Part 45

1083 Kata
Se Hwa diam saja ketika didandani pakaian pernikahan. Obat yang diberikan tabib benar-benar manjur untuk menahan mual pasca kehamilannya. Sebuah tandu telah siap di depan aula untuk membawanya masuk ke istana. Putra mahkota pun sedang didandani untuk menyambut mempelainya. Tak ada masalah bagi permaisuri dan selir karena sudah jadi kewajiban bagi pangeran atau raja untuk memiliki selir lebih dari satu. Terkadang, pernikahan itu hanya sebagai bukti pernyatuan politik antara Joseon dan negeri tetangga juga bangsawan yang memiliki power dan kewenangan di pemerintahan. Se Hwa menitikkan air mata ketika menatap dirinya di depan cermin. Dia meminta pelayannya untuk memberinya waktu untuk sendiri. "Jeong Guk," lirihnya. Dadanya terasa sakit. Dari semalam dia tak bisa tidur karena sesak yang terus menderanya. Se Hwa terus memanggil Jeong Guk untuk datang meski dia tahu hal itu sudah tak mungkin lagi. Seorang pelayan datang memintanya untuk segera keluar karena sudah waktunya mereka berangkat. Se Hwa berajalan terhuyung. Hatinya serasa remuk. Dia meminta maaf kepada calon buah hatinya. "Tetaplah bersamaku dan bantu ibu, ya." Dia mengelus perutnya. Di sisi lain, Seo Yeon memperhatikan apa yang dilakukan Se Hwa. Meski berada dalam balutan riasan dan pakaian terbaik, Seo Yeon dapat melihat betapa murungnya wanita itu. Seo Yeon menunggu di luar paviliun. Semua orang di kediaman Hwang akan berangkat termasuk juga dirinya. Ini adalah perayaan besar bagi semua orang. Min Ju berdiri dekat kudanya. Dia akan memimpin rombongan menuju ke istana. Sejak tadi dadanya berdegup kencang seakan-akan ada hal buruk yang akan terjadi. Dia bingung harus cerita ke siapa, tapi juga merasa sangat khawatir. Tak berapa lama iring-iringan pengantin itu meninggalkan kediaman keluarga Hwang. Di dalam tenda, Se Hwa beberapa kali mengusap air matanya. Dia memasukkan tangan ke balik lipatan bajunya, lalu mengeluarkan kain putih berisi bercak darah seorang gadis. Hal pertama yang akan dia lakukan di malam pertama adalah menipu raja. Rombongan memasuki halaman istana. Mereka semua berhenti di aula depan gedung utama kerajaan. Jantung Se Hwa berdegup kencang. Rasanya dia benar-benar ingin melarikan diri. Seorang pelayan mengingkap tirai tandu. Se Hwa keluar dengan hati-hati agar dandanannya tidak rusak. Se Hwa mematung menatap gedung-gedung di istana itu. Bangunannya begitu megah dan indah. Meski di abad 21 gedung itu masih ada dan terawat dengan baik, tetap saja tak seindah yang terlihat saat ini. Sejenak wanita itu teralihkan oleh kemegahan istana Joseon. Suara terompet berbunyi menyadarkan Se Hwa dari lamunannya. Pangeran berjalan mendekat dengan sengum mengembang. Pria itu terlihat sangat gagah dan berwibawa. Hari ini dia akan menikah dengan Se Hwa, sekaligus menjalani upacar pelantikannya sebagai raja. Tiba-tiba Se Hwa merasa begitu gugup. Ada sesuatua yang membuatnya merasa takut dan lemas. Se Hwa menatap satu per satu orang yang hadir. Dia teringat pesan Jeong Guk agar menghindari orang yang memiliki shio macan. Namun, di antara begitu banyak orang bagaimana Se Hwa bisa mengenali orang yang memiliki shio macan. Dia tidak mengetahui shio semua orang. Tenaga Se Hwa mendadak melemah. Dia hampir tersungkur kalau saja Seo Yeon tidak menahannya. "Kau tak apa-apa?" "Entahlah," jawab wanita itu. Pangeran menatap kedua wanita itu. Lalu, mengulurkan tangannya. Se Hwa dan Seo Yeon saling tatap. Dengan ragu wanita itu menyambut uluran tangan sang pangeran. Mereka berdua pun melangkah menuju altar. Ratusan pasang mata menatap mereka berdua. Jika saja Se Hwa tak jatuh cinta kepada Jeong Guk, mereka berdua pasti jadi pasangan yang serasi. Upacara pernikahan digelar dengan khidmat. Begitu juga dengan pelantikan pangeran menjadi raja sementara sebelum yang mulia raja benar-benar turun tahta. Setelah upacara melelahkan itu selesai, Se Hwa pun terduduk diam di paviliunnya yang baru. Dia semakin gugup ketika malam kian menjelang. Kain putih berisi bercak darah digenggamnya dengan erat. Suara dayang mengagetkannya. Dia pikir yang datang itu suaminya, tapi hanya pelayan yang membawakan makanan agar dia kuat melayani raja malam ini. Pelayan itu menyajikan makanan dengan hati-hati. "Sebaiknya Anda makan dengan baik, Yang Mulia. Karena malam ini Anda harus melewati malam panjang dengan yang mulia raja." Se Hwa mengangkat wajahnya ketika mendengar suara sang pelayan. "Kau ...," ucapnya. Pelayan itu pun tersenyum. Setelah menyajikan makanan, keduanya bercengkrama. Tak berapa lama, pelayan di depan pintu mengumumkan kedatangan pangeran. Kedua wanita di dalam sana panik, lalu mereka merapikan tempat itu. Ketika pangeran masuk kamar, wanita berpakaian pelayan itu pun pamit keluar. Pangeran menatap istrinya yang menunduk. Entah kenapa pria itu merasa begitu gugup, padahal ini bukan pertamakalinya dia melewati malam pertama dengan seorang wanita. Dia mendekati Se Hwa dengan perlahan, lalu duduk di sebelahnya. "Apa yang kau makan?" "Entahlah, Yang Mulia. Pelayan hanya menyuruhku memakannya. Katanya itu makanan yang disarankan oleh Yang Mulia Ibu Suri." Pangeran tertawa. Dia membisikkan sesuatu. "Aku rasa itu obat kuat agar kau bisa bertahan dengan gempuranku. Atau mungkin itu untuk meningkatkan kesuburan rahimmu agar kau bisa segera hamil." Se Hwa tak menjawab. Dia justru makin menundukkan wajahnya. Pangeran jadi gemas dibuatnya. Pangeran mengulurkan tangan, lalu mengangkat dagu wanitanya. Tatapan mata mereka pun bertemu. Pangeran mendekatkan wajahnya dan mencium bibir wanitanya. Se Hw melenguh ketika San mencumbu bibirnya dengan begitu lembut. Perlahan dia mengikuti apa yang dilakukan suaminya. Tubuhnya pun telentang di pembaringan dengan San ada di atas menindihnya. Hasrat menggebu sang suami benar-benar hampir membuatnya kewalahan. Berulang kali desah kenikmatan terdengar di tengah mereka berdua. Selimut di atas pembaringan berserakan. Begitu pula dengan pakaian mereka. Malam itu akan menjadi malam panjang bagi kedua insan yang tengah bertarung mereguk kenikmatan duniawi. Sementara itu, di sisi lain istana, di dekat kolam ikan di sebelah kanan paviliun, seorang pelayan duduk sembari memakan kue beras. Tatapannya mengarah kepada sang rembulan yang tersenyum ke arahnya. Pelayan itu menghela napas. "Semoga saja dia tak menyadari apa pun dan kau bisa bercinta dengan Yang Mulia dengan leluasa," ucapnya. Malam ini wanita itu terselamatkan. Dia tak harus melalui malam panjang dengan pangeran dan tak harus menipunya dengan darah perawan yang dia simpan. "Jeong Guk, jika kau bisa merasakan betapa kacaunya aku saat ini, aku mohon jagalah aku dan bayi kita di manapun kau berada." Air mata Se Hwa kembali menetes. Di sebuah kuil yang cukup terkenal di negeri itu Pendeta Tao menatap gulungan lukisannya yang bercahaya. "Sayang sekali aku tak bisa membebaskanmu. Mantra yang mengurungmu hanya akan lenyap ketika orang yang memiliki mutiara rubah datang dan membebaskanmu," kata sang pendeta, lalu pergi dari sana. "Selain itu, kau memang harus menjalani hukumanmu karena kau telah banyak membunuh manusia, Jeong Guk. Kau harusnya bisa lebih mengendalikan dirimu. Kau pun melanggar janji untuk tidak jatuh cinta kepada manusia. Sampai dewa langit merestui hubungan kalian, kau dan Se Hwa tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Jadi, bertapalah kau di sana, di dalam kurunganmu itu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN