Kian, yang merasa puas setelah tiga jam menikmati tubuh wanita itu, menarik napas panjang. Ia mencabut senjatanya lalu segera berbaring di samping wanita tersebut. Cahaya remang-remang kamar menyinari wajah pria itu, yang tampak lelah namun puas. Di sampingnya, wanita itu menggulung tubuh ke arahnya, senyum licik terukir di bibirnya.
Kian melirik ponselnya yang tergeletak di sampingnya, Layar menyala, menampilkan sederet panggilan tak terjawab dari Ashley, istrinya.
“Istrimu sudah menghubungimu berulang kali,” ujar wanita itu, suaranya lembut tapi tajam seperti belati. “Apa kamu tidak berencana menghubunginya?”
Kian mendengus ringan, lalu menjawab datar, “Aku akan melakukannya nanti.”
Wanita itu terkekeh, nadanya penuh godaan. Ia memiringkan tubuh, memeluk punggung Kian dengan erat, tangannya mengusap lembut kulit pria itu. “Bagaimana dengan layanan istrimu?” tanyanya dengan nada mengejek. “Apakah sepertiku yang bisa begitu memuaskanmu?”
Kian menghela napas, pandangannya tetap lurus ke depan, menatap langit-langit kamar yang gelap. “Aku tidak bisa melakukannya selama tiga jam lamanya dengan dia,” jawabnya jujur, suaranya serak namun dingin. “Dia tidak tahu kondisiku. Walau rasanya nikmat, tapi tidak pernah cukup.”
Mendengar itu, wanita tersebut tersenyum penuh kemenangan. “Kalau begitu,” katanya sambil mengusap dadanya dengan lembut, “kau butuh seorang wanita sebagai pelengkap di rumahmu. Bagaimana kalau aku saja yang menyamar sebagai pembantu rumah tanggamu? Siang hari aku akan bekerja seperti biasa, tapi malam harinya aku bisa melayanimu seperti ini.”
Kian segera menegakkan tubuhnya, melepaskan pelukan wanita itu. “Jangan sembarangan bicara,” balasnya tajam, “Aku tidak ingin menyakiti istriku.”
Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil jubah tidurnya yang terlipat di kursi dekat jendela. Setelah mengenakannya, ia berjalan menuju balkon, mencoba menjernihkan pikirannya dari kebingungan dan rasa bersalah yang semakin berat.
Keesokan harinya – Mansion Hernandez
Ashley duduk di ruang tamu besar yang sunyi, hanya ditemani suara detik jam dinding di atas perapian. Matanya terus menatap layar ponsel di tangannya. Sejak malam tadi, tidak ada kabar dari Kian. Ponsel itu tetap sunyi, tanpa pesan atau panggilan masuk darinya.
“Kemana saja dia? Kenapa tidak ada kabar sama sekali?” gumamnya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.
Ia menoleh ke arah jendela, memperhatikan langit yang mulai cerah. Cahaya pagi masuk melalui tirai yang setengah terbuka.
Ashley mencoba menenangkan diri, namun hatinya bergejolak. Apakah sesuatu telah terjadi pada Kian, atau… apakah ia sedang menyembunyikan sesuatu darinya?
Nada dering ponsel Ashley memecah keheningan di ruang tamu. Ia melihat layar ponselnya yang menampilkan nomor tak dikenal. Ragu-ragu, ia mengambil ponsel itu, matanya sedikit menyipit.
“Halo?” ucapnya, nada suaranya terdengar hati-hati.
“Nyonya Hernandez?” suara seorang wanita terdengar dari seberang, dingin namun tegas.
Ashley mengerutkan kening. “Iya, ini siapa?” tanyanya, nada bingung mulai muncul.
“Ada sesuatu yang harus kau tahu tentang suamimu,” suara wanita itu semakin misterius, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar.
Ashley berdiri dari duduknya, dadanya mulai terasa sesak. “Aku tidak mengerti maksudmu?" tanyanya dengan nada sedikit tergesa-gesa.
Wanita di seberang telepon tertawa kecil, tawa yang terdengar mencemooh. “Selama dua bulan ini, pernikahan kalian terlihat cukup bahagia dan harmonis, bukan? Tapi apakah kau tahu tentang suamimu?”
Ashley merasakan jantungnya berdebar keras. Tangan yang memegang ponsel sedikit gemetar. “Tentang suamiku?” ucapnya, hampir berbisik. “Kamu siapa? Apa hubunganmu dengan Kian?”
“Pria tampan memang selalu menarik perhatian banyak wanita,” jawab wanita itu, nadanya penuh sindiran. “Tapi tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Dan kau… siapa sangka kau yang pada akhirnya menjadi pilihannya?”
Ashley mulai merasakan panas di pipinya. Perasaan bingung bercampur dengan kecemasan mulai memenuhi pikirannya. “Kalau kau tidak menjelaskan maksudmu, aku akan memutuskan panggilan ini,” katanya tegas, mencoba menguasai dirinya.
