dengan mata menyipit. “Apa itu hobi baru kamu beberapa tahun belakangan? Sengaja tadi tebar pesona di pantai dengan pakaian begitu, hmm?” Aku memperhatikan kembali penampilanku. Aku memakai jumpsuit tanpa lengan yang ukuran panjangnya sampai setengah pahaku. Tidak ada yang salah menurutmu jika ke pantai menggunakan pakaian yang saat ini melekat di tubuh kecilku. Kekehan kecil keluar dari mulutku. “Saya heran sama anda. Kenapa repot sekali menilai penampilan saya? Suka-suka saya dong, mau pakai apa pun. Lagian saya ini ke pantai, wajar aja kalau memakai jumpsuit begini.” “Halah, bilang aja kamu mau tebar pesona!” “Anda nggak lihat banyak yang penampilannya lebih-lebih dari saya di sana tadi? Ada banyak bule bahkan orang lokal yang cuma berbikini aja. Kenapa mata anda hanya fokus pada saya aja?” Aku menatap kedua matanya penuh selidik. “Ooh, I see… anda cemburu ada laki-laki lain yang ngajak saya kenalan tadi?” “Apa kata kamu? Saya cemburu?” Rayyan tertawa sinis. “Apa hak saya untuk cemburu? Kamu bukan siapa-siapa yang penting untuk saya. Ya kali saya cemburu ada laki-laki yang deketin kamu.” “Ya udah kalau nggak cemburu. Nggak usah ikut campur urusan saya kalau gitu.” “Saya nggak ikut campur.” “Oh, ya? Terus itu tadi apa namanya, Captain??!” “Saya hanya melindungi cabin crew saya dari para buaya, biar nggak kena terkaman buaya darat.” Aku mencibir. “Saya bisa jaga diri, nggak perlu dilindungi oleh lelaki seperti anda begini. Saya bisa atasi urusan saya sendiri.” “Kenapa? Kamu kecewa tadi nggak bisa kenal sama orang blasteran itu, huh? Kamu masih aja sama kayak dulu.” Rayyan tampak tersenyum mengejek. “Kamu yang enggak bisa setia karena menjalani LDR. Jadi, yang pacar kamu malam itu bukan yang satu-satunya?” Kedua tanganku mengepal di sisi tubuhku dengan mukaku yang kuyakin sekarang sudah memerah mendengar ucapan Rayyan—yang lagi, menuduhku sembarangan seperti yang dilakukannya dulu saat meminta hubungan kami untuk break dan berakhir benar-benar usai dengan dirinya yang tak bisa ditemui lagi. Dan pesan dari Ziel, adiknya yang mengatakan bahwa Rayyan memintaku untuk tidak mengharapkannya lagi. Aku tersenyum getir mengingat hal yang pernah diucapkannya pada masa lalu dan masa kini. “Pengaruh Kak Dilla emang sebesar itu bagi anda, ya?” “Kenapa kamu bawa-bawa nama Dilla dalam pembicaraan kita?” decak Rayyan. “Karena dari dulu dia selalu saja berusaha pengaruhin anda yang… ah, sudah lah. Toh saya mau ngomong apa pun juga nggak akan pernah didengar. Bagi anda, apa yang keluar dari mulut Dilla itu benar.” “Dibilang jangan bawa-bawa Dilla!” Aku menghela napas lelah. “Ya udah, saya nggak akan bicara apa-apa lagi.” Aku hendak melangkah pergi, namun Rayyan mencekal pergelangan tanganku. “Apa lagi, Kak?” tanyaku malas. “Pastiin nanti atau besok-besok jangan pakai baju seksi apa lagi sampe berbikini di tempat kayak gini!” Aku mendongak seraya menghempas kasar cekalan tangan Rayyan pada pergelangan tanganku. Mendengar ucapannya, aku kembali emosi. Apa haknya mengatur penampilanku hanya karena aku bagian dari cabin crew yang selalu akan terbang dengannya ke mana pun? Ini di luar kerjaan, dia tidak punya hak apa pun mengatur para cabin crew-nya. Aku menatapnya dengan tatapan sinis. “Anda cukup urus Kak Dilla aja. Nggak usah atur saya atau cabin crew lainnya juga. Anda nggak punya hak!” “Saya begini karena kemarin pagi mama kamu nitipin kamu ke saya. Kalau ada apa-apa sama kamu, saya nanti gimana bilangnya sama mama kamu? Nanti saya dibilang nggak tanggung jawab jagain kamu.” “Gitu? Oke, saya akan telepon mama saya sekarang untuk tarik kembali ucapannya. Jadi, anda nggak perlu terbebani lagi. Nggak perlu repot-repot ikut campur apa pun tentang saya ketika terbang ke mana pun.” Aku meraih ponsel dan menelepon nomor mama saat ini juga di depan Rayyan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN