Part 44

1052 Kata
Seorang dayang menyampaikan pesan kedatangan pangeran kepada Se Hwa. Wanita itu bangkit perlahan dari tempat tidurnya. Dia merasa hari ini kondisi tubuhnya begitu buruk sehingga seharian ini dia hanya berbaring. Se Hwa berusaha keluar dari kamarnya dan menyambut pangeran di depan kediamannya. Dia dan beberapa pelayan menunggu di depan paviliun untuk menyambut kedatangan pangeran. "Terimalah hormat hamba, Yang Mulia." Wanita itu membungkuk. "Tak seharusnya Anda datang kemari. Anda hanya perlu memanggil hamba untuk datang." "Tidak apa-apa, Se Hwa. Aku dengar kau sakit. Bagaimana kondisimu sekarang?" "Terima kasih, Anda sudah mengkhawatirkan hamba, tapi berkat kebaikan Anda, sekarang hamba baik-baik saja." "Baguslah. Bisakah kau temani aku jalan-jalan?" "Baik, Yang Mulia." Se Hwa pun melangkah di belakang putra mahkota. Mereka memasuki taman istana. Kakinya mengayun pelan ketika melewati jembatan di atas danau. Bunga tratai bermekaran, ikan mas berenang riang di dalam air danau yang jernih. Putra mahkota menghentikan langkah. Begitu juga dengan pelayan mereka yang setia mengikuti dan kini berdiri beberapa meter dari tuannya. "Kapan kita akan berlatih kembali? Aku rindu bermain pedang bersamamu." Se Hwa tersenyum. "Hamba rasa hamba butuh istirahat dalam waktu yang lama. Tabib bilang kondisi hamba melemah karena terlalu tertekan setelah kehilangan ayah." "Benarkah?" Pangeran menoleh dan menatap khawatir. "Harusnya kau menolak saat aku ajak jalan-jalan." Pria itu mengulurkan tangan, lalu menggandeng tangan Se Hwa menuju paviliun di tengah danau. Sang Pangeran juga memerintahkan dayangnya untuk menyiapkan makanan untuk Se Hwa. "Sekarang kau duduklah di sini dan kita akan makan-makanan sehat bersama." "Tapi, hamba sudah makan, Yang Mulia." "Sejak kapan kau jadi senang membantahku, heum?" Pangeran memperhatikan wajah wanita di sebelahnya. Dia berharap sekali saja Se Hwa menatapnya dengan penuh cinta seperti yang pernah terjadi dahulu. Akan tetapi, Se Hwa hanya menunduk. "Hamba tidak sedang membantah, Yang Mulia. Hamba hanya berkata yang sebenarnya." "Baiklah, baiklah." Pangeran menghela napas. Pelayan datang membawa nampan makannan. Mereka menyajikan makanan itu dengan sigap. Se Hwa menatap bubur dengan taburan daging dan sayur di depannya. Ketimbang memakan bubur itu, dia lebih tertarik untuk meneguk sari buah yang tersaji di sebelahnya. "Kau mau ini?" Pangeran menyodorkan sari buah miliknya. Se Hwa mengangguk. "Ini, minumlah." Wajah Se Hwa langsung ceria. Dia mengambil minuman sari buah milik raja, lalu meminumnya. Setelah itu, barulah memakan buburnya. Mereka mengobrol tentang banyak hal. "Bagaimana soal permintaanku waktu itu, Se Hwa?" Wanita itu menatap pangeran. Dia sudah tahu kalau pembicaraan pasti akan mengarah ke sana. "Sudah kukatakan bukan, bahwa aku akan membebaskanmu dari hukum larangan militer bagi perempuan, lalu aku akan menikahimu. Kau akan jadi selir utamaku." "Aku ... bukankah aku juga sudah menjelaskan berulang kali kalau aku tak ingin menjadi selir ataupun ratumu. Kehidupan istana penuh konflik, aku tak bisa hidup dilingkungan seperti itu." "Tapi, kau membutuhkan dukunganku jika ingin tetap aman." Pangeran menunggu reaksi Se Hwa, tapi wanita itu diam saja. "Kau dan keluargamu sudah tak memiliki siapa-siapa, Se Hwa. Jika kau menjadi selir dan melahirkan putra mahkota untukku, kau bisa menggeser kedudukan permaisuri. Anak yang akan kau lahirkan akan jadi penguat kedudukanmu di istana. Jika kau tak melakukannya, bisa kau bayangkan bagaimana caramu melindungi orang-orangmu?" Percakapam pangeran sama saja dengan apa yang dikatakan ibunya. Se Hwa