Di Hotel Mewah, Pusat Kota
Maximilian Valtore, pria dengan karisma yang sulit diabaikan, keluar dari mobil hitamnya dengan langkah tegas. Sebuah masker hitam menutupi sebagian wajahnya, menambah kesan misterius yang begitu khas. Assistennya yang setia telah lebih dulu menyerahkan masker itu, sebuah kebiasaan yang sudah dipahami dan tak perlu diperintah lagi. Kehadirannya membuat suasana hotel mendadak hening. Setiap mata terpaku padanya, dan para staf wanita bergegas menyusun diri dengan sikap profesional, meski sorot mata mereka tak bisa menyembunyikan kekaguman.
Langkah Maximilian mantap menuju lobi hotel yang elegan, diiringi para pengawal tangguh yang menjaga ketat keamanannya. Sepasang sepatu kulit mengkilapnya menapak lantai marmer, menciptakan suara ritmis yang menggema di antara dinding kaca dan lampu kristal.
Setelah memasuki lift bersama asistennya, Justin, suasana berubah menjadi lebih serius. Pria muda itu membuka iPad di tangannya, bersiap melaporkan hal penting.
"Tuan, perusahaan Nico Alexander telah menunggu Anda kembali dari luar negeri selama ini," kata Justin, dengan nada sopan dan hati-hati.
Maximilian mengalihkan pandangan tajamnya ke arah Justin. "Apakah masih melibatkan putrinya? Kalau iya, tolak saja!" ucap Maximilian tegas, dengan suara rendah namun penuh kewibawaan.
Justin sedikit mengerutkan kening, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Tuan, saya mendapat informasi bahwa putrinya telah menikah. Jadi sepertinya tidak ada hubungan lagi."
"Kalau begitu," jawab Maximilian sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding lift, "kau pergi temui dia dan baca semua gagasan yang dia berikan. Jika memuaskan, aku akan mempertimbangkan."
"Baik, Tuan," jawab Justin dengan patuh, mencatat instruksi itu dengan cekatan.
Lift berhenti di lantai paling atas, dan Maximilian melangkah keluar menuju suite pribadinya yang mewah. Sebelum pintu suite tertutup, ia menoleh ke Justin. "Pastikan aku tidak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak berharga."
"Dimengerti, Tuan," jawab Justin sambil membungkuk hormat.
Setelah Maximilian masuk ke kamarnya, para pengawal berjaga di luar pintu dan juga di depan pintu lift.
---
Di Mansion Hernandez
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur pasangan muda, Kian dan Ashley. Aroma kopi dari dapur menyusup masuk, sementara Ashley sedang membantu Kian mengenakan kemejanya.
"Honey, aku harus ke luar negeri selama seminggu. Setelah pulang, kita akan ke rumah papamu. Aku akan membeli hadiah untuk mereka," kata Kian sambil menatap istrinya dengan penuh kasih.
Ashley mengancingkan kemeja suaminya dengan perlahan, wajahnya sedikit muram. "Kita sudah menikah dua bulan, tapi papa dan mama masih saja tidak mengakui kita," katanya dengan suara pelan, penuh harap.
Kian tersenyum dan mengusap lembut pipi Ashley. "Jangan sedih, Honey. Suamimu ini akan melakukan apa pun agar mereka menerima kita. Aku akan membawa mereka keluar dari kampung yang jauh dari kota itu. Aku ingin mereka hidup tenang dan damai di sini bersama kita."
Ashley mendongak, matanya mulai berbinar. "Kamu selalu memikirkan keluargaku, meskipun mereka masih dingin pada kita."
Kian tertawa kecil. "Untuk istriku yang tercinta, aku akan melakukan apa saja agar kamu bahagia. Jika mereka lebih nyaman tinggal sendiri, aku akan membeli rumah yang bagus untuk mereka di dekat kita. Jadi, kamu bisa sering mengunjungi mereka kapan saja."
Ashley tersenyum, hatinya terasa hangat. "Kamu terlalu baik, Kian. Aku hanya berharap hati papa dan mama bisa luluh suatu hari nanti."
Kian mengecup lembut kening istrinya. "Percayalah padaku, Honey. Suamimu ini akan melakukan segalanya untuk melihatmu selalu tersenyum."
Ashley memeluk Kian erat, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.
Beberapa saat setelah Kian berangkat, Ashley duduk termenung di ruang tamunya yang sepi. Tatapannya terpaku pada ponselnya. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang.
“Hallo, Nona,” terdengar suara seorang pria di ujung telepon. Suaranya tenang dan penuh rasa hormat.
“Elvis, bagaimana dengan Papa dan Mama?” tanya Ashley, suaranya mengandung nada cemas.
“Nona, jangan khawatir. Tuan dan Nyonya baik-baik saja. Tapi mereka sangat merindukan Anda. Apakah Anda tidak ingin pulang?” Elvis bertanya, nadanya hati-hati seolah tak ingin memaksa.
Ashley menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Untuk saat ini tidak. Aku akan menunggu Kian pulang dari luar negeri,” jawabnya dengan pelan.
Elvis terdiam sesaat sebelum melanjutkan, “Nona, apakah Tuan Hernandez belum tahu identitas Anda?”
Ashley tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. “Belum tahu. Aku ingin memberitahunya setelah dia kembali,” ujarnya mantap, meski ada keraguan yang terselip dalam nada bicaranya.
“Baiklah, Nona. Jika membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi saya,” kata Elvis sopan sebelum panggilan diakhiri.
---
Malam semakin larut, namun Ashley masih terjaga di kamarnya. Ia duduk di atas ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi. Jemarinya menggenggam erat benda itu, seolah menanti kabar yang tak kunjung datang.
“Seharusnya dia sudah sampai. Bukankah Kian bilang akan meneleponku setelah tiba? Apakah dia lupa, atau mungkin terlalu sibuk?” pikirnya sambil menggigit bibir bawah, mencoba menahan rasa kecewa.
Matanya menatap layar ponsel yang tetap diam. Dengan gelisah, ia meletakkan ponsel di sampingnya, meskipun pikirannya masih penuh dengan pertanyaan tentang suaminya.
Karena gelisah, Tanpa ragu ia pun mencoba menghubungi nomor suaminya.
---
Di tempat lain, di Paris, suasana jauh berbeda. Sebuah apartemen mewah diselimuti keheningan, hanya dipecahkan oleh suara dering ponsel yang terus berbunyi di atas ranjang. Nama "Ashley" tertera di layar, tetapi ponsel itu diabaikan begitu saja.
Kian, yang tak mengenakan pakaian, sedang sibuk di atas tubuh seorang wanita cantik. Gerakannya perlahan namun penuh intensitas, sementara wanita itu melenguh pelan, tangannya mencengkeram bahu Kian dengan erat. Kian tampak tak peduli pada ponselnya yang terus berdering, sepenuhnya fokus pada kenikmatan di hadapannya.
Dering ponsel akhirnya berhenti, meninggalkan layar yang kembali gelap. Kian hanya tersenyum kecil sambil terus menikmati kebersamaannya dengan wanita itu, tanpa sedikit pun memikirkan panggilan dari istrinya. Di luar jendela, malam Paris memancarkan keindahannya, tetapi di dalam ruangan itu, pengkhianatan tengah terjadi dalam keheningan.
"Tuan, setelah menikah, aku mengira kamu tidak akan peduli lagi padaku," ujar wanita itu dengan suara menggoda, jemarinya bermain di d4da Kian, menyusuri otot-ototnya yang tegang.
Kian menyeringai, menatap wanita itu dengan sorot mata penuh nafsu. "Milikmu begitu sempit, selalu merawatnya untukku. Mana mungkin aku melupakanmu? Kau begitu hebat dan memuaskanku," balasnya dengan nada rendah yang membuat wanita itu tersenyum penuh kemenangan.
Ia mempercepat gerakannya, membuat wanita itu melenguh panjang, tubuhnya merespons dengan antusias. Kian tenggelam dalam gairah, tidak peduli lagi pada suara ponselnya yang telah lama berhenti berdering.
Setiap des4 han wanita itu semakin membakar h4sratnya, membuatnya tak ingin berhenti. Malam itu, Kian menikmati tubuh wanita itu berulang kali, sepenuhnya terlelap dalam godaan dan kenikmatan.
---
Sementara itu, di rumah, Ashley duduk di tepi ranjangnya, menatap jam dinding yang berdetak pelan. Mata bulatnya memandang kosong layar ponselnya yang tak lagi menampilkan tanda panggilan masuk.
“Apa dia baik-baik saja? Atau mungkin sesuatu terjadi?” pikirnya, cemas mulai menghantui. Ia mencoba menepis pikiran negatif, tetapi perasaan gelisah yang terus menggelayut di hatinya tak bisa diabaikan.
Ashley akhirnya merebahkan tubuhnya, meski tidur tampak mustahil malam itu. Ia hanya bisa berharap Kian akan menghubunginya, memberi kabar seperti yang dijanjikan.
Namun, ia tak tahu bahwa di sisi lain dunia, pria yang ia tunggu tengah menghabiskan malamnya dengan wanita lain. Dan sebuah rahasia kelam mulai terjalin, yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Apa yang sebenarnya disembunyikan Kian darinya? Dan apakah Ashley akan mengetahuinya sebelum semuanya terlambat?