Namun, wanita itu tidak terintimidasi. “Datanglah ke Hotel Grand Luxe, Suite 1502, malam ini. Aku akan memberitahumu semua tentang suamimu. Pria yang selama ini kau banggakan bukanlah orang yang pantas dipertahankan," katanya dengan nada penuh misteri sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban Ashley.
Ashley memandang ponselnya dengan ekspresi bingung dan cemas. Pesan tadi bergema di kepalanya, memunculkan sejuta pertanyaan."Apa maksud wanita itu? Apa yang dia tahu tentang Kian yang tidak diketahui oleh-ku?"
Tiba-tiba ponsel milik Ashley berdering kembali, memecah kesunyian di ruang tamunya. Tangannya yang gemetar segera meraih perangkat itu, membaca nama yang muncul di layar: Kian.
Ashley menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak semalam dipenuhi rasa khawatir. Ada sesuatu yang aneh. Namun, dia tetap menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan itu.
“Halo, Kian?” sapanya dengan nada yang terdengar tenang, meski jauh di dalam hatinya ada gejolak yang sulit diredam.
“Honey, maaf, aku sibuk menjumpai klien semalam. Setelah tiba di hotel, aku langsung ketiduran,” ucap suara di seberang sana.
“Ternyata begitu. Aku mencemaskanmu. Aku mengira kamu terjadi sesuatu,” ujarnya lembut.
“Maaf, Honey, membuatmu khawatir,” balas Kian dengan nada meyakinkan. “Sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien lagi, dan sore ini aku harus berangkat ke Jepang.”
Ashley mengernyit. “Bukankah semalam kamu sudah menemui klien? Kenapa harus menjumpainya lagi?” tanyanya, mencoba tetap terdengar wajar, meski hatinya semakin tidak tenang.
“Ada yang harus kami bahas lebih lanjut,” jawab Kian. Suaranya terdengar terburu-buru. “Aku pergi mandi dulu. Setelah tiba di Jepang, aku akan menghubungimu lagi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ashley, Kian memutuskan sambungan telepon.
Ashley menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Sebuah rasa tidak nyaman mulai menghantui pikirannya. Mungkinkah aku yang terlalu curiga? Tapi, siapa wanita tadi yang menghubungiku? Apa aku harus mendatanginya? gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri, namun kecurigaan itu terus menghantuinya.
Sementara itu, di tempat lain, Kian masih berada di apartemennya. Tubuhnya yang telanjang terbujur di atas ranjang, bersisian dengan wanita itu yang sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun.
“Mari kita lanjutkan sebelum aku berangkat,” ujar Kian dengan suara serak, penuh g4irah. Tangannya meraih pinggul wanita itu, menariknya mendekat, lalu dengan segera melanjutkan permainan.
Gerakan maju mundur Kian semakin cepat, menggema di ruangan yang hanya dipenuhi des4han dan suara napas terengah-engah. Tubuh wanita itu meliuk mengikuti irama, sementara senyum puas terukir di wajah Kian.
Kian memainkan gundukan wanita itu dengan kedua tangannya, menggenggamnya dengan penuh h4srat. Tubuh wanita itu meliuk mengikuti gerakannya, mendes4h pelan, sementara Kian mengoyangkan pinggulnya dengan cepat, menghantarkan dirinya pada kenikmatan yang selalu ia dambakan.
“Kau cukup tega membohongi istrimu,” ucap wanita itu
Kian berhenti sejenak, menatap wanita itu dengan senyum sinis yang penuh percaya diri. “Aku butuh kepuasan juga,” jawabnya santai, seolah tak ada beban. “Tidak mungkin aku tidak melakukannya selama di luar. Aku tidak bisa menahannya."
***
Di mansion mewah milik Kian, Ashley duduk terpaku di sofa. Tangannya gemetar saat menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Saat ia membuka pesan itu, dadanya langsung sesak, seolah udara di ruangan itu mendadak lenyap.
Foto-foto yang dikirim membuat mata Ashley terbelalak kaget. Tubuhnya menegang, sementara jantungnya berpacu kencang hingga ia merasa sulit bernapas. Foto-foto itu terlalu jelas untuk disangkal, terlalu nyata untuk diabaikan.
Foto suami yang paling ia cintai, Kian, bersama beberapa wanita berbeda. Mereka terlihat memasuki sebuah hotel mewah, lalu melanjutkan ke dalam kamar hotel. Ashley merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya.
Dengan tangan gemetar, ia menggeser layar ponselnya, melihat setiap foto tersebut dengan teliti. Mata Ashley berkaca-kaca, menatap bukti-bukti yang menusuk hatinya seperti belati. Napasnya tersengal, dan air matanya mulai berlinang, membasahi wajahnya yang pucat.
"Tidak! Tidak mungkin. Kian tidak mungkin melakukan ini padaku. Dia bahkan rela melawan orang tuanya demi aku," gumam Ashley, suaranya bergetar antara kesedihan dan penyangkalan.