sudah muak mendengarnya. Wanita itu pun hanya memberikan reaksi seperlunya. Dia sudah jenuh. Sesaat kemudian dia mohon pamit kepada putra mahkota dengan alasan kesehatannya yang memburuk. Pangeran mencoba memahami kalau wanita itu sedang sakit. Dia mengantar Se Hwa kembali ke kediamannya. "Seminggu lagi aku akan dilantik sebagai raja sementara, aku ingin kau mempersiapkan diri untuk aku baha ke istana. Kau akan mendampingi pelantikanku bersama permaisuri." Se Hwa mengangguk dengan malas. Dia sudah sangat muak. Pangeran merasa senang, dia pun kembali ke istana dengan perasaan bahagia. Di dalam kamar, Se Hwa menghempaskan tubuhnya. Tiba-tiba Seo Yeon datang dan mencekik lehernya. "Jadi, kau benar-benar akan menikah dengan pria itu! Kau akan mengkhianati Jeong Guk untuk kesekian kalinya! Kau wanita kurang ajar!" Se Hwa tersedak. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Seo Yeon. Melihat perempuan itu sebentar lagi akan meregang nyawa, Seo Yeon melemparkan tubuh Se Hwa ke lantai. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Se Hwa terbatuk beberapa kali. Tadi dia sudah hampir tak bisa bernapas. Sesekali Se Hwa memukul-mukul dadanya. "Kau, sialan!" Se Hwa masih berusaha menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa. "Aku ... aku harus melakukannya demi melindungi para dayang dan keluargaku." Se Hwa bicara dengan napas tersengal-sengal. "Kau pikir aku bahagia? Aku harus berpura-pura jadi wanita suci, belum pernah disentuh siapa pun apalagi hamil. Apa kau tau sebesar apa yang resiko yang aku tanggung? Dan, kau ... seenaknya saja kau mencekikku!" Se Hwa menggeram marah. Dia bangkit dengan cepat, lalu menendang perut siluman ikan itu hingga tersungkur. "Itu balasan atas apa yang kau lakukan kepadaku." Se Hwa berjalan melintasi Seo Yeon yang mengerang menahan sakit pada perutnya. Kemudian, dia merebahkan dirinya di pembaringan. "Sebaiknya kau kembali ke gunung rubah. Atau aku akan membunuhmu jika kau mencoba menghalangiku lagi." Se Hwa bicara dengan mata terpejam, tapi Seo Yeon sadar kalau Se Hwa tidak main-main. Kata-kata wanita itu terdengar mengintimidasi. "Aku hanya ingin kau melindungi calon bayimu dan mutiara rubah. Hal lain aku tak peduli." "Kau pikir aku tak akan melindungi satu-satunya kenangan Jeong Guk?" Se Hwa meraba perutnya. "Jeong Guk menitipkan hal yang paling berharga di hidupnya karena itulah aku bersumpah akan selalu melindunginya meski aku harus kehilangan nyawaku." Seo Yeon terdiam. Kata-kata Se Hwa yang begitu tenang dan dipenuhi oleh rasa sedih dan kerinduan, membuat Seo Yeon merasakan haru. Hanya saja dia terlalu gengsi untuk mengakui kalau sejatinya, lambat laun dia mulai menyukai kepribadian Se Hwa. Wanita tangguh itu, hampir dilihatnya seperti saudaranya sendiri. Berada di dekat Se Hwa membuatnya tenang seperti ada di dekat Jeong Guk. Perlahan, Seo Yeon mengerti kenapa Jeong Guk bisa sangat memcintai wanita itu. Selain cantik dan begitu tegas, Se Hwa juga memiliki hati yang murni. Dia begitu tulus terhadap siapa pun tanpa mementingkan dirinya. "Aku pegang kata-katamu itu." Seo Yeon mencoba menutupi kekagumannya terhadap Se Hwa. "Jika suatu saat kau melanggar semua ucapanmu tadi, maka aku sendiri yang akan mencabut nyawamu." "Aku tahu," jawab Se Hwa. "Sekarang, sebaiknya kau istirahat dan susun rencana untuk pulang ke gunung rubah dengan aman dan tanpa ada yang curiga kalau kau itu siluman." "Tidak! Belum saatnya aku pulang. Aku masih akan di sini sampai aku yakin anak Jeong Guk dan mutiaranya aman bersamamu." "Terserah kau saja," jawab Se Hwa, lalu terlelap dalam mimpi indahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN